tirto.id - Ojek online belum juga jelas nasibnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak memasukkan angkutan berbasis sepeda motor itu masuk dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penolakan ini membuat Kementerian Perhubungan kini berencana mengalihkan regulasi soal ojek online ke pemerintah daerah.
Penolakan Mahkamah dilakukan dalam sidang uji materi terhadap Pasal 138 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diajukan Komite Aksi Transportasi Online (KATO) yang mewakili 50 pemohon dari berbagai latar belakang profesi.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat berkata “ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang dan/atau orang dengan mendapat bayaran, maka diperlukan kriteria yang dapat memberikan keselamatan dan keamanan,” kata Arief, Kamis (28/6/2018).
Majelis juga berpandangan tidak menutup mata dengan fenomena ojek, tapi legalitas ojek online bukan permasalahan konstitusional. “Hal tersebut tidak ada hubungannya dengan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” kata Majelis.
Tetap Butuh Regulasi
Koordinator Presidium KATO Said Iqbal kecewa dengan putusan MK tersebut. Iqbal menyebut hakim MK hanya melihat prosedur hukum dari UU yang dimohonkan untuk diuji materi tanpa mempertimbangkan substansinya.
Ia menilai substansi hukum yang luput itu terkait dengan pengakuan kendaraan beroda dua sebagai angkutan umum dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Kami mengutuk keputusan para hakim MK yang mengabaikan rasa keadilan daripada para pengemudi ojek online,” ucap Iqbal kepada Tirto, Jumat (29/6/2018).
Iqbal menilai pengendara ojek online tidak bisa disamakan dengan ojek pangkalan lantaran ada hubungan kerja yang terjalin antara aplikator dan mitra, seperti pembagian hasil kerja dengan persentase sebesar 20 persen untuk aplikator dan 80 persen untuk mitra. Ini sebenarnya yang menjadi salah satu substansi yang sedang diupayakan dengan uji materi tersebut.
Lebih dari itu, Iqbal menyebut ketiadaan payung hukum membuat perlindungan bagi pengemudi ojek online terganggu. “Karena tidak ada perlindungan hukum, hak konstitusi [kami] diabaikan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” ujar Said.
Setelah permohonan uji materinya ditolak, Iqbal mengaku telah menyiapkan tiga langkah secara hukum, politik, dan gerakan massa.
Untuk langkah hukum, Iqbal mengklaim bakal melayangkan citizen law suit (PDF) kepada Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.
Iqbal juga mengaku sudah menyiapkan langkah gugatan ke MK kembali dengan pasal yang berbeda. “Kami juga berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung agar mereka dapat memutuskan pengakuan terhadap kendaraan roda dua sebagai alat transportasi umum,” ungkap Said.
Sementara untuk langkah politik, Iqbal berencana mendesak DPR membentuk Panja (Panitia Kerja) dan Pansus (Panitia Khusus). Terkait dengan gerakan massa, Iqbal mengaku masih mempertimbangkannya serta menjadikannya alternatif terakhir.
Pemerintah Lempar Tangan
Ditemui di tempat terpisah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku akan mencermati poin-poin yang telah diputuskan MK. Ia menjamin ojek online bisa tetap eksis serta beroperasi tanpa adanya kendala.
Saat disinggung kemungkinan untuk merevisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Budi menilai belum ada urgensinya. “Segala kemungkinan itu ada, tapi apakah perlu? Saya tidak merasa itu urgent,” kata Budi Karya.
Alih-alih merevisi UU Lalu Lintas, Budi mengatakan pemerintah pusat akan menyerahkan urusan ojek online kepada pemerintah daerah. Rencana tersebut sudah terbesit tapi Menhub belum menjelaskan secara rinci formula yang bakal diterapkan untuk mengawasi pengelolaan ojek online yang akan dilakukan pemerintah daerah.
Rencana pengelolaan ojek online oleh pemerintah daerah ini tidak disambut baik KATO. Iqbal berpendapat rencana itu hanya akan menjadi upaya yang tidak efektif karena persoalan ojek online sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat karena jumlah mitra yang terlibat sangat banyak.
Ia justru khawatir penyerahan ke pemda akan menimbulkan konflik baru, seperti munculnya kerawanan sosial.
Terpisah, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, berpendapat putusan MK ini seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah agar tidak terus-terusan membiarkan bisnis ojek online sebagai angkutan orang.
Djoko tidak menampik apabila ojek online telah menjadi alat transportasi yang digemari masyarakat perkotaan. Kendati demikian, Djoko mengimbau pemerintah mampu mengalihkan kegemaran masyarakat terhadap ojek itu ke alat transportasi yang lebih layak.
“Negara harus hadir melindungi mereka [pengendara ojek online] dan bukan membiarkannya menjadi bahan bulan-bulanan aplikator yang seolah memberi lapangan pekerjaan dan mengatasi pengangguran,” ungkap Djoko.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih