tirto.id - Pemerintah diminta meminimalisir dampak penetapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 5% bagi produk makanan, pakaian, barang elektronik, bensin, tagihan telepon, air, listrik, dan pemesanan hotel di Arab Saudi terhadap Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2018. Hal ini agar BPIH yang pada 2017 sebesar Rp34.890.312 tidak semakin memberatkan masyarakat dalam melaksanakan rukun Islam kelima itu. “Kami minta Kementerian Agama me-review (meninjau) kembali komponen [BPIH) dalam negeri yang bisa ditekan sehingga tidak berpengaruh besar,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodiq Mudjahid kepada Tirto, Senin (8/1).
Sodiq mengakui Kementerian Agama (Kemenag) tidak bisa mengintervensi kebijakan Pemerintah Arab Saudi. Untuk itu upaya menekan komponen penentu BPIH di dalam negeri menjadi penting. Misalnya, kata Sodiq, pemerintah bisa memperbanyak kuota pemberangkatan jemaah menggunakan maskapai dalam negeri seperti Garuda Indonesia ketimbang Saudi Arabia Airlines. Selain itu Sodiq juga meminta Kemenag memastikan PPN sebesar 5% yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi tidak berdampak terhadap komponen harga lain terkait haji. “Kami minta Kemenag mengawasi secara efektif agar tidak ada multiplier effect dari kenaikan (PPN 5%),” ujar Sodiq.
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) juga mesti berperan menekan kenaikan dana haji. Sodiq meminta BPKH kreatif di dalam mengelola dana haji, agar mereka bisa memberikan subsidi yang optimal terhadap BPIH yang dibayarkan masyarakat. “Kami dorong BPKH berkreasi membuat terobosan peningkatan nilai tambah [pengelolaan dana haji] agar bisa subsidi,” kata anggota Fraksi Partai Gerindra ini.
Komponen BPIH, menurut Sodiq, meliputi tiket pesawat, sewa pemondokan, ongkos transportasi darat, harga katering, dan biaya pelayanan khusus selama di Arafah—Muzdalifah—Mina. Penetapan harga di setiap komponen ditentukan oleh pemerintah bersama DPR dengan mengacu pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sodiq mengatakan pada 2015, DPR berhasil menekan BPIH sekira Rp7.000.000 dari komponen transportasi darat dan pemondokan. “Karena [saat itu] kami tahu harga di sana jadi kami minta Kemenang negosiasi,” ujar Sodiq.
Sodiq menolak wacana pemberian subsidi bagi calon jemaah haji dengan menggunakan uang APBN. Hal ini karena permintaan pergi haji oleh masyarakat terbilang tinggi. Pemberian subsidi melalui APBN menurutnya akan berimplikasi negatif terhadap kondisi keuangan negara. “Ketika demand tinggi tidak perlu subsidi,” katanya.
“Yang penting pemerintah tekan anggaran dan negosiasi.”
Biro Umrah Jangan Sembarangan
Anggota Dewan Pengawasan BPKH Marsudi Syuhud mengakui lembaganya bertugas mengelola dan mengembangkan dana haji para jemaah, namun ia belum menghitung berapa nilai manfaat yang akan diberikan lembaganya kepada calon jemaah. Marsudi beralasan masih menunggu penghitungan dan penetapan BPIH antara DPR dan pemerintah. “Akan menyesuaikan hitung-hitungannya. Sekarang belum [ditentukan],” katanya.
Marsudi mengatskan pihaknya tengah menyiapkan sistem yang memungkinkan masyarakat mengakses langsung hasil pengelolaan dana haji oleh BPKH. Sehingga pengelolaan dana haji bisa berlangsung lebih transparan dan manfaatnya dapat terukur. “Nanti hasil dari BPKH bisa diketahui langsung oleh jamaah haji melalui akun virtual,” ujarnya tanpa menjelaskan akun virtual yang dimaksud.
Penetapan PPN 5% tidak hanya berimbas terhadap BPIH tapi juga penentuan biaya umrah. “Kenaikan PPN tidak bisa dihindari itu kebijakan Saudi,” kata Sekretaris Jendral Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (Amphuri) Firman M Noer.
Penetapan PPN 5% berimbas terhadap kenaikan harga di sektor akomodasi, transportasi, dan konsumsi. Terlebih, kata Firman, Pemerintah Arab Saudi juga menaikan harga BBM. “Jadi ini serentak inflasi akan tinggi semua harga akan naik,” ujarnya.
Firman meminta seluruh biro perjalanan haji dan umrah tidak sembarangan menaikkan harga. Menurutnya kenaikan harga yang terlalu tinggi akan berimbas terhadap menurunnya animo masyarakat beribadah ke Tanah Suci. “Seandainya menaikkan berlebihan, maka tingkat masyarakat [pergi haji atau umrah] berkurang,” katanya.
Amphuri belum menghitung berapa besar kenaikan biaya umrah pascapenetapan PPN 5%. Firman memperkirakan kenaikan akan berkisar di angka 5% hingga 10% dari harga sebelumnya. “Sepertinya antara 5% sampai 10% tidak lebih dari itu kenaikannya,” ujar Firman.
Firman mengklaim Amphuri telah berupaya meminimalisir kenaikan harga umrah. Salah satunya dengan membentuk koperasi yang anggotanya terdiri dari biro perjalanan umrah dan haji. Lewat koperasi ini para biro bisa mendapatkan harga komponen penyelenggaraan umrah dan haji yang lebih kompetititif. “Karena koperasi memiliki kontrak dengan hotel,” contoh Firman.
Hal senada disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudddin. Ia meminta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) cermat menghitung dan tidak asal menaikan biaya umrah. “Travel umrah harus cermat menghitung setiap komponen pos pembiayaan. Kalaulah terpaksa harus menaikan, maka kenaikan itu harus rasional,” kata Lukman seperti dilansir dari situs Kemenag. Mantan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan ini mengingatkan PPIU untuk tidak mengambil keuntungan dari penerapan pajak 5% oleh Saudi. “Jangan sampai menaikan harga lalu berdalih kenaikan karena pajak lima persen, tapi sesungguhnya untuk travel. Saya pikir hal seperti ini harus dihindari,” ujarnya.
Kepada jemaah umrah, Menag mengimbau untuk bersikap kritis dalam memilih PPIU. Selain memastikan travelnya beriizin dan terpercaya, sikap kritis diperlukan terkait paket harga yang ditawarkan. “Kita harus menjadi konsumen yang kritis. Kita lihat komponen apa saja yang ditawarkan. Misal, hotel bintang berapa? Di mana? Harganya bisa kita prediksi. Juga pelayanan katering dan maskapai penerbangan yang digunakan,” tuturnya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar