tirto.id - Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) resmi mendeklarasikan status darurat atau emergency pada wabah Corona dari Cina. Kebijakan ini diambil karena penyebaran virus terus berlanjut dan pengidapnya sudah ada di 18 negara per Jumat (31/1/2020) lalu.
Dampak virus 2019-ncoV ini merembet ke banyak sektor, termasuk aktivitas bisnis dan perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mewanti-wanti soal ini di Gedung DPR RI, Selasa (28/1/2020) lalu. Ia berkaca dari kasus SARS pada 2003 lalu yang tak hanya memengaruhi ekonomi negara asal virus itu, Cina, tapi juga wilayah lain seperti India.
“Ini menggambarkan bahwa risiko itu bisa unpredictable dan very volatile,” katanya.
Jika tak diantisipasi, 2019-ncoV itu bisa ikut 'menginfeksi' perekonomian domestik. Apalagi sebelum Corona mewabah, perekonomian Negeri Tirai Bambu itu sudah mengalami perlambatan. Di kuartal pertama tahun ini, Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan ekonomi Cina bakal kembali terkoreksi karena lesunya aktivitas bisnis.
Cina kehilangan momentum dorongan dari konsumsi domestik yang seharusnya disumbang tahun baru Imlek.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Heri Firdaus mengatakan dampak Corona terutama akan terasa pada aktivitas perdagangan Indonesia dengan Cina. Lesunya aktivitas bisnis di sejumlah kota di Cina bisa berimbas pada menurunnya permintaan komoditas non-migas dari Indonesia.Tak hanya itu, Heri juga menegaskan produksi pasokan barang dan makanan dari negeri itu bisa menurun dan menyebabkan kelangkaan barang. Ujungnya adalah inflasi di Indonesia.
Kalaupun Cina masih bisa berproduksi, mau tidak mau mereka perlu mengetatkan aliran impor untuk menjaga kondisi dalam negeri.
“Tiongkok memiliki porsi 15 persen ekonomi dunia. Ini tidak bisa dipandang remeh. Pemerintah Cina harus bertindak cepat,” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (31/1/2020).
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan saat ini Indonesia masih bisa 'bernapas' karena pengaruh di sektor riil belum terasa. Namun, pemerintah tetap harus bersiap sebab ada dampak tak langsung di luar perdagangan Indonesia-Cina. Misalnya, terkoreksinya harga sejumlah komoditas.
Akibatnya, ekspor yang dominan disumbang sektor sumber daya alam bisa terpukul dan memperdalam defisit neraca perdagangan.
Di sisi lain, daya beli masyarakat juga berpotensi ikut terpengaruh karena harga komoditas masih memiliki peran signifikan dalam porsi pendapatan masyarakat. “Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi sulit membaik,” ucap Piter dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (27/1/2020).
Piter juga mencatat wabah Corona telah menimbulkan sentimen negatif di pasar modal. Investor dan pelaku usaha menunjukkan pesimisme dan mulai memindahkan uang ke instrumen dan tempat investasi yang lebih aman.
“Akibatnya, aliran modal ke negara-negara berkembang tertahan, termasuk ke Indonesia. Dampaknya pasar modal global memerah, demikian juga dengan pasar modal Indonesia. IHSG merosot dan rupiah melemah,” ucap Piter.
Dampak lainnya yang juga tak bisa diabaikan adalah wisatawan mancanegara yang akan menurun. Merujuk BPS, wisman asal Cina berkontribusi besar terhadap PDB sektor pariwisata.
Meski demikian, ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan masih ada kabar baik karena Indonesia belum punya porsi besar dalam perdagangan dunia. Jika wabah ini mengguncang perekonomian global, dampaknya tak akan seburuk negara-negara yang mengalami perlambatan ekonomi tahun lalu.
“Kontribusi ekonomi kita masih dari konsumsi, sedangkan perdagangan internasional masih kecil. Ini blessing in disguise,” kata Faisal kepada reporter Tirto, Kamis (31/1/2020).
Dari sisi pasar modal, ia membenarkan kalau koreksi indeks saham (IHSG) cukup signifikan karena nilainya berada di bawah 6.000. Namun, ia yakin pasar modal bisa pulih.
Hal itu telah dibuktikan Cina setelah mengalami perlambatan ekonomi akibat SARS pada 2002-2003. Saat itu pertumbuhan ekonomi Cina di kisaran 8 persen, dan melewati 2004 nilainya sudah double digit di kisaran 10-12 persen.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut Bank Dunia selama tahun 2002-2003 tetap tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu di kisaran 4,45 dan 4,78 persen.
“Tapi ini tergantung bagaimana virus ditangani. Saya yakin Cina sudah belajar dari pengalaman SARS,” ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana