tirto.id - Seorang pengendara Yamaha Aerox 155 berkelir merah-hitam menutupi pelat nomor kendaraan bagian depan dengan tangan kiri, membuat kombinasi angka dan huruf hanya terlihat sebagian. Dalam foto yang tersebar di media sosial, si pengendara ini tampak tertawa, seperti juga orang yang diboncengnya.
Kejadian ini terekam lewat kamera pengawas yang dipasang di Jalur Trans Jakarta koridor 6, tepatnya di Duren Tiga, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Dengan mengidentifikasi pelat nomor, polisi dapat dengan mudah menemukan alamat si pemilik dan mengirimnya surat tilang ke alamat yang tertera di Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Pelat yang ditutup membuatnya lolos--setidaknya untuk sementara.
Peristiwa ini hanya mungkin terjadi karena diterapkannya tilang elektronik atau (Electronic Traffic Law Enforcement/E-TLE). Sistem ini sudah diberlakukan sejak 1 November 2018 lalu untuk mobil, lantas diperluas untuk motor per 1 Februari 2020.
Pada hari pertama penerapan, 167 pengendara motor terekam melanggar, termasuk melintasi jalur Trans Jakarta (88) dan tidak mengenakan helm (55). Hari berikutnya, Ahad (2/2/2020), pengendara motor yang melanggar meningkat jadi 174.
Angka pelanggaran menurun pada Senin (3/2/2020), menjadi 161. Pelanggaran terbanyak adalah melintasi jalur Trans Jakarta (91). Angkanya kembali menurun sehari setelahnya, yaitu 157.
Berdasarkan pantauan reporter Tirto di lokasi tilang elektronik Monas dan Sarinah, Jakarta Pusat, para pengendara sudah mulai tertib. Tidak ada pengendara yang berani melanggar marka jalan ketika tengah ada di lampu merah seperti sebelum tilang elektronik diberlakukan. Tidak tampak pula pengendara yang melintasi jalur Transjakarta di lokasi tersebut.
Kamera E-TLE itu dipasang di atas tiang. Masing-masing tiang dilengkapi dengan dua kamera pengawas yang saling berlawanan arah. Terdapat pula lampu penerangan atau blitz agar gambar yang ditangkap menjadi terang dan jelas.
Kamera pengawas untuk sepeda motor dipasang di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman sampai Jalan MH Thamrin dan di jalur Koridor 6 TransJakarta rute Ragunan-Monas. Ada 57 kamera pengawas di dua lokasi ganjil-genap tersebut.
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Fahri Siregar menjelaskan ada lima jenis pelanggaran yang bakal ditindak polisi: tidak pakai helm, melanggar marka, melintasi jalur Trans Jakarta, melawan arus, dan menerobos lampu lalu lintas.
Data pelanggar yang terekam kamera akan langsung terkirim ke pusat data back office TMC Polda Metro Jaya. "Nanti petugas memvalidasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara tersebut," kata Fahri kepada reporter Tirto (5/2/2020), menjelaskan tata cara tilang elektronik ini.
Petugas akan mengirimkan surat tilang ke alamat pelanggar melalui PT Pos Indonesia, email, atau nomor telepon. Pada paket yang sama polisi juga akan mengirim bukti pelanggaran. Semuanya akan dilakukan selama tiga hari setelah kejadian.
Jika telah menerima surat tilang, pemilik kendaraan harus mengonfirmasi melalui situs etle-pmj.info. Polisi memberikan waktu tujuh hari bagi pengendara untuk mengklarifikasi bila terdapat kekeliruan penilangan.
"Dengan metode ini, pemilik kendaraan dapat memberi tahu siapa yang menjadi subjek pelanggar. Termasuk kalau kendaraan sudah dijual dan belum melakukan proses balik nama," jelas Fahri.
Jika tidak ada sanggahan, pelanggar akan menerima kode BRI Virtual Account (Briva) yang dipakai untuk membayar denda tilang. Polisi memberi waktu paling lama tujuh hari.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelanggaran penggunaan helm dikenakan denda Rp250 ribu; pelanggaran marka jalan Rp500 ribu serta ancaman penjara dua bulan; dan menggunakan ponsel diancam kurungan tiga bulan dengan denda Rp750 ribu.
"Jika tidak membayar denda tilang, maka STNK pemilik motor akan diblokir," Fahri menegaskan.
Selain nominal denda, mekanisme lain sama seperti tilang mobil.
Cegah 'Damai'
Sudah jadi rahasia umum mekanisme tilang konvensional kerap jadi lahan basah oknum polisi untuk meraup uang haram. Bahasa awamnya, 'damai'. Cara terbaru ini mencegah itu terjadi.
"Kalau tilang cara manual rentan pungli antara pengemudi dengan polisi. Sekarang, kan, enggak pandang bulu. Mau anak tentara, polisi, atau pejabat sekalipun enggak masalah. Ini sudah tersistem seperti robot," kata pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, kepada reporter Tirto, Rabu (5/2/2020) lalu.
Sistem ini juga efektif karena basisnya adalah penggunaan teknologi. Jika polisi tak bisa berjaga setiap saat, sistem ini mampu bekerja selama 7 kali 24 jam.
"Jadi polisi bisa fokus mengatur lalu lintas. Daripada menilang pengemudi motor," tambah Djoko, menjelaskan bahwa sistem ini juga sebenarnya menguntungkan polantas.
Meski begitu, Djoko menilai sistem ini belum sempurna 100 persen.
Kasus 'tutup pelat nomor' adalah satu contoh. Contoh lain, kata Djoko, sangat mungkin nomor kendaraan tidak sesuai dengan identitas pemiliknya. Hal ini pernah terjadi tahun lalu terhadap Radityo Utomo. Jadi ada orang yang memalsukan pelat nomornya untuk menghindari ganjil-genap.
Masalah lain yang mungkin muncul terkait dengan jaringan yang bisa tiba-tiba buruk, lalu video atau foto yang tertangkap tidak jelas karena, misalnya, hujan deras.
"Jadi sistemnya harus jelas. Keakuratannya dijaga," katanya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino