tirto.id - Jika jamaknya grup idola di Korea dibentuk lewat pelatihan bertahun-tahun oleh agensi artis, maka Wanna One muncul dari keunikan lain. Mereka disatukan lewat sebuah kompetisi yang dibuat stasiun televisi, dikontrak singkat, dan bubar begitu saja. Tren membentuk grup idola dengan cara seperti ini tengah menjadi fenomena di industri musik Korea selama tiga tahun terakhir.
Boy group ini dibentuk melalui acara kompetisi survival Produce 101 Season 2 pada tahun 2017. Kompetisi tersebut mengadu bakat dari 101 calon idol dari berbagai macam agensi kecil. Peluang mereka debut ditentukan dari voting penonton dan penggemar, mirip acara pencarian bakat seperti Indonesian Idol atau AFI. Bedanya, calon idola terpilih akan digabung menjadi satu grup besutan.
Wanna One terdiri dari 11 orang anggota dari agensi yang berbeda. Mereka debut pada 7 Agustus 2017 dan langsung berhasil menjual satu juta kopi album debut. Setelah itu kesuksesan-kesuksesan lain mengiringi perjalanan singkat mereka di belantika musik Korea. Di tahun yang sama mereka berhasil bertengger di posisi ke-2 dalam survei 30 "Power People" oleh Ilgan Sports, dengan kategori pengaruh di antara perusahaan penyiaran dan pengiklan.
Grup rookie (sebutan bagi grup idol yang baru debut) ini juga pernah duduk di peringkat keenam survei top 10 artis oleh Gallup Korea, menjadi artis K-pop Terbaik tahun 2017, dan mendapat posisi ke-2 dalam daftar "Forbes Korea Power Celebrity" tahun 2018. Sayangnya kejayaan Wanna One harus usai saat popularitas mereka meroket. Pada tanggal 18 Desember lalu, pihak agensi mengumumkan bahwa kontrak grup berakhir pada tanggal 31 Desember 2018.
Berita pembubaran Wanna One sempat menjadi topik populer di berbagai linimasa pada akhir tahun lalu. Hari ini hingga tanggal 27 Januari 2019, Wanna One akan mengadakan konserbertajuk "Therefore" di Gocheok Sky Dome di Seoul untuk berpamitan dengan penggemar, meski para penggemar tetap berharap grup idola mereka dapat meneruskan karir kelompok bersama.
Grup Idola Tanpa Pelatihan
Pelatihan adalah formula paling umum yang dipakai banyak perusahaan untuk membuat grup baru. Mereka menyeleksi calon anggota lewat berbagai mekanisme seperti audisi internal, atau memilih individu-individu potensial secara acak. Calon anggota terpilih lalu menjalani pelatihan jangka panjang, bahkan ada yang sampai belasan tahun sebelum akhirnya debut sebagai sebuah grup idola.
Mekanisme semacam ini menelurkan idola-idola berkualitas dan matang. Jadi, jangan heran ketika seorang idol yang lahir dari pelatihan mampu menyanyi, menari, menciptakan lagu, main alat musik, berlaku dalam seni peran, bahkan menjadi pembawa acara. Tapi untuk menciptakan investasi hiburan semacam ini, perusahaan harus rela mengeluarkan biaya yang besar.
“Asrama, makan, dan pelajaran selama pelatihan. Bahkan saat trainee tidak melakukan apa-apa, mereka menelan biaya sekitar 30 juta won,” tulis laman Soompi.
Setelah debut, agensi masih harus membuang uang sekitar 100 juta won per bulan selama masa tunggu promosi hingga artisnya masuk di acara musik seperti “Music Bank”. Tidak semua penyanyi atau grup idola bisa muncul di acara musik di sana. Setiap minggu, staf produksi menerima berbagai demo album untuk diseleksi kemudian ditampilkan dalam program.
“Seringkali kami hanya menampilkan grup yang sudah diakui,” kata seorang sumber di belakang layar acara musik Korea, kepada Soompi.
Karena tidak semua agensi punya modal cukup, banyak agensi kecil memberlakukan masa pelatihan singkat kepada artisnya. Ada dua hal tak tertulis yang disepakati bersama agar grup rookie mencapai kesuksesan : Debut dari salah satu dari tiga agensi besar seperti YG, SM, dan JYP Entertaiment atau mengikuti program kompetisi.
Pilihan terakhir kini banyak diambil sebagai solusi. Agensi enggan menjual bakat artisnya kepada perusahaan lain yang lebih besar, tapi dana mereka terbatas. Akhirnya mereka pilih membagi keuntungan jangka pendek kepada pihak penyelenggara kompetisi. Ditambah, dengan cara ini idol bisa mendapat popularitas instan tanpa harus membangun basis penggemar selama bertahun-tahun seperti grup idola umumnya.
“Trennya dimulai sejak tahun 2016, ketika musim pertama 'Produce 101' menghasilkan I.O.I,” ulas laman musik, Billboard.
Selain I.O.I dan Wanna One, idola lain yang lahir dari proyek instan semacam ini adalah UNB dan Rainz. Mereka semua dibentuk dari acara Produce 101 atau acara kompetisi serupa, The Unit.
Untung Rugi Kompetisi
Grup-grup idola yang ditelurkan dari mekanisme pelatihan usang menandatangani kontrak lebih dari dua tahun. Banyak agensi menerapkan kontrak budak dan memeras tenaga artisnya karena merasa harus balik modal. Di sisi lain, banyak artis memilih mundur dari grup dan bersolo karier setelah mencapai puncak kesuksesan, sehingga grup yang ditinggalkan turun popularitasnya.
Grup yang dibangun dari kompetisi adalah solusi menghindari masalah tersebut. Dengan masa kontrak singkat, para anggota jadi tidak terikat satu sama lain. Setelah akhir masa kontrak, atau ketika mereka gagal di pasaran, setiap anggota bebas memilih karier di bidang lain. Anggota Wanna One contohnya. Mereka kembali ke agensi asal, bersolo karier, bermain drama, atau kembali menjalani pelatihan dan debut dengan grup lain.
“Tapi tetap saja, pada kasus I.O.I, mereka lebih populer ketika tampil dalam kelompok ketimbang solo,” tambah Billboard.
Di balik kesuksesan stasiun televisi mengorbitkan grup idola baru, muncul sejumlah protes dari para pelaku industri musik Korea. Masih dilaporkan oleh Billboard, Federasi Manajemen Korea, Asosiasi Industri Konten Musik Korea, dan Asosiasi Produsen Hiburan Korea merasa senasib. Mereka khawatir apabila acara kompetisi serupa terus dijalankan dan menjadi tren, agensi semakin sulit mendapat calon bintang berbakat.
“Kami cuma diberi sedikit ruang, kondisi ini mengarah ke praktik monopoli bakat oleh acara kompetisi,” ujar Chang Dong-woo, perwakilan dari ketiga asosiasi tersebut.
Kompetisi menyanyi memang bukan hal baru di Korea, bahkan cikal bakal grup idola di Korea, Seo Taiji and Boys pun terlahir dari kompetisi. Hanya saja, kompetisi di era lalu memfasilitasi kontestannya untuk mendapat kontrak dengan agensi tertentu. Sekarang, stasiun televisi menggeser model bisnis mereka sekaligus menjadi produser dengan dengan membikin acara seperti Produce 101 dan The Unit. Mereka dengan mudah memperoleh bakat-bakat baru tanpa mengeluarkan banyak uang tapi mendapat imbal balik besar.
Dari Wanna One saja, CJ E&M, label yang mengoperasikan Mnet (stasiun televisi), mendapat 25 persen laba dari aktivitas grup. Jumlah setara diperoleh YMC Entertainment, label yang dibuat khusus untuk mengelola aktivitas grup hingga kontrak berakhir.
Sisa laba sebanyak 50 persen dibagi rata dengan 11 anggota beserta agensi asal, tiap anggota dan agensi asal hanya mendapat 4,5 persen dari hasil keringat mereka. Kompetisi ini jika tidak diatur mekanismenya bisa menjadi bentuk baru dari kontrak budak bisnis musik Korea.
Editor: Maulida Sri Handayani