tirto.id -
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan untuk membuat peraturan terkait kejahatan dunia maya atau cyber crime demi melindungi lembaga jasa keuangan.
Ketua Dewan Audit yang juga anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti mengatakan OJK sudah beberapa kali menerima laporan dari pihak lembaga jasa keuangan terutama perbankan yang menjadi korban cyber crime. Hal tersebut diungkapkan Ilya di Jakarta pada Selasa, (29/3/2016).
"Kalau memang perlu akan kami keluarkan peraturannya. OJK masih harus meminta pendapat dari banyak pihak, terutama pelaku industri keuangan," ujar Ilya.
Selama ini kasus cyber crime yang ditangani OJK masih berskala kecil, dan untuk menyelesaikan kasus tersebut, OJK hanya berperan sebagai mediator karena biasanya berkaitan dengan kerugian nasabah.
"Biasanya yang melapor itu jumlah kerugiannya tidak besar, jadi bisa diselesaikan dengan mediasi," kata Ilya lagi.
Namun, menurut Ilya, OJK akan bertindak cepat untuk memutuskan apakah regulasi yang kuat dari otoritas keuangan perlu diadakan atau tidak.
Setidaknya OJK memproyeksikan wacana ke arah penerbitan peraturan itu dapat selesai secepatnya, setidaknya dalam satu tahun.
"Sekali lagi, itu semua tergantung apakah dianggap cukup mendesak atau tidak. Untuk memutuskannya, kami mengadakan forum diskusi dengan pemangku kepentingan jasa keuangan dalam beberapa waktu ke depan untuk mendapatkan apa saja yang menjadi keinginan pelaku usaha terkait tindakan kriminal dunia maya," kata Ilya.
Menurut survei yang dilakukan perusahaan konsultan internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) yang bertajuk "Global State of Information Security Survey" yang dilakukan sepanjang tahun 2015 pada 127 negara, terjadi serangan dunia maya (cyber attack) rata-rata 160.000 kali per hari atau sekitar 60 juta serangan per tahun.
Direktur Asuransi dan Risiko Asuransi PwC Indonesia Handikin Setiawan mengatakan jumlah itu meningkat setidaknya 40 persen dibandingan tahun-tahun sebelumnya.
"Ini masih yang dipublikasikan, belum termasuk yang tidak diketahui," kata Handikin lagi.
Dia menambahkan perusahaan dan individu harus siap diserang kapan saja, termasuk sektor industri keuangan.
"Tentu akan berdampak sangat besar terhadap industri," ujar Handikin.
Dia mengingatkan jangan sampai Indonesia mengalami hal yang sama dengan Bank Sentral Bangladesh yang kehilangan uang sekitar 81 juta dolar AS akibat tindakan kriminal yang diduga kuat dilakukan oleh peretas pada awal Maret 2016. (ANT)