tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan perusahaan tambang dan kegiatan usaha minerba dengan izin bupati termasuk yang paling banyak melanggar aturan rehabilitasi galian bekas tambang.
"Perusahaan besar itu justru lebih disiplin, tetapi tambang-tambang yang izinnya dikeluarkan oleh bupati itu yang paling banyak tidak lakukan [rehabilitasi]. Yang punya izin saja tidak [direhabilitasi], apalagi yang tidak punya izin," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (22/7/2019).
Wapres mengatakan luas lahan bekas galian tambang yang tidak direklamasi dan direhabilitasi oleh pemilik usaha menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Jumlah perusahaan yang melanggar ketentuan rehabilitasi tersebut ada ribuan.
"Banyak, ada ribuan [perusahaan]. Kan itu izin hutan, jadi harus dihutankan lagi."
Oleh karena itu, Pemerintah akan memberikan sanksi hukum bagi pemilik usaha minerba yang tidak bertanggungjawab dengan meninggalkan galian bekas tambang begitu saja.
"Di undang-undang itu jelas, dia [pengusaha tambang] harus mereklamasi, ada dana jaminannya. Tapi ada juga [usaha tambang] di daerah, yang diterbitkan oleh gubernur dan bupati, itu tidak jalan zaman dulu. Jadi harus ada sanksi karena merusak lingkungan yang tidak direhabilitasi ini," katanya.
Kewajiban bagi perusahaan untuk merehabilitasi daerah bekas tambang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan Batubara.
Regulasi tersebut juga sudah diperkuat dengan Peraturan Menteri Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Minerba. Namun, jumlah dan luas lahan bekas galian tambang yang masih dibiarkan menganga semakin luas hingga berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Untuk memperkuat regulasi tersebut, Wapres memanggil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, untuk membahas lebih rinci mengenai pengaturan sanksi.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Agung DH