Menuju konten utama
Insan Muda Sinema Indonesia

Angga Sasongko dan Upaya Mewujudkan Mimpi Besar Bersama Visinema

Apa yang jadi kunci agar bisnis film bisa terus eksis? Jawaban Angga Dwimas: cerita.

Angga Sasongko dan Upaya Mewujudkan Mimpi Besar Bersama Visinema
Ilustrasi Angga Dwimas Sasongko. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Pokoknya pertanyaannya jangan yang standar, ya. Kalo standar, mending lihat YouTube aja. Di sana ada banyak interview gue dengan pertanyaan yang standar.”

Angga Dwimas Sasongko melontarkan pernyataan itu dengan nada setengah bercanda. Selasa (21/5/2019), Tirto menemui sutradara yang melejit lewat film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) dan Filosofi Kopi (2015) ini di kantor Visinema yang terletak di bilangan Cilandak.

Tampilan Angga siang itu tampak begitu santai. Mengenakan kaos oblong berwarna hijau muda, celana jins, dan sneakers, ia menyapa Tirto dengan ramah. Angga lantas mengajak Tirto menuju ruang kerjanya yang dipenuhi koleksi buku, piala penghargaan, dan sebuah buah lukisan bergaya surealis di dinding.

Karier penyutradaraan Angga dimulai pada 2006, manakala ia membikin Foto, Kotak dan Jendela. Tak hanya menyutradarai, dalam film tersebut Angga turut menjadi produser dan penulis naskah. Setahun kemudian, Angga kembali terlibat dalam film Jelangkung 3, disusul setelahnya Musik Hati (2008).

Pada 2010, kiprah Angga mulai diakui oleh publik lewat Hari untuk Amanda. Film drama romantis yang dibintangi Fanny Fabriana, Reza Rahadian, serta Oka Antara ini mengantarkan Angga ke nominasi kategori Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2010.

Empat tahun berselang, pencapaian Angga kian cemerlang. Filmnya, Cahaya dari Timur, yang berkisah tentang sepakbola dan konflik sektarian yang meletus di Maluku pada awal periode reformasi, dibanjiri pujian dan diganjar delapan nominasi dalam Festival Film Indonesia 2015. Dua di antara nominasi berhasil dimenangkan, salah satunya Film Bioskop Terbaik.

“Cahaya dari Timur, jujur, adalah film yang mempengaruhi gue, baik secara perspektif maupun gue sebagai seorang creator,” kata Angga. “Di sisi yang lain, film ini juga berhasil bikin gue yakin bahwa, ‘Gue bisa, nih, bangun Visinema'.”

Narasi Perkotaan

Visinema adalah perusahaan film yang didirikan Angga pada 2008. Selama enam tahun pertama, Visinema bergerak sebagai production house yang memproduksi iklan hingga video klip. Barulah pada 2014, Visinema memutuskan untuk pindah haluan menjadi perusahaan film dengan merilis Cahaya dari Timur.

“Banyak yang bilang kalau Angga di 2013-2014 itu Angga yang gila. Tapi, pada akhirnya, gue dan temen-temen [Visinema] berhasil melakukannya. Di tahun itu, gue set up langkah yang besar,” tuturnya.

Menurut Angga, Cahaya dari Timur menjadi titik tolak Visinema—sekaligus karier penyutradaraannya. Pasalnya, proses produksi Cahaya dari Timur, Angga bilang, jauh lebih besar dibanding kemampuan sumber dayanya.

“Mimpinya [Cahaya dari Timur] itu besar. Kita berhasil nge-push sampai akhirnya dapat Piala Citra,” kata Angga. “Cahaya dari Timur adalah breakthrough gue dan kasih momentum buat perjalanan Visinema.”

Ungkapan Angga memang benar. Usai Cahaya dari Timur dirilis, Visinema perlahan mulai membuktikan kapasitasnya sebagai perusahaan film yang punya taji. Anda bisa menyaksikannya dari deretan film yang sudah diproduksi.

Pada 2015, Angga dan Visinema membikin Filosofi Kopi, film yang bertutur mengenai persahabatan dua orang, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) dalam menjalankan bisnis kedai kopi. Secara umum film ini diterima dengan baik oleh para penonton, di samping membangkitkan minat muda-mudi perkotaan untuk menyelami segala hal berbau kopi.

Setahun setelahnya, ambisi Angga mendorong lahirnya film dengan konten lebih serius dan politis: Surat dari Praha. Film yang dibintangi Julie Estelle serta Tio Pakusadewo tersebut bercerita tentang cinta masa silam yang dibungkus dalam memori kolektif tragedi 1965.

Pada 2017, mereka melepas Filosofi Kopi the Movie 2: Ben & Jody, yang lantas disambung Bukaan 8 (2017), Love for Sale (2018), Mantan Manten (2019), Terlalu Tampan (2019), serta Keluarga Cemara (2019).

Infografik Angga Dwimas Sasongko

Infografik Angga Dwimas Sasongko. tirto.id/Sabit

Yang menarik dari film-film keluaran Visinema adalah kisahnya yang khas kehidupan urban. Film Filosofi Kopi, misalnya, berlatar belakang kedai kopi yang terletak di pusat Jakarta. Lalu Bukaan 8 mengambil cerita tentang selebtwit—sebutan “artis” di Twitter—yang menemani persalinan istrinya di sebuah rumah sakit kelas atas. Sedangkan Love for Sale berkutat pada kisah jomblo tua yang diombangkan-ambingkan perasaan dan harapan untuk dapat pasangan.

“Sebetulnya enggak ada kesengajaan untuk bikin tema kayak gitu. Mungkin karena itu adalah dunia yang kita kenal dan dekat dengan kita,” papar Angga. “Tapi, yang jelas, film-film itu dibikin karena punya story argument—alasan mengapa sebuah film harus dibikin—yang bagus dan sesuai sama nilai-nilai yang diusung Visinema.”

Angga menambahkan, tema dan genre yang diambil dalam film sejatinya merupakan packaging semata. Yang terpenting, Angga bilang, yakni bagaimana film tersebut dapat memainkan perannya sebagai penyalur pesan, atau mengutip kata-kata Angga, “purity of message.”

“Dan sutradara menjadi pihak yang paling mengerti soal pesan apa yang hendak disampaikan lewat filmnya nanti,” pungkasnya.

Menjadi Entitas

Angga Dwimas Sasongko adalah Visinema—vice versa. Namun, hal itu merupakan pendapat yang muncul di masa awal Visinema berdiri. Saat ini, jelas Angga, kondisinya sudah berbeda. Terdapat perubahan besar pada tubuh Visinema, setidaknya dalam 2-3 tahun terakhir.

Bila sebelumnya ide dan gagasan Visinema hanya berasal dari kepala Angga sehingga proses kreatif jadi lebih eksklusif, sekarang Visinema menjadi rumah berkarya bagi talenta-talenta baru, sebuah misi yang ditujukan agar tercipta proses yang kian inklusif.

“Sebelum [Visinema] memutuskan untuk tumbuh, ide dan gagasan selalu berasal dari gue dan Anggia [istri Angga],” terangnya. “Lalu, ketika Love for Sale itu kami memutuskan untuk shifting. Saatnya Visinema jadi rumah buat siapa aja: creator, sutradara, sampai produser.”

Pendekatan itu membuat peran Angga turut berubah: hanya terlibat sebelum final draft skenario dan editing. Tujuannya: menjaga standar kualitas serta memberi masukan yang sifatnya tak mengubah pondasi secara keseluruhan.

Peran ini terlihat dalam empat film terakhir Visinema: Love for Sale, Mantan Manten, Terlalu Tampan, dan Keluarga Cemara. Di empat film itu, Angga ‘hanya’ berperan sebagai produser eksekutif. Kursi penyutradaraan dipegang oleh pihak yang berbeda: Yandi Laurens (Keluarga Cemara), Sabrina Rochelle Kalangie (Terlalu Tampan), Farishad Latjuba (Mantan Manten), serta Andibachtiar Yusuf (Love for Sale).

“Gue ingin menghadirkan bakat-bakat baru dalam industri film kita. Dulu, nama Angga selalu identik sama Visinema. Dan itu, enggak bisa dipungkiri bikin gue bangga dan terharu,” ucapnya. “Namun, sekarang, yang ingin gue capai dan bikin gue bangga adalah ketika gue, lewat Visinema, bisa memberikan kesempatan bagi semua pihak buat berkarya.”

Empat Tiang Penyangga Kesuksesan

Waktu 11 tahun kiranya bukan waktu yang sebentar bagi Angga untuk membesarkan Visinema. Proses panjang itu dilewatinya dengan konsisten dan totalitas. Ia punya mimpi-mimpi (besar) yang ingin ia wujudkan bersama Visinema.

Bagi Angga, ada empat faktor kunci yang membuat Visinema berdiri dan bertahan sampai sekarang. Pertama, visi yang jelas. Menurut Angga, sejauh ini, Visinema punya target yang akan dicapai, tak sekadar dalam jangka pendek, tapi juga jangka panjang. Guna merealisasikannya, Visinema, Angga mengaku punya integritas, komitmen, dan, tentunya, idealisme.

“Menjalankan perusahaan enggak sekadar running buat cari keuntungan, melainkan juga membangun pondasi yang kuat. Salah satunya adalah dengan menempatkan talenta-talenta baru di posisi kunci—sutradara, pengarah gambar, penyunting, sampai produser,” paparnya. “Karena kita enggak berpikir hanya dalam rentang waktu yang pendek, tapi juga ingin menjangkau waktu-waktu ke depan.”

Faktor kedua: membangun infrastruktur. Dewasa ini, infrastruktur kerap dihubung-hubungkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik. Menurut Angga, anggapan itu tak selamanya betul. Untuknya, membangun infrastruktur juga berarti berinvestasi untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia. Atas dasar inilah Visinema kemudian membikin “Visinema Campus”.

“Tujuannya jelas untuk melengkapi ekosistem [di industri film] sehingga kita bisa melahirkan banyak talent dan membikinnya jadi lebih produktif,” jelas sutradara kelahiran 1985 ini.

Yang ketiga yaitu melihat orang bukan sebatas karyawan tapi sebagai aset dan talent—yang wajib dikembangkan. Keempat, perusahaan mesti memiliki strategi bisnis yang komprehensif.

Namun, di antara empat faktor yang telah disebutkan, dalam pandangan Angga, yang terpenting adalah bahwa sampai detik ini Visinema punya barang dagangan berupa cerita—dan itu membuat bisnis Visinema bisa sustainable.

Core business-nya itu di story. Visinema jualan cerita di mana aja karena ekosistem [di industri film] dibentuk dengan story,” tegas Angga. “Dengan kemampuan story telling yang baik, Visinema bisa jualan di mana saja: bioskop maupun layanan streaming.”

Modal cerita inilah yang nantinya juga bikin Visinema dapat mengaruhi ketatnya kompetisi di industri film dalam negeri. Dengan cerita yang kuat, Visinema dapat memberikan pengalaman menonton yang maksimal bagi audiens, yang menurutnya "ingin selalu lebih."

“Standar tinggi bukan soal pembuktian seorang filmmaker bisa bikin film lebih baik. Ini soal bagaimana menghargai penonton dapat nonton film secara layak. Enggak harus extravaganza seperti Avengers, tapi cukup dengan cerita yang baik dan cinematic experience yang bagus. Penonton pada akhirnya enggak cuma apresiatif, tapi juga senang,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf