Menuju konten utama

Yang Fana adalah Manusia, Virus Abadi

Virus merupakan makhluk paling beranekaragam di dunia dengan triliunan spesies.

Yang Fana adalah Manusia, Virus Abadi
Ilustrasi Virus. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Selama hampir satu dekade,” tulis Joby Warrick untuk Washington Post, “tim ilmuwan dari Wuhan, Cina, menjelajahi Asia Selatan untuk mencari kelelawar." Para ilmuwan masuk ke gua-gua, menangkapi mamalia bergigi silet itu, mengambil sampel patogen dan kotorannya. Tak ketinggalan, mereka pun menjaring patogen dari bermacam serangga dan tikus yang tinggal berdampingan dengan kelelawar, juga mengumpulkan sampel darah dari penduduk desa sekitar--terutama yang rutin berinteraksi dengan kelelawar.

Para ilmuwan mencari kelelawar usai wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) melanda dunia pada awal dekade 2000-an lalu. Studi “Bats Are Natural Reservoirs of SARS-Like Coronaviruses” (2005) menyebut kelelawar sebagai penampung alami berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia). Kelelawar ladam (Rhinolophidae), yang tinggal di gua-gua di Provinsi Yunnan, Cina, merupakan aktor di balik kemunculan SARS.

Pemburuan patogen kelelawar dilakukan dalam rangka penelitian bertajuk "gain-of-function", penelitian yang membuat virus lebih berbahaya dan lebih mudah menular. Penelitian ini memang terasa kontroversial nan mengerikan, tetapi dilakukan untuk mengetahui virus mana yang mengancam manusia--jika kelak bertransformasi/bermutasi--sehingga tindakan pencegahan sejak awal bisa dirancang.

Sial, meskipun penelitian ala ilmuwan Cina tersebut bertujuan untuk mencegah serangan virus, kenyataan berkata sebaliknya. Pada Desember 2019, muncul kasus-kasus "pneunomia aneh" di Wuhan, yang pertama kali dikabarkan oleh dokter muda dari Rumah Sakit Pusat Wuhan bernama Li Wenliang. Meskipun mulanya otoritas Wuhan (dan Beijing) menganggap kabar yang disampaikan Dr. Li hanya bualan atau hoaks semata, Qu Li, dalam studi cepatnya berjudul “Early Transmission Dynamics in Wuhan, China, of Novel Coronavirus–Infected Pneumonia" (2020), mengkonfirmasi dengan pasti bahwa umat manusia kedatangan musuh baru: SARS-CoV-2 alias COVID-19 bin Corona.

Tepat 1 Januari 2020, terdapat 425 orang yang positif terjangkit virus Corona. Hari ini, atau lebih dari setahun berlalu dan vaksin telah dibuat dan disebarkan di beberapa tempat, 1,36 juta jiwa di seluruh dunia positif terserang virus ini--dengan 36.897 di antaranya meninggal dunia.

Dunia kecolongan, terutama atas fakta bahwa tatkala ilmuwan-ilmuwan Cina menjelajah gua-gua untuk mencari kelelawar, mereka menemukan virus bernama RaTG13, sebuah varian virus Corona berkategori risiko rendah yang diprediksi mudah menyebar ke manusia. Dalam penelitian terbaru, SARS-CoV-2 memiliki urutan genom identik dengan RaTG13. Identik hingga 96 persen. Kini muncul varian baru COVID-19, yakni VUI-202012/01 (B.1.1.7)--yang diyakini para ilmuwan lebih menular.

Penyebaran vaksin yang belum meratanya dan pengabaian atas protokol keselamatan telah membuat 90 persen 100 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virus yakin bahwa SARS-CoV-2 akan terus menerus hidup berdampingan dengan umat manusia. Corona tak akan pernah musnah. Kemungkinan besar manusia tidak akan menang melawan Corona. Kenapa?

Virus: Baik dan Jahat

Pada 2000, sejumlah pekerja tambang di Meksiko menggali gunung bernama Sierra de Naica, untuk mencari emas, atau nikel, atau litium, atau mineral apapun yang memiliki nilai ekonomi. Tak disangka, ketika galian telah mencapai ribuan kaki dari permukaan, para penambang menemukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menurut Carl Zimmer dalam bukunya berjudul A Planet of Viruses (2011), "tercipta untuk dunia lain, bukan Bumi".

Kala itu, para penambang menemukan gua penuh ribuan kristal gipsum tembus cahaya, mirip seperti fiksi temuan jejak-jejak planet Krypton oleh Kal-El (Superman) di Bumi.

Tak lama kemudian, Manuel Garcia-Ruiz, geolog dari University of Granada, menyatakan bahwa kristal yang mendiami Sierra de Naica muncul berkat aktivitas gunung berapi 26 juta tahun silam. Aktivitas vulkanik sukses menciptakan ruang tanah di kedalaman, mengisinya dengan air mineral panas, dan menjaga ruangan tetap berada di suhu 136 derajat melalui magma yang dikandung si gunung. Selama ratusan ribu tahun, aktivitas ini menghasilkan titik ideal bagi mineral mengendapkan air yang dimilikinya, menciptakan kristal dengan kuantitas yang luar biasa.

Pada 2009, peneliti bernama Curtis Suttle dari University of British Columbia pun mencoba menguak misteri lain Sierra de Naica. Menariknya, Suttle tak mendatangi gua tersebut untuk meneliti kristal, atau mineral, atau bebatuan apapun yang ada di sana. Suttle, kembali merujuk Zimmer, berusaha mencari virus di sana.

Kalangan peneliti kala itu menilai upaya eksplorasi yang hendak dilakukan Suttle menggelikan. Pikir mereka, Sierra de Naica terputus dari dunia biologi sejak jutaan tahun silam, sehingga mustahil virus dapat ditemukan di sebuah tempat yang tak berpenghuni, entah oleh manusia, hewan, dan bahkan ikan. Namun, tatkala sampel dari dalam gua diteliti, Suttle menemukan bahwa tiap tetas air Sierra de Naica mengandung 200 juta virus.

Kejutan yang dihadirkan Suttle soal virus bukan yang pertama. Pada 1980-an silam, ilmuwan dunia bersepakat bahwa bahwa jumlah virus di lautan sedikit, dan merupakan kepanjangan tangan dari virus yang berasal dari darat. Sialnya, klaim-klaim ilmuwan soal virus di lautan waktu itu hanya sebatas ujaran tanpa penelitian. Lita Proctor, mahasiswa State University of New York, geram dengan konsensus tersebut. Melalui penelitiannya yang dilakukan pada 1986 dengan mengambil sampel di Laut Karibia dan Sargasso, Proctor membuktikan betapa kelirunya konsesus itu. Dari penelitian yang dilakukannya, Proctor menyebut bahwa terdapat sekitar 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 virus di lautan. Dari jumlah yang masif tersebut, hanya secuil yang dapat menginfeksi manusia, hewan, atau fauna lautan--yang menjadi dasar konsesi para ilmuwan mengatakan virus di lautan jumlahnya sedikit. Fakta yang ditemukan Proctor, sebagian besar virus di lautan menyasar mikroba--makhluk yang tak terlihat mata manusia.

Kejutan lain, dalam penelitian yang dilakukan ahli biologi dari San Diego State University bernama Dana Willmer pada 2009, di tiap paru-paru manusia rata-rata terdapat 175 spesies virus. Ingat, spesies. Bukan jumlah keseluruhan virus.

Atas penelitian-penelitian tersebut, virus merupakan makhluk luar biasa. Berdiam diri di berbagai tempat, termasuk dalam tubuh manusia. Keluarbiasaan ini, mengambil contoh soal virus yang ditemukan di gua kristal, menjadikan virus tidak dianggap makhluk hidup oleh International Commitee on taxonomy of Viruses. Namun, mengambil contoh virus yang ditemukan di mikroba dan paru-paru manusia, kalangan ilmuwan lain menyebut sebaliknya. Bagi Zimmer, Keluarbiasaan virus sesungguhnya terangkum dalam makna kata "virus" sendiri. Kata "virus" pertama kali muncul di zaman Kekaisaran Romawi. Yang menarik, awalnya kata ini berarti "racun ular berbisa". Namun, berubah arti menjadi "sperma manusia". Dari dua arti yang saling berlawanan ini, virus membayangi "kehancuran sekaligus kelahiran bagi umat manusia."

Pengetahuan manusia tentang virus sendiri bermula ketika ribuan hektare perkebunan tembakau di Belanda musnah akibat wabah misterius pada abad ke-19. Kala itu, sebuah wabah aneh menyebabkan tembaku mati berguguran. Tanaman yang tersisa gersang nan kerdil, dan muncul semacam jaring-jaring. Seorang ahli botani bernama Adolph Mayer mencoba memahami wabah ini dan kebingunan. Dalam sampel tembakau yang ditelitinya, Mayer tidak menemukan fungi ataupun cacing parasit--makhluk hidup yang lazim menghancurkan tanaman kala itu--atau sebab lainnya. Namun, karena tak ingin menyerah, Mayer lantas mengekstraksi tembakau yang terkena wabah. Cairan hasil ekstraksi tersebut ia suntikan ke tembakau sehat.

Mudah ditebak, tembakau sehat itu pun mati. Karena teknologi saat itu tidak memungkinkan, Mayer berkesimpulan bahwa wabah misterius tersebut "terjadi karena infeksi tak terlihat".

Peneliti lain bernama Martinus Beijerinck memperbaiki temuan Mayer. Dalam penelitian lanjutan soal ekstraksi yang dilakukan Mayer, Beijerinck memfilter cairan tersebut, menyiramkannya ke selembar kertas, dan mengeringkannya selama tiga bulan. Ketika kertas benar-benar kering, Beijerinck merendamnya dalam air. Air hasil rendaman ia siram ke tembakau sehat. Tak disangka, seketika tembakau jadi sekarat.

Beijerinck lalu berkesimpulan bahwa ribuan hektare tembakau di Belanda mati gara-gara "cairan hidup yang menular". Ada "zat misterius" yang membunuhi tembakau.

Pada dekade 1930-an, ketidaktahuan Mayer dan Beijerinck terjawab. Melalui mikroskop elektron, manusia akhirnya dapat melihat makhluk yang jauh lebih kecil dibandingkan bakteri: virus.

Virus, sebut Zimmer, hanya merupakan makhluk berupa cangkang protein yang membawa secuil gen--umumnya tak lebih dari 10 (bandingkan dengan 30.000 gen dalam tubuh manusia). Definisi International Committee on Taxonomy of Viruses tak menganggap virus sebagai makhluk hidup. Namun, penetapan ini ditentang banyak kalangan ilmuwan (soal apakah virus makhluk hidup atau bukan, Anda dapat membaca opini Zimmer diThe New York Times, merupakan adaptasi dari buku terbarunya yang akan segera terbit berjudul Life’s Edge: The Search for What It Means to Be Alive). Mengenai kapan tepatnya virus muncul di dunia, para ilmuwan masih kebingungan. Namun, virus kemungkinan muncul tak lama usai bumi terbentuk. Salah satu alasannya, virus sesungguhnya membantu terciptanya bermacam makhluk hidup yang ada di bumi.

Dalam keyakinan ilmuwan, salah satu alasan munculnya berbagai macam makhluk hidup di bumi adalah karena tanah yang kita pijak ini memiliki suhu yang pas. Keadaan suhu yang pas ini mula-mula disebabkan oleh produksi oksigen yang dilakukan algae dan bermacam bakteri fotosintetis. Selain itu, bakteri-bakteri ini juga menghasilkan dimetil sulfida (dimethyl sulfide), gas yang menjadi benih awan hujan, yang mendatangkan air juga membendung teriknya sinar Matahari. Andai kelakukan bakteri-bakteri ini tak dibendung, bumi akan kelimpahan oksigen dan dimetil sulfida yang bisa membuat suhu bumi terus menyusut. Beruntung, virus bernama marine phages atau bacteriophages diketahui hidup berdampingan dengan bakteri-bakteri tersebut. Tugas bacteriophages sederhana: membunuhi bakteri-bakteri itu. Melalui mayat korban bacteriophages pula karbon dioksida dihasilkan.

Ada keseimbangan yang dihadirkan virus.

Tentu, efek positif kehadiran virus di dunia bukan hanya soal membantu suhu bumi pas. Para ilmuwan, tutur Zimmer, meyakini bahwa Rhinovirus, virus penyebab pilek (dalam bahasa Yunani dan Latin, "rhino" artinya hidung bukan "badak") melatih sistem imun manusia untuk tak berlebihan melawan virus. Anggapan ini muncul karena Rhinovirus tidak terlalu merusak inangnya. Ya, ada pula virus yang sangat merusak inangnya, misalnya, immunodeficiency virus. Virus ini menyerang sistem imun dan menjadi sebab manusia terpapar HIV.

Virus bisa membunuh sangat banyak bakteri fotosintetis (dan makhluk hidup lain) karena mampu mereproduksi diri dengan cara meretas makhluk hidup lain. Virus menginjeksi gen dan protein yang dikandungnya untuk memerintahkan inang yang dihinggapi agar menduplikasi virus. Tatkala bakteri yang dihinggapi virus berinteraksi dengan sesamanya, virus pun menular.

Di sisi lain, penularan virus ke jenis makhluk hidup lain yang berbeda dengan inang muasalnya tak mudah terjadi. Pasalnya, tiap makhluk hidup memiliki perbedaan, entah suhu tubuh, sistem imun, hingga anatomi. Untuk dapat hinggap di makhluk hidup lain, kembali merujuk karya apik Zimmer, virus membutuhkan "vector". Virus Nil Barat (West Nile Virus), sebagai contoh, awalnya muncul dalam tubuh nyamuk. Virus ini menginjeksi gen ke nyamuk yang dihinggapinya, memerintahkan sel nyamuk untuk mereproduksi dirinya. Lama-kelamaan, virus akhirnya masuk ke dalam tubuh nyamuk dan memahami si inang dengan seksama.

Nyamuk, seperti yang kita ketahui, hidup dengan menggigit makhluk hidup lain. Proses interaksi antarmakhluk hidup inilah yang menjadi cara virus menular ke jenis makhluk hidup selain inang muasalnya.

Tentu, bukan hanya memanfaatkan interaksi antarmakhluk hidup berbeda. Virus dapat sukses menginfeksi inang barunya karena ia, tulis Zimmer, "serampangan dalam mereproduksi diri dan virus sangat cepat mengubah genome-nya sendiri." Ketika virus menyalin diri, ia asal-asalan menulis DNA sehingga lazim terjadi mutasi genetik. Ketika virus hinggap di makhluk hidup yang berbeda, keserampangan ini masih ditambah lagi dengan aksi "mencuri" DNA inang barunya. Melalui proses yang berulang-ulang, ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan kali, virus akhirnya dapat melahirkan "varian virus baru".

Keserampangan copy-paste di inang lama akan memunculkan versi mutasi si virus. Keserampangan duplikasi diri di inang baru akan melahirkan virus yang mengerti makhluk hidup lain. Virus merupakan makhluk paling beranekaragam di dunia. Ilmuwan yakin, terdapat triliunan spesies virus yang mendiami bumi ini.

Ini jadi alasan mengapa SARS-CoV-2 yang mula-mula berasal dari kelelawar hinggap ke manusia. Dan dalam tubuh manusia, COVID-19 bertransformasi menjadi VUI-202012/01 (B.1.1.7). Ini pula jadi alasan mengapa manusia lebih mungkin (atau lebih tepat dibaca: sangat mungkin) gagal melawan virus karena ketika vaksin berhasil diciptakan, virus terlanjur bertranformasi ke dalam wujud barunya. Tercatat, manusia hanya menang mutlak melawan satu virus, yakni virus variola yang menyebabkan cacar. Manusia bisa melawan variola terjadi karena virus ini menghasilkan efek yang terlihat jelas oleh mata manusia, dan karenanya manusia langsung bertindak ketika cacar muncul sehingga mutasi bisa dicegah.

Terlebih, ketika vaksin variola berhasil diciptakan, belum ada kedunguan global bernama kampanye anti-vaksin.

Baca juga artikel terkait VARIAN B117 atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf