tirto.id - Dalam sebuah perjalanan, salah satu dari empat orang di dalam mobil mengeluh. “Mobil macam apa ini? Lambat!... Sempit lagi! Singkirin nih,” kata laki-laki tua cerewet dan menyebalkan itu sambil menggeser tas dan membuat gaduh di kursi belakang. Seorang penumpang kemudian menyodorkan coklat pada laki-laki tua cerewet itu dan bilang, “lo resek kalau lagi laper.”
Laki-laki tua itu pun berubah jadi anak muda yang ramah setelah makan coklat tersebut. Tak ada lagi laki-laki tua yang diperankan Toro Margens itu. Di akhir iklan, anak muda di sebelahnya lagi yang duduk di kursi belakang, berubah menjadi laki-laki tua yang cerewet yang tak kalah menyebalkan. “Membosankan,” kata laki-laki tua berambut putih panjang itu. Laki-laki tersebut diperankan Rudy Wowor.
Iklan ini menggunakan dua dari sekian banyak aktor Indonesia yang sering mendapat peran antagonis, yakni Toro Margens dan Rudy Wowor . Orang-orang mengenal Toro dengan sosok antagonisnya. Dia mengaku pernah dipukul orang gara-gara peran jahatnya di jalan. Beberapa film yang pernah dibintangi Toro antara lain Si Buta Dari Gua Hantu (1977), Ken Arok Ken Dedes (1983) juga Tutur Tinular III (1992). Suara berat dan serak adalah ciri khasnya.
Sementara Rudy Wowor, juga tak kalah senior dari Toro. Laki-laki blesteran Belanda-Manado ini, jelas sangat berguna untuk terlibat dalam film-film perjuangan. Ia banyak mendapatkan peran sebagai orang Belanda, musuh Indonesia. Dalam film Merah Putih (2009) dan Darah Garuda (2010), Rudy dapat peran sebagai Mayor van Gaertner. Tak hanya dalam dua film itu. Dalam film Tjoet Njak Dien (1988), Rudy dapat peran sebagai Veltman. Lagi-lagi sebagai perwira Belanda.
Tentu saja tak hanya Rudy Wowor dan Toro Margens saja yang menghiasi layar kaca dengan muka sengak mereka. Peran antagonis, orang-orang awam menyebutnya sebagai peran jahat, tentu sangat penting dalam dunia perfilman, juga sinetron. Seringkali, akting jahat si aktor atau aktris antagonis juga bisa membuat jadi menarik film ditonton.
Selain Toro dan Rudy, banyak aktor Indonesia lainnya yang juga sering mendapatkan peran antagonis. Sebutlah Tio Pakusadewo dalam Quickie Express (2007) sebagai pemimpin preman yang homoseksual. Rudy Wowor juga ikut sebagai pemimpin besar preman homoseksual juga. Soekarno M Noor diakui aktingnya, dalam film Di balik Tjahaja Gemerlapan (1966), karena perannya sebagai promotor yang sering menipu para artis. Ada Maruli Sitompul, aktor yang dikenal totalitas aktingnya di tahun 1970an, juga tak ragu dengan peran Si Mata Malaikat dalam Si Buta Dari Gua Hantu (1970) juga Demang Parangkujang yang merampas kerbau rakyat dalam Max Havelaar (1976).
“Seorang aktor adalah kebalikan dari seorang Bintang. Modal seorang aktor bukanlah wajahnya yang cantik atau potongannya yang tampan, tapi kesanggupannya untuk menghidupkan dan menjiwai suatu watak depan penonton. Kita menyukainya bukan karena pribadinya, tapi justru karena ia berhasil meninggalkan pribadinya untuk menjadi pribadi yang lain,” kata Richard Boleslavsky, dalam Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor (1968).
Farouk Afero Sang Legenda Antagonis 1970an
Pada era 1970an, Farouk Afero sering memainkan peran antagonis ini. Aktor legendaris Soekarno M Noor, ayah dari artis dan gubernur Rano Karno, yang serba bisa itu juga pernah berakting sebagai pemeran antagonis. Selain Soekarno M Noor, banyak aktor-aktor yang kemampuan aktingnya di akui di dunia film pun tak malu dengan peran ini. Seringkali, di film-film, akting si pemeran antagonis jauh lebih mengesankan dibanding akting si protagonisnya.
Soekarno M Noor dan Farouk Afero pernah bermain bersama dalam sebuah film. Mereka menjadi pemeran utama, sebagai tokoh antagonis. Soekarno berperan sebagai Tohir,seorang residivis yang divonis penjara oleh hakim bernama Hasan, karena mencuri sapi. Setelah kematian istri dan anaknya, Tohor balas dendam dengan yang menculik anak Hasan yang masih orok. Husin, anak hakim dari keluarga baik-baik itu, diajari jadi penjahat sejak kecil. Husin kecil diperankan Rano Karno, yang kala itu masih anak-anak. Ketika dewasa, Husin diperankan Farouk Afero. Husin yang sudah dewasa itu lalu disuruh mencuri di rumah Hasan. Film itu berjudul Lingkaran Setan (1972), yang disutradarai Misbach Yusa Biran.
Meski sudah main film sejak 1964, nama Farouk baru dikenal setelah film Bernafas Dalam Lumpur (1970). Farouk dapat peran sebagai germo bernama Rais. Dalam film Atheis (1974), yang diadaptasi Syumanjaya dari novel berjudul sama karya Achdiat Karta Mihardja, Farouk berperan sebagai seorang nihilis yang meniduri istri tokoh utama. Dalam film Syumanjaya yang lain, Farouk dapat peran sebagai tukang catut yang tidak terkesan jahat, dalam film Si Doel Anak Modern (1976). Namun, ia juga pernah mendapat peran utama protogonis dalam film Si Gondrong (1971).
Laki-laki berdarah Pakistan dan bernama asli Farouk Achmad Bin Asgar Ali ini, sebelum terjun ke film pernah menjadi petinju amatir. Setelah 1964, dia serius di film. Kemampuan akting Farouk tergolong diakui. Dia aktor pendukung terbaik 1976, karena perannya sebagai Majid dalam film Laila Majenun (1975).
Si Abang Antagonis Si Adik Protogonis
Mari bicara soal kolega Farouk, Soekarno M Noor yang sudah dianggap aktor legendaris. Peran jahat, peran baik, semua bisa dimainkan dengan baik oleh Soekarno M Noor. Pern protagonis Soekarno menurun kepada anaknya, Tino Karno. Sementara anaknya yang lain, Rano Karno, lebih banyak berperan sebagai tokoh protagonis.
Pada 1972, Tino dan Rano ikut bermain dalam Si Doel Anak Betawi yang disutradarai Syumanjaya. Dalam film itu, Doel diperankan Rano Karno. Si pemimpin bocah nakal diperankan Tino Karno. Ketika itu, keduanya masih kecil.
Beberapa tahun kemudian, setelah mereka dewasa, mereka sering bertemu dalam film. Polanya agak mirip, si abang jadi orang jahat si adik jadi orang baik. Dalam film Yang Kembali Bersemi (1980), Rano dan Tino ikut terlibat juga. Rano dengan peran utama protogonis, sementara Tino lagi-lagi dengan peran peran jahat lagi. Begitu juga di film Selamat Tinggal Masa Remaja (1980). Di mana ada adegan Rano sebagai Andika dan Tino sebagai Soni berkelahi gaya anak muda. Dalam film Mawar Cinta Berduri Duka (1981), Rano sebagai penyair sementara Tino sebagai pengedar narkoba.
Tak semua film yang mereka mainkan dua bersaudara yang selisih umurnya hanya satu tahun itu, mendapat peran saling bermusuhan, beberapa film dua bersaudara itu tidak dalam peran saling bermusuhan, kadang bersahabat juga. Di luar film, kedua anak Soekarno M Noor itu bisa dibilang kompak. Keduanya membesarkan rumah produksi Karnos Film, yang didirikan ayah mereka. Karnos Film pernah memproduksi sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan.
Musuh-musuh Rhoma Di Film
Jika ada aktor yang identik dengan tokoh antagonis, ada pula yang identik dengan protagonis. Rhoma Irama adalah salah satunya. Ia menggambarkan dirinya sebagai tokoh utama protagonis, sementara lawannya adalah sosok protagonis. Dalam film Rhoma Irama yang berjudul Darah Muda (1977), Rhoma Irama, menampilkan diri sebagai Raja Dangdut yang baik hati yang dimusuhi anak-anak band yang beraliran rock.
Anak band yang bandel itu diperankan Ucok Harahap. Di film ini terdapat adegan berkelahi. Awalnya tentu Rhoma kalah dulu karena dikeroyok hingga luka. Di bagian akhir cerita Rhoma adalah pemenangnya. Siti Nasyi’ah, dalam Ucok AKA Harahap: Antara Rock, Wanita,dan Keruntuhan (2012), dalam adegan perkelahian Ucok dipukul betulan oleh Rhoma Irama dalam film tersebut. Tentu saja anak-anak band beraliran rock itu digambarkan bejat dengan memperkosa Ani, pacar Rhoma, yang diperankan Yati Octavia.
Ucok Harahap, si rocker berandalan dalam film tersebut, aslinya memang rocker legendaris Indonesia. Jauh sebelum film Darah Muda itu, Ucok adalah pentolan band rock AKA. Ketika Ucok memerankan rocker jahat itu, band legendarisnya itu vakum. Sementara Ucok sedang butuh uang untuk keluarga kecilnya, setelah kawin lari dengan Farida Jasmine.
Tak hanya rocker kribo Ucok Harahap yang pernah jadi musuh Rhoma dalam film. Rocker era 1980an Ikang Fauzi, pun pernah dapat peran antagonis. Sebagai Benny Compo, musuh Rhoma dalam Menggapai Matahari (1986) lalu Menggapai Matahari 2 (1986). Rhoma tentu saja sebagai Rhoma sang raja dangdut di grup Soneta. Diceritakan bahwa Benny Compo mencuri popularitas dengan dipenjarakannya Rhoma. Dalam cerita Menggapai Matahari 2, Rhoma diracun hingga rusak pita suaranya. Kepalanya dilempari batu dalam sebuah duet maut band, antara band miliknya dengan band milik Benny Compo.
Tokoh protagonis seperti Rhoma tentu tidak akan ada artinya tanpa tokoh antagonis. Peran tokoh-tokoh jahat ini mampu menghidupkan film sehingga menarik banyak penonton. Malangnya, peran antagonis yang sudah melekat kuat membuat mereka terkadang dimusuhi oleh masyarakat yang sulit membedakan antara peran di dunia nyata dan dunia film.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti