Menuju konten utama

Wabi-sabi: Melihat Keindahan dari Ketidaksempurnaan

Konsep estetika asal Jepang ini mengajak kita untuk melepaskan penilaian negatif dan usaha tak berkesudahan demi mengejar kesempurnaan.

Wabi-sabi: Melihat Keindahan dari Ketidaksempurnaan
Header Diajeng Wabi Sabi. tirto.id/Quita

tirto.id - Di hadapan pemirsa TEDxSantaMonica pada 2012 silam, penyintas korban penculikan Cheryl Hunter melukiskan masa kecilnya yang indah di kawasan terpencil pegunungan Rockies, Colorado.

Setiap hari, kenang Hunter, ia menunggangi kuda sembari menikmati hamparan luas padang rumput nan elok.

Namun romantisme alam Colorado tak mampu membendung keinginan gadis Amerika ini untuk pergi. Seiring beranjak remaja, Hunter ingin mencari tantangan baru. Ia kemudian memutuskan pergi ke Eropa, tepatnya Prancis, untuk menjadi model.

Suatu ketika, Hunter didekati oleh pria berpenampilan seperti fotografer. “Laki-laki itu bilang, dia bisa membantuku jadi model kalau aku mau ikut dia. Temanku keberatan tetapi tak kuhiraukan. Aku iyakan tawaran tersebut,” jelasnya.

Dengan mata berkaca-kaca, Hunter mengungkapkan bagaimana ia kelak dibius, dipukul, diperkosa berkali-kali. Tiga hari kemudian, laki-laki tersebut membuang Hunter di tempat parkir.

“Sejak itu, muncul pertanyaan ‘kenapa’. ‘Kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku?’ Aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun. Aku merasa terasing dan jadi penyendiri,” terangnya.

Hunter memikul beban beratnya selama bertahun-tahun. Ia belum bisa memaafkan pemerkosanya, sampai kemudian pandangannya berubah setelah berkenalan dengan konsep estetika wabi-sabi.

Istilah itu disampaikan oleh sepasang kakek-nenek dari pemilik agensi model yang tengah Hunter ikuti ketika berada di Jepang.

Wabi-sabi, menurut mereka, merujuk pada prinsip keindahan sebuah objek yang terletak pada kerusakan atau kesalahan yang dimilikinya. Wabi-sabi juga diartikan sebagai pemahaman tentang kontras akan keindahan. Sesuatu bisa dikatakan sempurna jika ia turut menampilkan ketidaksempurnaan.

Diajeng Wabi Sabi

Kintsugi Antique memecahkan mangkuk Jepang yang diperbaiki dengan emas. FOTO/iStockphoto

Beberapa tahun setelah tragedi yang menimpanya, Hunter bisa sembuh dari lukanya, dan kelak menekankan bahwa pada dasarnya kita semua adalah makhluk yang luar biasa.

“Kamu luar biasa, dan apa yang membuatmu luar biasa tak lain adalah segala hal yang dulu pernah kamu anggap salah pada dirimu. Aku harap kamu bisa mengenali keindahanmu, tahu betapa hebatnya dirimu, dan akhirnya bisa meraih wabi-sabi-mu,” pungkas Hunter dalam ceramahnya.

Andrew Juniper dalam Wabi Sabi: The Japanese Art of Impermanence (2003) menjelaskan akar konsep wabi-sabi tak lepas dari Taoisme dan gaya seni biksu Zen, salah satu aliran Buddha Mahayana yang berkembang di Jepang.

Jenis karya pertama yang memuat gagasan wabi-sabi, menurut Juniper, ditemukan pada lukisan Cina wen-jen hua pada era Dinasti Song (960-1279).

Berbeda dengan lukisan buatan institusi milik kerajaan kala itu, pelukis wen-jen hua lebih memilih subjek yang simpel seperti sebatang pohon atau sebuah batu dan bambu. Keringkasan serta kesederhanaan pada karya ini memberikan ruang sisa, sehingga dapat terwujud kolaborasi mental dengan para penikmat karya.

Orang Jepang turut mengikuti jejak tersebut. Mereka menganggap elemen ruang sebagai ketiadaan yang berdampingan dengan keberadaan benda pada karya seni.

Juniper menambahkan definisi lain wabi-sabi: kecintaan pada ketidakbiasaan. Hal ini lahir berkat gaya lukis biksu Zen yang bebas dan spontan. Kesukaan pada hal-hal yang “abnormal” itu nampak juga pada aktivitas lain, seperti menghias kuil dengan benda alam nan simpel seperti bambu, bunga liar, serta kayu.

Para biksu dapat menemukan keindahan di balik objek yang acap kali rustic alias tak berseni, tidak mewah dengan luaran kasar. Polesan warna yang minim, lekuk kelopak kala mekar, rekahan vas dari bambu, atau pembusukan pada kayu juga menunjukkan ketidakabadian, berikut perubahan tiada henti. Wabi-sabi, menurut Juniper, menjadi istilah yang berelasi dengan itu semua.

Wabi-sabi terus berkembang seiring pengaruh biara dan biksu Zen terhadap seni Jepang. Juniper menjelaskan upacara minum teh (sadō), merangkai bunga (ikebana), dan membuat keramik raku merupakan contoh seni yang memuat konsep wabi-sabi.

Di samping persoalan estetika, wabi-sabi juga memuat nilai spiritual.

Seperti dijelaskan oleh Leonard Koren dalam Wabi-sabi for Artist, Designers, Poets & Philosophers (1994), prinsip estetika wabi-sabi mengajarkan bahwa kemegahan atau kecantikan justru hadir pada detail tak mencolok dan terabaikan. Berbanding terbalik dengan keindahan ala Barat, wabi-sabi justru menitikberatkan pada hal minor, tersembunyi, sementara, dan tidak kekal.

Konsep ini menganggap sesuatu yang tak terlihat akan semakin menggugah dan indah. Di sisi lain, wabi-sabi juga percaya jika kecantikan bisa muncul dari sesuatu yang dinilai jelek. Alasannya karena keindahan ditentukan oleh sudut pandang, konteks, atau keadaan tertentu.

Lebih lanjut, wabi-sabi mengajarkan bahwa dalam hidup ada hal yang tidak kekal, tak sempurna, dan tidak tuntas. Barang baru yang dibuat tanpa cacat kelak akan rusak sehingga tak lagi menjadi sempurna.

Sederhananya, wabi-sabi menganjurkan agar seseorang “ikhlas” menerima segala kejadian yang pasti terjadi atau tak bisa dihindari.

Diajeng Wabi Sabi

Wanita meditasi di taman. FOTO/iStockphoto

Dari sudut pandang psikologis, konsultan psikologi Marianna Pogosyan, PhD menjelaskan di Psychology Today bahwa wabi-sabi memberikan pause atau jeda di tengah kehidupan yang terus mengejar kesempurnaan.

“Konsep ini adalah ruang terbuka untuk penerimaan, pengampunan, dan mindfulness. Untuk melihat keindahan sesuatu yang rusak atau cacat, termasuk diri sendiri serta orang lain. Untuk menghargai perjalanan waktu,” kata Pogosyan.

Wabi-sabi akhirnya membuka ruang bagi rasa cinta pada orang lain. Bagi dirimu sendiri, konsep ini memungkinkanmu agar tak lagi menyesali kekurangan atau pengalaman pahit yang pernah kamu rasakan. Hal ini, menurut Pogosyan, dapat memberikan kepuasan lebih dalam hidupmu.

Esensi senada disampaikan oleh Beth Kempton dalam Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life (2018). Kempton terangkan, saat ini kita hidup di era algoritma, propaganda pop-up, dan banjir informasi.

“Dari bangun hingga tidur, kita menerima pesan soal apa yang mesti dipakai atau dimakan, berapa banyak kita mesti mendapatkan uang, siapa yang mesti kita cintai, dan bagaimana kita seharusnya mendidik anak. Gara-gara hal ini, tak jarang rasa kewalahan dan tak aman menghampiri,” jelas Kempton.

Kondisi itu mungkin kerap membuatmu tak percaya diri, bahkan membuatmu terpaksa melakukan hal yang kamu sukai. “Di sinilah ironi muncul. Kita sudah sampai di titik di mana kita mesti mengambil jeda untuk melihat sekeliling lalu memutuskan apa yang sesungguhnya berharga,” terangnya.

Kempton menganggap wabi-sabi bisa menjadi alternatif cara untuk memandang dunia dan tempat seseorang di dalamnya. Konsep yang dapat membuat hidupmu seolah-olah berjalan lebih lambat ini juga bisa mengajakmu agar melepaskan penilaian negatif dan usaha tak berkesudahan demi mengajar kesempurnaan.

* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 22 Januari 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Nuran Wibisono & Sekar Kinasih