Menuju konten utama

Wabi-sabi: Melihat Keindahan dari Ketidaksempurnaan

Wabi-sabi merupakan konsep estetika yang turut mengandung nilai spiritual orang Jepang.

Wabi-sabi: Melihat Keindahan dari Ketidaksempurnaan
Ilustrasi arsitektur wabi sabi. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Cheryl Hunter berkisah bahwa ia memiliki masa kecil yang menyenangkan ketika tinggal di kota kecil di pegunungan Rockies, Colorado, Amerika Serikat. Di depan penonton acara TedxSantaMonica, Hunter mengatakan satu-satunya pemandangan yang dilihatnya setiap hari adalah padang rumput yang membentang.

“Tidak ada tanda-tanda peradaban. Hal itu sangat indah. Saya menyukainya. Ketika kecil, saya kerap menunggangi kuda,” katanya.

Namun Hunter merasa perlu hengkang dari Colorado ketika remaja. Ia ingin mencoba hal baru. Dirinya lalu memutuskan pergi ke Eropa dan datang ke Perancis supaya bisa menjadi seorang model. Suatu ketika, Hunter didekati oleh pria yang berpenampilan serupa fotografer.

“Laki-laki itu mengatakan bisa membuat saya menjadi model jika mau pergi bersamanya. Teman saya bilang itu ide buruk tapi saya tidak hiraukan dia. Saya mengiyakan tawaran tersebut,” jelasnya.

Dengan mata berkaca-kaca, Hunter menceritakan bahwa ia justru dibius, dipukul, serta diperkosa berkali-kali. Tiga hari kemudian, pria tadi membuang Hunter di lapangan parkir. “Sejak saat itu, pertanyaan ‘mengapa’ muncul. ‘Kenapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi pada saya?’ Saya tidak menceritakannya pada siapa pun. Saya lalu merasa terasing dan menjadi penyendiri,” terangnya.

Hunter memikul beban berat itu selama bertahun-tahun. Ia belum bisa memaafkan laki-laki Perancis yang memperkosanya. Tapi, perkenalannya dengan konsep estetika Wabi-sabi mengubah pandangan Hunter. Wabi-sabi, menurut penjelasan kakek dan nenek agen modelnya di Jepang, merujuk pada prinsip bahwa keindahan sebuah objek terletak pada kerusakan atau kesalahan yang dimilikinya.

Wabi-sabi juga diartikan sebagai pemahaman tentang kontras akan keindahan. Sesuatu bisa dikatakan sempurna jika ia turut menampilkan ketidaksempurnaan. Beberapa tahun setelah tragedi yang menimpanya, Hunter bisa sembuh dari lukanya, dan tersenyum seraya mengatakan semua orang itu luar biasa.

“Dan yang membuat luar biasa adalah apapun yang sebelumnya anda anggap sebagai sebuah kesalahan. Saya harap anda mampu menyadari keindahan itu, dan menyatakan Wabi-sabi anda."

Kekayaan Dalam Kesederhanaan

Andrew Juniper dalam Wabi Sabi: The Japanese Art of Impermanence (2003; 8-11) menjelaskan akar konsep Wabi-sabi tidak terlepas dari Taoisme dan gaya seni biksu Zen, salah satu aliran Buddha Mahayana yang berkembang di Jepang. Jenis karya pertama yang memuat gagasan Wabi-sabi, menurut Juniper, terdapat pada lukisan sastra atau wen-jen hua di era Dinasti Song (960-1279).

Berbeda dengan lukisan buatan akademi kerajaan kala itu, pelukis wen-jen hua lebih memilih subjek yang simpel seperti sebatang pohon atau sebuah batu dan bambu. Keringkasan serta kesederhanaan pada karya ini memberikan ruang sisa, sehingga kolaborasi mental dengan penikmat karya terwujud. Juniper mengatakan orang Jepang juga mengikuti jejak ini.

Mereka menganggap elemen ruang sebagai ketiadaan yang berdampingan dengan keberadaan benda pada karya seni.

Juniper juga menambahkan definisi Wabi-sabi lain: kecintaan pada ketidakbiasaan. Hal ini lahir berkat gaya lukis biksu Zen yang bebas dan spontan. Kesukaan pada hal-hal yang "abnormal" itu pula tampak pada aktivitas lain, semisal menghias kuil dengan benda alam nan simpel seperti bambu, bunga liar, serta kayu.

Juniper mengatakan para biksu bisa menemukan keindahan di balik objek yang kerap kali rustic alias tak berseni, tidak mewah dengan luaran kasar. Polesan warna yang minim, lekuk kelopak kala mekar, rekahan vas dari bambu, atau pembusukan pada kayu di sisi lain juga menunjukkan ketidakabadian, berikut perubahan terus menerus. Wabi-sabi, menurut Juniper, menjadi istilah yang berelasi dengan hal ini.

Wabi-sabi terus berkembang seiring pengaruh biara dan biksu Zen terhadap seni Jepang. Juniper menjelaskan upacara minum teh (sadou), merangkai bunga (ikebana), dan membuat keramik raku merupakan contoh seni yang memuat konsep Wabi-sabi. Di samping persoalan estetika, Wabi-sabi turut memiliki nilai spiritual. Hal ini dijelaskan oleh Leonard Koren dalam Wabi-sabi for Artist, Designers, Poets & Philosophers (1994; 46-51).

Koren mengatakan prinsip estetika Jepang itu mengajarkan bahwa kemegahan atau kecantikan justru hadir pada detail tak mencolok dan terabaikan. Berbanding terbalik dengan keindahan ala Barat, Wabi-sabi justru menitikberatkan pada hal minor, tersembunyi, sementara, dan tidak kekal. Konsep ini menganggap sesuatu yang tak terlihat akan semakin menggugah dan indah. Di sisi lain, Wabi-sabi juga percaya jika kecantikan bisa muncul dari sesuatu yang dinilai jelek. Alasannya karena keindahan ditentukan oleh sudut pandang, konteks, atau keadaan tertentu.

Lebih lanjut, Wabi-sabi mengajarkan bahwa dalam hidup ada hal yang tidak kekal, tak sempurna, dan tidak selesai. Barang baru yang dibuat tanpa cacat kelak akan rusak sehingga tak lagi menjadi sempurna. Oleh karena itu, Wabi-sabi menganjurkan agar seseorang "ikhlas" menerima segala kejadian yang pasti terjadi atau tidak bisa dihindari.

Relevansi dengan Masa Kini

Dari sudut pandang psikologis, konsultan psikologi Marianna Pogosyan menjelaskan di situsweb Psychology Today bahwa Wabi-sabi memberikan jeda atau pause di tengah kehidupan yang terus mengejar kesempurnaan.

“Konsep ini adalah ruang terbuka untuk penerimaan, pengampunan, dan mindfulness. Untuk melihat keindahan sesuatu yang rusak atau cacat, termasuk diri sendiri serta orang lain. Untuk menghargai perjalanan waktu,” katanya.

Wabi-sabi pada akhirnya membuka ruang bagi rasa cinta pada orang lain. Bagi diri sendiri, konsep ini memungkinkan seseorang untuk tak lagi menyesali kekurangan atau pengalaman pahit yang pernah dirasakan. Hal ini, menurut Pogosyan, dapat memberikan kepuasan lebih dalam terhadap hidup.

infografik wabi sabi

infografik wabi sabi

Beth Kempton dalam Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life (2018) menerangkan saat ini manusia hidup di era algoritma, propaganda pop-up, dan banjir informasi.

“Dari bangun hingga tidur, kita menerima pesan soal apa yang mesti dipakai atau dimakan, berapa banyak kita mesti mendapatkan uang, siapa yang mesti kita cintai, dan bagaimana kita seharusnya mendidik anak. Gara-gara hal ini, tak jarang rasa kewalahan dan tak aman menghampiri,” jelasnya.

Kondisi itu kerap membuat orang menjadi tak percaya diri serta membikin mereka melakukan sesuatu yang tak disukai. “Di sini ironi muncul. Kita sudah sampai di titik di mana kita mesti mengambil jeda untuk melihat sekeliling lalu memutuskan apa yang sesungguhnya berharga,” terangnya.

Ia menganggap bahwa Wabi-sabi bisa menjadi cara baru melihat dunia dan tempat seseorang di dalamnya. Konsep ini menurutnya mampu membuat hidup berjalan lebih lambat. Wabi-sabi juga mendorong orang melepaskan penilaian negatif dan usaha tak berkesudahan demi mengajar kesempurnaan. Apa yang disampaikan Kempton serupa dengan perkataan Pogosyan.

Wabi-sabi, ajaran berusia berabad-abad itu, dipandang mampu menjadi jalan keluar manusia beserta persoalannya di masa kini.

Baca juga artikel terkait WABI-SABI atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Nuran Wibisono