Menuju konten utama

Wolbachia, Harapan Baru Melawan Demam Berdarah

Apakah hewan yang paling mematikan di dunia? Buaya? Ular? Hiu? Bukan. Hewan yang paling banyak menyebabkan kematian manusia di bumi ini adalah nyamuk. Nyamuk telah menyebabkan lebih dari 700 ribu kematian di seluruh dunia.

Wolbachia, Harapan Baru Melawan Demam Berdarah
Ilustrasi nyamuk [foto/shutterstock]

tirto.id - Bill Gates, sang pendiri raksasa komputer Microsoft, mengunggah infografis berjudul “World's Deadliest Animals” pada laman Twitter-nya pada 29 April 2014. Dalam infografis tersebut---yang datanya disarikan dari laporan WHO dan FAO-- nyamuk tercatat telah mengakibatkan kematian sekitar 725.000 jiwa tiap tahunnya. Angka itu jauh lebih banyak dibandingkan ular (50.000), anjing (25.000), dan lalat Tsetse (10.000).

Nyamuk bisa menjadi hewan paling mematikan karena mereka berperan sebagai perantara dari penyakit-penyakit tropis berbahaya seperti malaria, demam berdarah, demam kuning (yellow fever), dan yang terbaru, virus Zika. Mengutip data dari WHO, Gates menyebutkan bahwa malaria membunuh satu anak tiap satu menit di benua Afrika. Hal ini pula yang mendorong Gates merancang kampanye “Mosquito Weeks” untuk meningkatkan kesadaran publik akan bahaya penyakit yang dibawa oleh nyamuk.

Bill Gates tidak sendiri. Ilmuwan-ilmuwan dari berbagai penjuru dunia, di bawah koordinasi Monash University Australia, mencanangkan proyek “Eliminate Dengue” untuk mengantisipasi penyebaran demam berdarah. Proyek ini melibatkan uji coba lapangan di negara-negara tropis seperti Vietnam, Brazil, Kamboja, dan Indonesia. Mereka berusaha membuat terobosan baru lewat pengendalian demam berdarah dari sang nyamuk pembawa, Aedes Aegypti.

Cara alami mematikan virus dengue

Proyek “Eliminate dengue” merupakan kolaborasi penelitian internasional yang dipimpin oleh Profesor Scott O'Neill, Dekan Fakultas Sains di Monash University Australia. Proyek ini didanai oleh beberapa pihak, seperti Bill and Melinda Gates Foundation, pemerintah federal Australia, pemerintah negara bagian Queensland, serta Yayasan Tahija dari Indonesia.

“Eliminate Dengue” di Indonesia dipusatkan di kota Yogyakarta melalui kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dipimpin oleh Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., M.P.H., Ph.D . dari Fakultas Kedokteran UGM. Bill Gates bahkan sempat mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi tempat uji coba proyek ini dalam kedatangannya ke Yogyakarta pada 5 April 2014 lalu.

Proyek “Eliminate Dengue”menggunakan bakteri Wolbachia untuk mematikan virus dengue secara alamiah di dalam tubuh sang nyamuk. Logika kerjanya sederhana: dibandingkan membunuh nyamuk demam berdarah yang populasinya susah dikontrol, lebih baik menggunakan nyamuk tersebut sebagai solusi pemberantasan penyakit.

Metode Wolbachia dilakukan dengan melepas nyamuk-nyamuk betina yang sudah disuntik dengan bakteri Wolbachia. Nyamuk-nyamuk betina ini diharapkan akan kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti jantan liar sehingga menghasilkan keturunan yang mengandung Wolbachia. Dikutip dari situs http://www.eliminatedengue.com/indonesia, bakteri Wolbachia tidak akan menurun secara genetis jika disuntikkan ke nyamuk jantan.

John Timmer dari Cornell Medical College dalam situs Arstehnica menyatakan, bakteri Wolbachia tidak dapat diwariskan melalui sperma. Ia menambahkan, Wolbachia paling banyak ditemui dalam “gonad” (kelenjar kelamin) betina, sehingga Wolbachia menjadi lebih mudah untuk diwariskan ke generasi nyamuk berikutnya. Bakteri ini secara alamiah dapat ditemui pada 65 persen serangga khususnya lalat buah.

Timmer memaparkan, beberapa varian dari Wolbachia bisa melakukan hal-hal menakjubkan kepada serangga inangnya: mengubah jenis kelamin, membunuh keturunan genetisnya, hingga menciptakan spesies-spesies baru. Wolbachia juga merupakan bakteri yang agresif. Ia mampu memasuki sel-sel inangnya dan bermukim di dalamnya. Wolbachia selanjutnya dapat berinteraksi bahkan memanipulasi komponen-komponen sel yang menjadi "rumahnya". Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh proyek “Eliminate Dengue “ untuk mematikan virus demam berdarah di dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti.

Terobosan biologis tanpa efek samping

Profesor Scott O'Neill selaku kepala pimpinan proyek internasional ini dalam scientificamerican.com menjabarkan, Wolbachia pertama kali ditemukan pada 1924 dalam sebuah penelitian terhadap nyamuk rumah. Pada 1970, para ilmuwan mulai menemukan bahwa Wolbachia dapat menghambat penetasan telur nyamuk dalam kondisi-kondisi tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa Wolbachia dapat dijadikan sarana mengontrol populasi serangga secara alami. Selanjutnya, pada 1990, para ilmuwan menemukan bahwa Wolbachia juga dapat memperpendek masa hidup serangga, sehingga bakteri ini dapat berfungsi untuk membatasi penularan penyakit oleh serangga melalui kontrol populasi.

O'Neill menegaskan, pihaknya belum menemukan bukti bahwa keberadaan Wolbachia mengganggu kelestarian lingkungan. Ia memaparkan, sejak riset dimulai pada 2011, terbukti bahwa Wolbachia hanya berpengaruh pada tataran sel dari serangga-serangga yang diinfeksinya tanpa menimbulkan dampak yang lebih luas. Sementara itu, bagi manusia, Wolbachia juga sama sekali tidak menimbulkan efek samping. Eksperimen yang dilakukan oleh profesor O'Neill dan timnya menunjukkan, Wolbachia tidak berpotensi untuk ditularkan kepada manusia, karena ukuran Wolbachia terlalu besar untuk berpindah dari ludah nyamuk ke aliran darah manusia saat nyamuk tersebut mengigit manusia.

Potensi yang dimiliki oleh Wolbachia telah diakui oleh lembaga World Health Organization (WHO). Seperti dilansir laman www.ristekdikti.go.id, WHO pada Maret 2016 mengeluarkan pernyataan bahwa Wolbachia merupakan teknologi baru yang menjanjikan untuk menekan replikasi virus dengue, chikungunya, dan zika dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.

Perkembangan riset di Indonesia

“Eliminate Dengue” Indonesia didirikan pada September 2011. Menurut prof Adi Utarini selaku kepala program di Indonesia, inisiatif program ini dimulai oleh Yayasan Tahija. Yayasan ini kemudian menjalin komunikasi dengan Monash University yang menjadi salah satu universitas pusat penelitian penyakit tropis dunia. Pertemuan ini melahirkan kesepakatan untuk menggandeng UGM sebagai mitra universitas di Indonesia.

“Awal mulanya Yayasan Tahija mengontak fakultas, kemudian dekan pada saat itu berkonsultasi dengan melibatkan pakar dan guru besar antara lain Prof Yati Soenarto, spesialis anak, Prof Ali Gufron Mukti, yang sekarang menjadi salah satu Dirjen di Kemenristekdikti, kemudian saat itu juga wakil dekan yang perannya cukup besar ialah Prof Sofia Mubarika dan dilanjutkan dr. Abu Tholib,” paparnya kepada tirto.id.

Seperti dikutip dari www.eliminatedengue.com/yogyakarta, Eliminate Dengue Program (EDP) Yogyakarta sejak 2011 telah mengawali fase persiapan memulai di Bantul dan Sleman sejak tahun 2011. Mulai 2014, EDP Yogya melakukan pelepasan terbatas nyamuk ber-Wolbachia di Sleman yang dilaksanakan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Karangtengah dan Ponowaren, Desa Nogotirto dan Dusun Kronggahan 1 dan Kronggahan 2, Desa Trihanggo. Pada 2015, EDP-Yogya kembali melakukan pelepasan terbatas di Bantul. Pelepasan menggunakan telur nyamuk ber-Wolbachia ini dilakukan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Jomblangan, Desa Banguntapan dan Dusun Singosaren 3, Desa Singosaren.

Penentuan wilayah-wilayah tersebut didasarkan kepada dua pertimbangan: faktor geografis dan sejarah daerah tersebut sebagai wilayah endemis demam berdarah. Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang baik luas wilayah maupun kondisi geografisnya memungkinkan tim melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia. Wilayah-wilayah ini biasanya dihuni antara 700-1200 kepala keluarga yang secara fisik terpisah dari pemukiman lainnya baik oleh jalan, hutan atau lahan pertanian.

Prof Adi memaparkan, ada dua metode berbeda yang digunakan oleh timnya. Di daerah Bantul, tim memilih untuk melepas telur nyamuk yang diletakkan di ember dan dilapisi kain flanel kecil di tiap rumah penduduk. Setiap dua minggu sekali, ember akan diganti. Nyamuk selanjutnya akan menetas dan keluar dari lubang-lubang pada flanel tersebut.

Di Sleman, metode ini dilakukan dengan melepaskan nyamuk dewasa selama dua puluh minggu berturut-turut. Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 80 persen dari nyamuk di wilayah tersebut sudah mengandung Wolbachia.

“Setelah itu baru pada langkah ketiga yang sebetulnya ingin kita buktikan, apakah kalau sudah cukup tinggi frekuensinya apakah kasus demam berdarahnya menurun,” ujar prof Adi. “Paling tidak tiga tahun lagi baru kita betu-betul memperoleh bukti-bukti yang kuat, bahwa teknologi ini betul-betul bisa menurunkan kasus demam berdarah,” lanjutnya.

Dalam kesempatan berbeda, kepada Deutsce Welle, prof Adi menegaskan bahwa cara ini tetap tidak akan efektif tanpa adanya kesadaran dari masyarakat untuk melakukan tindakan preventif.

"Saya tidak percaya akan ada satu cara hebat. Teknologi baru yang kita bawa ini tidak dimaksudkan untuk mengganti semua kegiatan yang dilalukan selama ini... pencegahan sangat penting,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait DEMAM BERDARAH atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mutaya Saroh & Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti