Menuju konten utama
Insan Muda Sinema Indonesia

Wisnu Legowo Tak Berhenti Berikhtiar Membangun Sinema Tegal

Wisnu percaya bahwa kehidupan orang-orang Tegal punya banyak cerita untuk disampaikan.

Wisnu Legowo Tak Berhenti Berikhtiar Membangun Sinema Tegal
Ilustrasi Wisnu Legowo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Wicaksono Wisnu Legowo sangat antusias saat menceritakan pengalamannya menonton film semasa kecil hingga remaja. Bersama kedua orangtuanya, Wisnu sering diajak pergi ke bioskop di kota Tegal. Film yang sering mereka tonton adalah film action Hong Kong 1980-an yang terinsipirasi aksi-aksi Wong Fei-hung.

“Aku lupa judulnya apa. Karena saat itu masih kecil, kan. Yang aku ingat, aku merasa seperti terpana dan kebawa dengan visual-visual yang ada dalam film itu. Karena aku belum mengerti bahasa yang mereka bicarakan, visual jadi medium yang sempurna untuk membantuku memahami film itu,” katanya kepada Tirto.

Pengalaman menonton film laga tersebut terus terpatri dalam benak Wisnu. Seiring waktu, ia kian keranjingan dengan film-film action. Bahkan, di satu kesempatan, ia sampai membeli kaset album soundtrack film Robin Hood: Prince of Thief (1991), yang pernah booming gara-gara lagu berjudul “(Everything I Do) I Do It for You”—dinyanyikan Bryan Adams.

Pertautan-pertautan itulah yang kemudian membuat Wisnu yakin untuk terjun dalam dunia film, dunia yang membawanya menembus batas cakrawala—sesuatu yang mungkin tak pernah terlintas di pikirannya.

Mengangkat Narasi Kota Pinggiran

Kata hati tak dapat dikelabui, demikian kira-kira gambaran tentang perjalanan Wisnu di dunia film. Sempat memendam impian bergelut dalam sinema karena tak direstui orangtua, Wisnu akhirnya memutuskan untuk mewujudkan pilihannya.

“Sebelumnya, saya kuliah dulu di Unisba [Universitas Islam Bandung] selama dua tahun karena keinginan saya untuk kuliah di IKJ [Institut Kesenian Jakarta] tidak dikabulkan sama orangtua,” terangnya. “Tapi, saya mencoba meyakinkan mereka dan akhirnya diperbolehkan.”

Di kampus yang terletak di bilangan Cikini, Jakarta Pusat itu, Wisnu mengambil jurusan film. Berbekal materi yang ia dapat selama kuliah, Wisnu memulai debut penyutradaraannya pada 2006. Film pertama garapannya adalah film pendek berjudul Tobong. Kemudian, berturut-turut Wisnu membikin Palu Waktu (2006), Berkah Centong (2007), Seragam Merah Putih (2008), sampai Ibu dan Anak-Anakku (2008).

Dari film pendek, Wisnu lantas melebarkan kiprahnya ke industri film nasional, dengan bergabung bersama tim produksi Ayat-Ayat Cinta (2008) yang dipimpin Hanung Bramantyo, sebagai clapper—orang yang bertugas untuk menandai mulainya take sebuah adegan.

Lingkup relasi Wisnu bertambah luas setelah bekerja bersama Hanung. Di fase ini, ia bertemu serta berkenalan pula dengan Ifa Isfansyah. Oleh Ifa, Wisnu sering didapuk menjadi asisten sutradara di film-filmnya, dari Sang Penari (2011) hingga Rumah dan Musim Hujan (2012).

Tahun 2014 menjadi momentum bagi Wisnu untuk melangkah lebih jauh. Di saat proses syuting Pendekar Tongkat Emas, film laga yang mengambil latar di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Barat, Wisnu memutuskan untuk membikin film panjang pertamanya.

“Di situ saya mulai bikin script-nya. Kebetulan, saya juga didorong Mas Ifa untuk bikin film panjang. Mas Ifa juga sudah kasih persetujuan,” cerita sutradara kelahiran 1983 ini.

Butuh waktu sekitar dua tahun untuk merampungkan keseluruhan proses pembuatan film pertamanya yang kemudian diberi judul Turah. Wisnu mengaku, cerita Turah terinspirasi dari kejadian—dan lingkungan sosial—yang terdapat di sekitarnya.

“Bikin Turah karena itu yang saya alami secara dekat. Saya melihat dan merasakan sendiri pengalamannya,” tegasnya.

Turah berkisah tentang kerasnya persaingan hidup yang menyisakan kepahitan sekaligus kekalahan bagi orang-orang di Kampung Tirang, yang termanifestasi lewat kemiskinan, kelicikan, dan ketidakberuntungan.

Di tengah segala pesimisme itu, Turah (Ubaidilah) dan Jadag (Slamet Ambari), dua karakter utama, muncul serta berupaya membawa optimisme maupun harapan. Keduanya, dengan begitu berani dan vokal, melawan rasa takut—yang sudah akut menjangkiti seluruh sendi-sendi kehidupan Kampung Tirang.

Menonton Turah adalah menyaksikan realitas yang digambarkan secara telanjang. Wisnu tak menutupi sedikit pun kesengsaraan. Ia memaparkannya dengan blak-blakan. Katanya, lewat Turah, ia tak hendak menyajikan cerita yang menyayat hati atau karakter-karakter yang butuh simpati. Wisnu menghadirkan kehidupan sekelompok manusia yang berusaha bertahan hidup dengan cara masing-masing, demi kehidupan indah yang mereka idam-idamkan.

Tak dinyana, Turah mendapatkan tanggapan yang (sangat) positif. Kritikus memuji habis-habisan, festival film pun banyak yang merayakannya—dari Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) sampai Festival Film Singapura.

Akan tetapi, prestasi yang bikin bangga tentu datang kala Turah ditunjuk Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI)—yang diketuai Christine Hakim—untuk mewakili Indonesia di ajang Academy Awards, atau Oscar, ke-90 dalam kategori Film Berbahasa Asing (Foreign Language Film).

Karya garapan Wisnu tersebut, seperti diungkapkan Christine, merupakan yang terbaik di antara film-film lain yang masuk meja panitia.

Mewakili Indonesia di ajang sekelas Oscar tak bisa dipungkiri bikin Wisnu bungah. Namun demikian, ada hal lain yang lebih membuat Wisnu merasa bangga di debut filmnya itu: energi dari para kru serta pemain—terdiri dari aktor teater, wartawan, dan masyarakat sekitar—yang melimpah ruah.

“Energinya [selama proses syuting] sangat luar biasa. Saya, jujur, terharu melihat para pemain dan kru begitu semangat dalam mengikuti pembuatan Turah,” akunya. “Ini juga yang membikin saya berpikir dan yakin bahwa keputusan untuk menyutradarai Turah tidaklah salah. Karena kalau bukan saya, atau mungkin teman-teman di Tegal, siapa lagi?”

Melawan Stereotipe Kota Kecil

Hadirnya Turah adalah bantahan atas anggapan bahwa kota kecil tak dapat melahirkan karya-karya berkualitas.

Lewat Turah, Wisnu membuktikan kepada khalayak: Tegal, salah satu kota di Jawa Tengah yang tak punya sejarah dan tradisi sinema, ternyata mampu melakukan sebaliknya.

“Film, ya, seharusnya jadi sebuah film. Ia tak semestinya diberi label ‘film nasional’ maupun ‘film daerah.’ Film itu bahasa universal yang bisa menyampaikan pesan kepada penonton, tidak peduli dari mana asalnya,” ucapnya.

Tinggal—dan berkarya—di Tegal, mau tak mau, suka tak suka, memang membikin pendapat semacam itu mudah bermunculan. Tapi, toh, Wisnu memilih untuk tak ambil pusing. Lagi pula, jelasnya, Tegal dan Jawa Tengah sedang berada di jalur yang benar: membangun ekosistem filmnya sendiri.

Ini, tambah Wisnu, bisa dilihat lewat banyaknya komunitas film di tengah-tengah masyarakat Tegal yang menurut Wisnu angkanya bisa mencapai puluhan.

Aktivitas komunitas tersebut makin lengkap dengan adanya ruang kreatif—kendati jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Salah satu yang menonjol adalah SPASI yang didirikan oleh Wisnu. SPASI, yang punya makna “memberi jarak namun tetap menyatukan,” berfungsi sebagai tempat pemutaran film alternatif, pameran seni, perpustakaan, sampai workshop.

Sementara bila keluar dari Tegal, pembangunan ekosistem film didukung pula dengan hadirnya Festival Film Purbalingga (FFP) yang sudah berusia 13 tahun. Tak seperti festival film pada umumnya, FFP menerapkan sistem “turba,” alias “turun ke bawah,” ke desa-desa di sekitar Banyumas Raya guna memperkenalkan film kepada masyarakat. Acara dibikin sehangat dan seguyub mungkin—meniadakan kesan eksklusif yang biasa menempel pada gelaran festival film.

Wisnu menjelaskan, upaya untuk menciptakan ekosistem film yang berkelanjutan di Tegal dan Jawa Tengah masih terus berlangsung. Semangat dari para pihak yang bersangkutan sudah ada; tinggal melengkapi kepingan-kepingan lainnya seperti infrastruktur maupun program-program penunjang, yang nantinya mampu membikin ekosistem itu makin solid juga besar.

Apakah mimpi Wisnu berhenti sampai situ? Jelas tidak.

“Saya sedang mempersiapkan script yang berkisah tentang orang-orang Tegal,” tuturnya dengan yakin. “Meski terlihat sederhana, saya percaya bahwa apa yang hidup di antara orang-orang Tegal itu punya sesuatu yang bisa diceritakan.”

Baca juga artikel terkait SUTRADARA FILM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf