Menuju konten utama

Yang Gemilang dan Layak Dikenang dari Prambanan Jazz Festival 2022

Prambanan Jazz Festival 2022 menghadirkan line up yang memuaskan semua golongan usia dan selera penggemar.

Yang Gemilang dan Layak Dikenang dari Prambanan Jazz Festival 2022
Tulus. Foto/Fais Aufaa

tirto.id - Anas Syahrul Alimi, pendiri Rajawali Indonesia dan CEO Prambanan Jazz Festival (PJF), hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala. Pangkal sebabnya adalah Tulus dan golden hour.

Nama pertama adalah penyanyi populer Indonesia, melejit sejak merilis album perdana Tulus (2011), disusul oleh Gajah (2014), dan Monokrom (2016). Album terbarunya, Manusia (2022) bikin banyak orang di Indonesia, terutama yang kisah cintanya tak bisa diselamatkan, menyanyikan “Hati-Hati di Jalan” dengan nelangsa.

Pada awalnya Tulus akan bermain sebagai penampil pamungkas di hari ketiga PJF. Namun, karena permintaan banyak dan tak sedikit pula yang minta Tulus bermain dua kali, Anas pun berpikir taktis. Akhirnya diputuskan Tulus akan turut bermain di hari kedua.

Karena di hari ketiga Tulus sudah bermain sebagai penutup, maka Anas dan tim kreatifnya pun punya ide untuk menaruh Tulis pada jam yang mereka sebut sebagai golden hour. Ini adalah waktu ketika matahari sedang turun di arah barat, jelang tenggelam.

“Ini adalah waktu yang sakral. Indah sekali, di belakang ada Candi Prambananan, kena sinar senja dari arah barat. Fariz RM pernah main juga di jam itu. Magis lah pokoknya,” ujar Anas.

Yang tak disangka, banyak orang marah dengan keputusan ini. Barangkali para netizen berpikir menaruh Tulus di sore hari dianggap sebagai tindakan yang “meremehkan”. Ini karena sudah terpatri kuat di ingatan bahwa musisi paling ditunggu dalam sebuah festival akan ditaruh di penghujung acara.

“Mereka tak paham kalau alasan kami menaruh Tulus di hari kedua ya berkaitan dengan golden hour itu tadi. Kami dimarahin. Ampun memang netizen ini,” kata Anas terbahak.

Terlepas dari amukan netizen, keputusan tim PJF benar adanya.

Penampilan Tulus di golden hour memang membius. Dengan gaya tenang seperti biasa, Tulus membawakan lagu-lagu hits yang selalu diikuti koor penonton. Mulai dari “Gajah”, “Ruang Sendiri”, “Monokrom”, hingga tentu saja “Hati-Hati di Jalan”.

“Perkenalkan, nama saya Tulus. Penyanyi dan penulis lagu,” ujar Tulus menyapa penonton sore itu.

Semua koor, suara Tulus yang adem dan menenangkan, dengan latar belakang Candi Prambanan yang megah, terasa makin sublim dengan sinar matahari keemasan yang memancar dari arah barat, menerobos di sela-sela pepohonan.

Tulus menjadi satu dari beberapa highlight PJF 2022.

Penampilan Padi Reborn yang jadi penutup hari kedua adalah highlight lain. Tampil tanpa Rindra (bass) dan Yoyo (drum), grup band asal Surabaya ini tetap main dengan menawan. Mereka bermain nyaris tanpa cela, terutama vokal Fadly yang stabil sepanjang pertunjukan dan nyaris tak berubah sejak “Sobat” pertama kali mengudara pada tiga windu silam.

Infografik Prambanan Jazz 2022

Infografik Prambanan Jazz 2022. tirto.id/Quita

Catatan dari Prambanan Jazz Festival 2022

Kehadiran PJF 2022 menegaskan angin segar yang bertiup di industri pertunjukan musik skala besar. Tahun ini memang sudah ada beberapa pagelaran musik besar yang berlangsung.

Kehadiran Jazz Gunung, Joyland Fest, juga AlloBank Festival, dan akan diikuti berbagai festival dan konser skala besar lain, mulai dari Synchronize Festival, Pesta Pora, Prost Fest, Hammersonic, hingga konser Dream Theater dan Westlife jadi penanda bahwa ke depan, industri festival musik sudah bisa berjalan lagi.

Festival dan konser yang dihadiri ribuan orang sudah bisa diadakan. Tentu dengan catatan: penonton sudah harus vaksin dua kali. Ke depan, sepertinya vaksin booster akan jadi syarat mutlak bagi mereka yang ingin menonton acara musik.

Tentu ada beberapa catatan tentang gelaran musik ini, termasuk di PJF 2022.

“Karena sudah dua tahun tak mengadakan acara secara offline, kayaknya kami sampai lupa bagaimana cara bikin festival,” kelakar Anas.

Karena situasi, PJF 2022 hadir dengan jumlah penonton yang amat dibatasi. Pada 2019, penonton harian PJF mencapai 25.000 orang. Sekarang, penonton dibatasi hanya sebanyak 7.500 orang saja. Pembatasan ini tentu ada plus minusnya.

Plusnya, lokasi jadi terasa lebih lapang. Ini membuat arus lalu lintas penonton jadi lebih lancar.

Minusnya, setidaknya dalam catatan saya, ada dua.

Minus pertama tentu ada di tataran teknis. Penyelenggara harus memutar otak bagaimana merumuskan harga tiket. Tahun ini, harga tiket PJF akhirnya dijual lebih mahal untuk mengompensasi jumlah penonton yang dipangkas. Untuk Hanoman Pass dibanderol Rp500 ribu, sedangkan Roro Jonggrang Pass dijual Rp750 ribu. Untungnya, karena PJF sudah menghasilkan trust dari penonton berkat festival yang berjalan lancar dan apik setiap tahunnya, tiket tetap terjual habis —dan ada suara permintaan di sana-sini agar jumlah tiket ditambah, sesuatu yang belum bisa dipenuhi.

Minus kedua berkaitan dengan layout penonton. Karena PJF 2022 dirancang ketika peraturan pemerintah tentang kerumunan belum ajek, maka penyelenggara memutuskan penonton akan duduk di kursi. Awalnya malah akan ada jarak antar kursi. Belakangan, ketika aturan sudah longgar, jarak itu ditiadakan.

Tim PJF mengakui bahwa layout ini tidak cocok untuk festival. Sebab laiknya festival musik, penonton ingin berdiri dan bebas berjalan maupun berjingkrakan. Dengan duduk, ada semacam kekurangan kecil yang membuat suasana festival terasa kurang lepas. Penonton tak bisa berdiri dan mendekat ke panggung, apalagi melompat dan menari.

"Kami sempat ingin meniadakan kursi. Tapi penonton protes, ada juga ibu-ibu hamil yang protes. Akhirnya, karena kami di awal menjual festival ini dengan sistem kursi, kami memutuskan tetap memakai kursi. Tidak ideal memang, tapi mau bagaimana lagi," kata Anas.

Namun di sini hebatnya: penonton PJF 2022 menaati peraturan duduk di kursi. Sepanjang pertunjukan, saya tak melihat ada penonton yang berdiri dan mengganggu penonton lain. Mereka yang memilih untuk duduk, tertib di kursinya. Sedangkan bagi yang ingin berdiri agar bisa lebih bebas, memilih untuk menepi dan menonton dari pinggir.

Di luar kekurangan yang memang sangat teknis —termasuk sound yang beberapa kali crackle tapi dengan cepat bisa ditangani— juga layout yang amat tergantung dari peraturan pemerintah yang sayangnya kala itu masih sering berubah-ubah— PJF 2022 bisa dibilang berhasil dengan gemilang. Puasa bikin festival besar dalam dua tahun, tak membuat penyelenggara kebingungan.

Dari pemilihan bintang tamu, rasanya line up tahun ini mencakup selera dan usia nyaris semua golongan penonton. Untuk yang usia muda, Ardhito Pramono, Kunto Aji, dan Pamungkas berhasil memenuhi ekspektasi penonton dengan tampil prima, penuh tenaga, dan lugas menghadirkan karakter masing-masing.

Sedangkan bagi generasi yang, uhuk, lebih senior, penampilan Padi, Kahitna, Fariz RM, Deddy Dhukun, juga Mus Mujiono, tak bisa tidak: menguarkan aroma nostalgia.

"Tahun depan undang juga Koes Plus dong!" guyon seorang penonton yang rambutnya sudah memutih.

Beres perkara line up, PJF 2022 juga hadir dengan gemilang dan layak dikenang berkat cuaca cerah yang membuat atmosfer menonton jadi nyaman, hingga set yang selalu tepat waktu dan tak kenal jam karet. Semua layak dipujikan. Apalagi PJF punya kartu as yang tak dimiliki festival musik lain: kehadiran candi Prambanan.

Penonton juga ikut terlena dalam suasana festive yang sudah mereka rindukan sejak dua tahun lalu. Anak-anak berlarian dengan bebas, pasangan bergandengan tangan, juga para penonton senior tampak menikmati musik dengan tenang dan sesekali tertawa kecil. Menyenangkan sekali melihat energi-energi positif yang hanya bisa hadir di festival musik.

Dengan kesuksesan PJF 2022, rasanya aman untuk berasumsi bahwa PJF 2023 akan berlangsung lebih besar, dengan jumlah penonton lebih banyak, dan bintang tamu yang lebih beragam lagi. []

Baca juga artikel terkait PRAMBANAN JAZZ 2022 atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Lilin Rosa Santi