tirto.id - Penggunaan cara-cara militeristik dalam menangani konflik antara korporasi pertambangan dan masyarakat harus segera dihentikan. Cara-cara semacam ini akan mengundang berbagai kecaman di ranah global karena melanggar hak asasi manusia (HAM).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, (24/10/2016).
"Korporasi menggunakan pendekatan militeristik dan keamanan dalam menghadapi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya," tandasnya.
Pernyataan Walhi tersebut dikeluarkan untuk menanggapi maraknya kekerasan dari korporasi pertambangan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang menentang adanya pertambangan di sekitar tempat tinggal mereka, khususnya yang merusak lingkungan.
“Selama ini dalam prakteknya, industri pertambangan, perkebunan dan pembangunan infrastruktur skala mencemari tanah dan air yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat," katanya.
Khalisah menyatakan, kejahatan korporasi di sektor kehutanan dan perkebunan, pertambangan, proyek reklamasi, dan berbagai proyek pembangunan, bahkan yang mengatasnamakan lingkungan hidup, telah menarik perhatian berbagai elemen masyarakat di forum-forum internasional.
Untuk itu, imbuhnya, sudah saatnya korporasi juga wajib tunduk pada instrumen hak-hak asasi manusia (HAM).
Di sisi lain, Walhi juga mengkritik rencana pemerintah yang ingin merelaksasi ekspor mineral dengan merevisi Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014. Walhi menyebut rencana ini cenderung memihak kepada korporasi pertambangan.
"Kebijakan ini hanya akan menguntungkan korporasi pertambangan, menunjukkan ketergantungan negara pada ekonomi palsu pertambangan dan terus melayani industri pertambangan yang menguras kekayaan alam," ujarnya.
Khalidah mengungkapkan, tercium adanya konflik kepentingan yang kuat dalam usulan revisi PP No 1/2014. Untuk itu, Walhi menyarankan supaya Presiden Joko Widodo menghentikan rencana revisi yang mengijinkan relaksasi ekspor mineral.
Khalisah Khalid juga berpendapat, rencana Revisi PP 1/2014 merupakan pelanggaran kesekian kalinya atas UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan mineral untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
"Termasuk juga pelanggaran atas pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya atau KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, regulasi pemerintah terkait dengan relaksasi ekspor konsentrat dinilai harus dapat meyakinkan investor untuk dapat mengembangkan industri sumber daya mineral seperti pembangunan smelter di Republik Indonesia.
"Jangan sampai relaksasi ini menggerus keyakinan investor bagi masa depan investasi smelter di Tanah Air," kata Ketua Bidang Energi dan Pertambangan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Andhika Anindyaguna di Jakarta, Rabu (14/9).
Andhika memperingatkan supaya ketentuan ini jangan memberikan kesan bahwa aturan di Indonesia bisa sangat lentur oleh berbagai kepentingan.
Bila hal itu yang ditangkap investor, lanjutnya, maka dicemaskan akan muncul ketidakpercayaan kepada regulator.
Apalagi, ia mengingatkan bahwa investasi untuk pembangunan smelter bisa mencapai Rp156 triliun atau sekitar 27 proyek smelter.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra