tirto.id - Baca bagian satu:
Lupakan dunia sepak bola level atas yang penuh lampu sorot, hedonisme, glamor, dan penuh dengan segala yang berkilau. Di Welcome to Wrexham kita akan menemukan hal yang sebaliknya.
Tatkala sorotan kamera dialihkan ke arah para pemain, kita akan menemukan kehidupan 'biasa' yang jauh dari glamornya Premier League atau liga-liga teratas Eropa lainnya. Namun dengan tekanan tak jauh berbeda, baik dari cercaan fans di media sosial maupun stadion.
Sebagian pemain Wrexham bahkan mesti tinggal dalam satu rumah. Dan seperti pekerja kebanyakan, mereka pun kadang membincangkan gaji tinggi yang diterima pemain lain.
Kedatangan Rob & Ryan tak ubahnya suntikan daya hidup untuk kota dengan gairah yang nyaris padam. Di lapangan, ini menjadikan klub kebanggaan kota mereka menjelma tim yang harus dikalahkan. Tak pelak, laga-laga jadi kian sengit dan drama yang lebih pelik menanti baik dalam 90 menit atau setelahnya.
"Kau tak bisa menulis ini! Kau tak bisa menulis ini!" ujar McElhenney kala 8 gol mewarnai pertandingan Wrexham kontra Grimsby.
Setelah terseok-seok di awal musim, Wrexham memang berhasil bangkit dan menembus babak play-off dan final FA Trophy, tapi ending terbaik masih milik lawan-lawannya.
'Kisah Hollywood' yang diantisipasi belum terjadi. Yang tak cukup kompetitif akan tersingkir.
Pada awal-awal musim, Reynolds sadar bahwa pelatih, staf, dan pemain divisi kelima tak punya kemewahan kontrak layaknya mereka yang berlaga di Premier League. Andaikan dipecat, orang-orang ini bisa saja pensiun dini esoknya. Sayangnya, di samping menyadari sifat alami kerasnya industri sepak bola, tak banyak yang bisa ia lakukan.
Tak banyak pula simpati yang bisa kita, fans dan orang-orang biasa, berikan kala perspektif macam itu hadir dari seorang laki-laki kaya, punya kuasa, dan pengaruh. Untuk sejenak, Reynolds memang terlihat tak betul-betul paham akan apa yang ia lakukan.
Setidaknya ia memahami prosesnya ini adalah pembelajaran yang mahal. Selang beberapa episode kemudian pun, pembelajaran itu mengilhami Reynolds menyatakan pandangan yang lebih bisa diterima: bahwa fans berhak rungsing atas jeleknya hasil di lapangan selepas mereka menginvestasikan waktu, tenaga, uang, dan yang terpenting, perasaan.
"It's gonna go south at some point"
Bukan sekali dua-kali terbersit dalam pikirian saya: dengan hadirnya kamera di banyak titik, terlebih ruang ganti, bisa saja bikin para pemain dan staf pelatih kian tertekan. Jangankan tim divisi lima, disrupsi dengan beban ekspektasi sedemikian besar bisa saja menggoyahkan pemain dari klub terbaik manapun.
Ruang privat yang tak lagi hadir untuk manajer, yang sebaliknya bagi para fans, menjadi tontonan menarik. Begitulah wajah hiburan belakangan ini, dengan tuntutannya yang kian spesifik. Toh, kamera-kamera itu sepertinya tak berdampak begitu buruk bila dibandingkan dengan kembalinya gairah ke tribun dan kota Wrexham secara umum.
Nyaris seluruhnya terekam sedari awal. Ragam footage diambil dari kota Wrexham, hingga Los Angeles dan New York, tempat kediaman duo chairman. Tak jarang gambar diambil dari tangan dan sudut pandang fans. Gambar-gambar pertandingan yang sinematik terhidang, meski sesekali kualitasnya seburuk gambar streaming ilegal.
Khusus pertandingan terakhir musim itu, ia diselingi flashback pada setiap momen, rada mengingatkan pada penuturan anime sepak bola. Seluruhnya disusun dengan kejelian tinggi, dengan stok rekaman melimpah sesuai narasi yang sedang dihidangkan per episode.
Adegan-adegan filler tak pentingnya justru menjadi poin positif, entah itu guyonan antar pemain, banter antarfans, hingga executive director klub yang casting untuk serial Obi-Wan Kenobi.
Mendokumentasikan tiap langkah adalah satu kesulitan, mengemasnya menjadi tontonan yang bikin ketagihan adalah kesulitan lain, yang berhasil dihadirkan Welcome to Wrexham.
Komedi dilemparkan, tapi pada banyak waktu cukup kontemplatif. Dengan iringan score dan lagu yang lebih sering riang dipadupadankan dengan gambar-gambar tenangnya kota mampu memberikan rasa nyaman. Welcome to Wrexham lebih menghibur ketimbang dokumenter sejenis semisal seri All or Nothing, nyaris sama wholesome-nya dengan serial komedi olahraga seperti Ted Lasso.
Ia sanggup bikin kita mengharapkan hal baik terjadi pada Wrexham, entah itu gemilangnya Jordan Davies, gol-gol cantik Paul Mullin dan Ollie Palmer, maupun kesuksesan klub merangkak naik di liga. Ia mengingatkan lagi bahwa sepak bola tak semata skor akhir atau debat kusir Penaldo vs Pessi, bahwa olahraga ini bagian dari budaya, dan bagi segelintir orang, ia adalah segalanya.
Dengan daya tariknya yang luas, dokumenter ini semestinya bisa menjangkau lebih banyak orang, penggemar sepak bola atau bukan. Meskipun eksposur, atau eksploitasi habis-habisannya mungkin akan menemukan jalan buntu ketika keadaan, atau hasil di lapangan, memburuk--terlebih dengan mandat dari FX untuk season kedua yang sedang diproduksi.
Yang pasti untuk saat ini, Welcome to Wrexham adalah dokumenter sepak bola yang lengkap. Sebuah hiburan yang sangat memuaskan. Andai saja lebih banyak dokumenter sepak bola dikemas dengan gaya serupa--meskipun sangat mungkin tak bisa dieksekusi pengurus klub manapun saat ini.
Bila segalanya kelak tak berjalan lancar untuk Wrexham, ia tetap bisa jadi tontonan yang tak lekang. Paling tidak, jadi kenangan akan masa bulan madu antara dua lelaki dari Hollywood dengan sebuah klub dari Wales.
Editor: Nuran Wibisono