Menuju konten utama

Yang Bakal Terjadi dari Rencana Gugatan ke Jokowi Soal Ojek Online

Aliansi ojek daring disarankan tak lagi mengupayakan jalur pengadilan agar kendaraan roda dua bisa dikategorikan transportasi umum.

Yang Bakal Terjadi dari Rencana Gugatan ke Jokowi Soal Ojek Online
Pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia atau Garda melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Payung hukum sering terlambat dan berada di belakang perkembangan teknologi. Hal ini bisa dilihat lewat kasus transportasi berbasis layanan aplikasi seperti Go-Jek dan Grab, terutama kendaraan roda dua. Undang-undang (UU) memang tak mencantumkan kendaraan roda dua sebagai transportasi umum, pemerintah sempat melarang pada 2015 meski akhirnya diralat.

Namun, tetap saja persoalan landasan hukum roda dua sebagai angkutan umum masih tak jelas. Sampai akhirnya kelompok yang menamakan diri sebagai Komite Aksi Transportasi Online (KATO) mengajukan permohonan agar kendaraan roda dua diakui pemerintah sebagai transportasi umum sebagaimana mobil. Namun pada 28 Juni 2018, Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sepeda motor tidak bisa dikategorikan sebagai angkutan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 138 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Koordinator Dewan Presidium KATO Said Iqbal meradang. Setelah permohonan itu tak dikabulkan, Iqbal dan timnya berencana mengajukan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ditujukan kepada enam pejabat negara antara lain: Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dan Ketua DPR Bambang Soesatyo.

"Enam orang ini dinyatakan salah karena tidak memberikan perlindungan terhadap pengemudi ojol (ojek online)," kata Iqbal, Minggu (1/7/2018).

Iqbal bilang orang-orang yang disebut itu adalah perwakilan negara yang bersalah karena tidak mengakui ojek daring sebagai angkutan umum. Ia mengatakan langkah CLS akan dieksekusi ketika waktunya sudah tepat. Iqbal berencana mendaftarkan gugatan pada Jumat (7/7). "Berkas atau konsep gugatan kita sudah siap. Kami dari awal sudah mempersiapkan alternatif ini. Mungkin Jumat kita masukan ke PN Jakpus," kata Iqbal.

Tidak Lewat Pengadilan

Pakar Hukum Administrasi dari Universitas Atmajaya, Riawan Tjandra, menilai langkah KATO berupaya kembali lewat jalur hukum tidak tepat. Alasannya: ojek daring punya karakter yang beda dengan angkutan umum, dan itu tak bakal berubah jika payung hukum tertinggi yang mengatur itu, UU LLAJ, tak berubah.

Hal ini juga sulit dilakukan karena menurut Riawan karakter ojek memang beda dengan kendaraan yang sudah diakui sebagai moda transportasi publik. Oleh karena itu, alih-alih mengupayakan lewat pengadilan atau meminta DPR dan pemerintah merevisi UU LLAJ, KATO, kata Riawan, seharusnya menuntut pemerintah membuat aturan yang spesifik mengenai ojek daring.

"Meski dasarnya UU yang sama, masih bisa digunakan untuk melindungi ojol (ojek online) melalui peraturan pelaksanaan di dalam peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Perhubungan," ujar Riawan kepada Tirto.

Peraturan ini bisa sangat fleksibel. Regulasi ini, misalnya, bisa mengatur bagaimana hak-hak pekerja, aspek yang menurut aliansi hanya bisa diselesaikan ketika sepeda motor dikategorikan sebagai angkutan umum.

Selain itu, karakter gugatan CLS menurutnya kurang efektif. CLS pada dasarnya adalah mekanisme yang memungkinkan tiap warga negara menggugat pemerintah karena merasa kebijakan yang dikeluarkan merugikan publik.

Masalahnya, hukum ini masih kontroversial. Ilham Magribi dari Padjajaran Law Research & Debate Society menyebut bahwa CLS "belum mempunyai landasan hukum" atau dengan kata lain tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.

Sebagai contoh, ketika Tim Advokasi Hak Atas Air melakukan gugatan ke PN Jakpus medio 2013 lalu, para tergugat dari mulai Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Gubernur dan DPRD DKI Jakarta dan PDAM Jakarta menyebut kalau model CLS tak bisa digunakan untuk menggugat mereka.

Atas alasan yang sama Ketua Majelis Hakim PN Jakpus, Tafsir Sembiring Meliala, menolak gugatan penggunaan kata "pribumi" oleh Anies Baswedan ketika berpidato pertama kali sebagai Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober tahun lalu.

Namun, dari rangkaian kegagalan-kegagalan ini, pernah ada kasus ketika hakim pengadilan menerima hak gugat (standing) dengan dasar CLS. Hakim PN Jakpus menerima gugatan CLS dari Sandyawan Sumardi dan 52 orang lain dalam kasus pendeportasian 480 ribu buruh migran oleh pemerintah Malaysia tahun 2003. Para tergugat—termasuk presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri—dinyatakan belum maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang jadi buruh migran.

Hal yang sama terjadi pada gugatan terhadap ujian nasional tahun 2006 lalu. Dikutip dari hukumonline, ketika itu majelis hakim berpendapat guna mengakomodir masalah yang kian kompleks, maka setiap warga negara memang boleh mengajukan gugatan atas nama kepentingan umum.

Menurut pernyataan Iqbal, KATO, belum memikirkan mengenai usulan agar mereka menempuh jalan lain di luar CLS. Namun, KATO hendak mendesak DPR dan pemerintah merevisi UU LLAJ pada tahun depan.

Di luar persoalan gugatan ini, pemerintah memang masih pada sikap yang sama, tak akan melakukan revisi soal payung hukum. Namun, tetap memberikan ruang terhadap keberadaan ojek online dengan melempar "bola panas" ke pemerintah daerah. Menteri Perhubungan Budi Karya mengatakan "memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola ojek online"

Infografik Current Issue Peluang Motor Sebagai Angkutan Publik

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Hukum
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino