Menuju konten utama

Warga Parangkusumo Beberkan Tindakan Bongkar Paksa

Warga dari Parangkusumo,Yogyakarta membeberkan beberapa fakta bongkar paksa yang dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta sejak tahun 2007 dalam diskusi bertajuk “Lemahmu udu duwekmu-Mengurai Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY.”

Warga Parangkusumo Beberkan Tindakan Bongkar Paksa
Pekerja memberi makan udang di tambak udang area gumuk pasir parangkusumo, bantul, di yogyakarta, rabu (11/5). Aktivitas tambak udang tersebut dapat merusak ekologi dan mengancam keberadaan gumuk pasir barchan yang dijadikan kawasan lindung geoheritage oleh badan geologi sejak tahun 2014, gumuk pasir barchan khas karena bentuk bulan sabit dan hanya ada di Parangtritis-Parangkusumo. Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah.

tirto.id - Salah seorang warga perwakilan dari Parangkusumo membeberkan beberapa fakta bongkar paksa oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2007 dalam diskusi bertajuk “Lemahmu udu duwekmu-Mengurai Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY.”

Kawid, warga Parangkusumo membeberkan pada tahun 2007 sudah terjadi pembokaran rumah secara paksa. Dimulai dari menggusur tujuh rumah yang berdiri dekat bibir pantai Parangkusumo dilanjutkan dengan 17 rumah warga lainnya.

Mendapatkan perlakuan seperti itu, warga Parangkusumo melakukan aksi demo dan audensi ke Kepatihan yang kemudian disambut oleh sultan.

Menurut Kawid, dalam audiensi saat itu sultan menyatakan tidak akan ada penggusuran. Akan tetapi, kenyataan berkata lain, tak lama setelah audiensi, terjadi penggusuran terhadap 100 lebih rumah warga Parangkususmo.

“Setelah itu warga pulang, terjadi penggusuran yang katanya hanya 17 rumah ternyata ada 100 lebih rumah digusur paksa,” kata Kawid di Ruang Teatrikal, Fakultas Dakwah UIN Yogyakarta, Selasa (20/9/2016).

Lebih lanjut, Kawid mengatakan pada tahun 2008 dan 2009, total ada 117 pemilik rumah membongkar sendiri rumahnya. Penduduk di sisi selatan Parangkusumo, yang bermukim dekat dengan bibir penatai tersebut memilih membongkar sendiri karena melihat pengalaman terdahulu, di mana warga kalah melawan kebijakan pembongkaran tersebut.

“Pemilik rumah memilih membongkar sendiri rumahnya karena melihat yang dulu melawan kalah,” ungkap Kawid.

Penggusuran terus terjadi, berlanjut sampai tahun 2010, warga diberi surat peringatan untuk meninggalkan tempat sebanyak enam kali.

“Kami melawan dan bisa bertahan selama enam tahun,” papar Kawid.

Kawid mengungkap saat ini di area gumuk pasir seluas 141 hektar telah terjadi pematokan klaim tanah sebagai sultan ground (SG).

Menurut Kawid, pada tanggal 1 September 2016, warga kembali diberi surat penertiban.

“Terdiri dari 25 pemilik kandang kuda, sapi, dan kambing dan ada 2 tambak, selain itu ada parkiran 2 buah serta beberapa lokasi yang belum terdaftar termasuk petani, kurang lebih akan ada sebanyak 100 lebih warga kena gusur karena restorasi gumuk pasir,” kata Kawid.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT TANAH atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh