tirto.id - Agnez Mo tiba-tiba ke tengah panggung menggunakan mobil sport utility vehicle (SUV) DFSK Glory 580. Ia melambaikan tangannya kepada penggemar kemudian menghampiri dua pembawa acara yang berlangsung pada Kamis (19/7) malam, pekan lalu. Agnez bukan sedang melakukan konser tunggal, tapi tampil sebagai brand ambassador DFSK Glory 580, produk mobil PT Sokonindo Automobile sebagai agen pemegang merek (APM) DFSK di Indonesia.
Sokon mengikuti jejak Wuling yang sama-sama sedang berjuang membangun citra mobil Cina. Sudah jadi rahasia umum, mobil Cina kerap dipandang minor oleh konsumen karena pengalaman masa lalu. Ini tentu jadi tantangan bagi pabrik mobil Cina seperti PT Sokonindo Automobile.
Seperti Wuling, Sokon juga mencoba menawarkan mobil menengah atas dengan harga yang terjangkau. Sokon meluncurkan Glory 580 hanya dibanderol Rp245,9 juta sampai Rp308 juta. Produk tersebut memiliki kelengkapan yang tidak kalah dengan Honda CRV 1.5 Turbo, sebagai rival sekelasnya yang dihargai Rp473-513 juta.
Meski harganya lebih murah, akan tetapi Sokon menawarkan beragam fitur yang kaya fungsi. Sebagai contoh, Glory 580 sudah dijejali fitur electronic parking brake (EPB), tyre pressure monitoring system (TPMS), ABS+EBD, dan dual airbag. Buat menunjang keselamatan, mobil berkapasitas tujuh penumpang ini disusupi teknologi hill hold control (HHC), dan electronic stability program (ESP), dan cruise control.
Menakar Nasib Mobil Cina
Tawaran ragam fitur nan canggih belum cukup untuk mengikis stigma soal mobil Cina yang mengakar di masa lalu. Nasib Geely dan Cherry misalnya, terpuruk di tengah hegemoni mobil-mobil Jepang. Mobil Cina hanya mendapatkan animo euphoria di awal kemunculannya, setelah itu lenyap tak berbekas.
Pada 2012, Cherry membombardir pasar mobil dalam negeri dengan meluncurkan delapan produk sekaligus Cherry Easter, Chery Tinggo, Chery Yoyo, Chery TransCa, Chery Fulwin, Chery Yoki, Chery A1, Chery A3. Namun, hasilnya tetap minor. Melansir data Gaikindo, di tahun tersebut Cherry hanya mampu mencapai jumlah wholesales 215 unit. Jumlah tersebut hanya lebih banyak 30 unit dibandingkan tahun sebelumnya ketika mereka cuma memasarkan dua produk, Cherry QQ dan Tiggo. Parahnya, di 2013 merek Cherry lenyap begitu saja.
Pencapaian Geely sedikit lebih baik, tapi berakhir dengan jalan nyaris serupa. Aktivitas bisnis Geely di bawah PT Geely Mobil Indonesia (GMI) moncer di 2012, menembus volume wholesales 1.232 unit. Namun, hanya setahun berselang penjualannya tersungkur di angka 498 unit. Di 2014 dan 2015, distribusi unit ke dealer terkoreksi signifikan menjadi 193 dan 135 unit. Sama seperti Cherry, riwayat Geely berakhir tanpa kepastian.
Namun, riwayat Cherry dan Geely tidak bisa dijadikan parameter utama untuk mengukur peluang mobil Cina DFSK atau Wuling di pasar mobil nasional. Perusahaan manufaktur Cina cukup tekun dalam membenahi kualitas untuk meningkatkan derajat kualitas produknya di taraf global.
Data hasil observasi J.D. Power tahun 2017 menyebutkan, rata-rata jumlah kerusakan komponen mobil Cina membaik dari tahun ke tahun. Studi dilakukan dengan melakukan survei kepada 23.993 pemilik 251 model mobil baru dari 68 merek berbeda keluaran September 2016 sampai Mei 2018. Hasilnya, rata-rata kerusakan membaik menjadi 100 kerusakan per 100 kendaraan, dibandingkan 107 kerusakan per 100 kendaraan di 2016. Perbaikan kualitas tersebut cukup signifikan dibandingkan statistik 2009 ketika tingkat kerusakan mobil Cina masih ada di ambang 178 kerusakan 100 kendaraan.
Studi J.D. Power juga mengevaluasi perbandingan kualitas antara merek mobil Cina dengan Internasional. Untuk kali pertama sejak 2000, kualitas mobil Cina unggul dalam tiga aspek, yakni interior, fitur, dan sistem audio. Sementara, masalah aroma tidak sedap dalam kabin masih jadi masalah terbesar mobil Cina.
Selain itu, di tahun 2017 banyak konsumen yang mengeluhkan konsumsi bahan bakar yang boros. Secara keseluruhan, rata-rata mobil Cina mengalami lebih banyak 13 masalah dibandingkan merek internasional. Angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan penilaian pada 2000, saat mobil buatan Cina punya 396 lebih banyak masalah ketimbang merek internasional.
Kematangan kualitas produksi mobil Cina tidak lepas dari keberhasilan perusahaan-perusahaan manufaktur otomotif menjalankan strategi joint venture dengan pabrikan kendaraan Eropa, Amerika, dan Jepang. Sejak 1994, Pemerintah Cina mewajibkan perusahaan manufaktur globa merangkul merek otomotif lokal dengan pembagian saham 50:50 untuk memproduksi mobil secara lokal. Setelah bertahun-tahun menyerap teknologi, merek otomotif Cina mampu mereduksi tingkat ketergantungan teknologi dengan para mitra.
“Joint Venture dengan VW dan General Motors memberi kami jalan untuk (mempelajari) teknologi canggih. Sekarang kami melanjutkan pengembangan (teknologi) secara independen,” ujar Global Director Transmissions & Driveline Department , SAIC Motor Technical Center, Dr. Weirong Fang dikutip dari majalah internal Shangai Automotive Industry Corporation (SAIC)— salah satu perusahaan manufaktur otomotif terbesar di Cina.
Dongfeng Motor Corporation (DMC), sebagai induk perusahaan DFSK termasuk dalam big four pelakon industri otomotif terbesar di Cina. DMC punya keterkaitan dengan merek multinasional, seperti Nissan, Renaut, Kia, dan Honda.
Catatan bagi DFSK dan Wuling sebagai pemain baru di pasar otomotif Indonesia harus bisa mempelajari karakter konsumen Indonesia. Membangun kepercayaan lewat kualitas produk yang teruji dengan waktu dan jaringan purnajual yang memadai jadi kuncinya, lebih sekadar harga, banjir fitur atau garansi. Kini, DFSK dan Wuling sedang menjalani ujian itu di pasar Indonesia yang terkenal persaingannya sengit.
Editor: Suhendra