tirto.id - Vagina selama ini lebih sering dimaknai sebagai organ reproduksi dan seksual semata. Padahal, lebih dari itu, vagina adalah representasi perempuan. Ia juga bisa “merasakan” senang, sedih, bahkan depresi seturut perubahan hati sang empunya.
Selama ini, kita mungkin terlalu tak acuh terhadap organ tubuh satu itu. Tabu seksualitas membuat perempuan kurang memahami vaginanya, tidak paham bentuk fisiologisnya, atau fungsi spesifik dari tiap bagian vagina. Bahkan, masalah kesehatan vagina, seperti keputihan, kering, atau gatal, tak bisa dilihat dengan faktor tunggal.
Beberapa gejala tersebut bisa saja merupakan respon vagina terhadap perubahan suasana hati kita. Namun,gejala-gejala itu bisa juga menjadi pertanda kondisi kesehatan yang lebih kompleks. Masalahnya, hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan vagina sering kali disederhanakan karena tabu seksualitas atau ketidaktahuan informasi.
Gambaran besar fenomena ini pernah diangkat dalam film Sex and the City oleh salah satu karakter utama bernama Charlotte. Adegan dalam film menggambarkan Charlotte yang berbaring di kursi pemeriksaan karena keluhan perubahan abnormal pada vaginanya.
Charlotte menduga si vagina telah terkena infeksi jamur karena terasa sangat nyeri. Namun, ginekolognya bilang bahwagejala gatal, perih, dan kemerahan yang dialaminya adalah tanda vulvodynia alias depresi vagina. Si ginekolog lantasmenenangkan Charlotte dengan berkata bahwa keluhannya bukan kondisi yang patut dikhawatirkan.
“Aku akan meresepkan antidepresan.”
“Tapi aku tidak depresi.”
“Ini bukan untukmu, tapi buat vaginamu.”
Sang ginekolog jelas mengecilkan kondisi kesehatan pasiennya. Meski benar bahwa sebagian kasus vulvodynia berhasil ditangani dengan antidepresan ringan, lebih banyak lagi yang butuh penanganan khusus karena gejala yang lebih berat.
Charlotte lalu pulang dengan raut muka bingung. Adegan selanjutnya menceritakan pertemuan Charlotte dengan ketiga temannya. Mereka membahas soal vagina dan gejala vulvodynia yang tak lazim. Dalam adegan ini, kita dapat menangkap ketabuan para perempuan terhadap seksualitas mereka.
Ketika membicarakan vagina, mereka memilih menggunakan kata ganti agar tidak didengar orang lain. Lalu ketika salah satu dari mereka menentang ide tersebut dan menyarankan untuk lebih mengenal vagina masing-masing dengan melihatnya lewat pantulan kaca, Charlotte menimpali, “Aku tak mau karena vaginaku jelek.”
“Mungkin itulah sebabnya vaginamu depresi,” timpal teman Charlotte, merujuk pada persepsinya yang buruk terhadap vaginanya sendiri.
Vagina pun Bisa Depresi
Tidak seperti penggambaran dalam film, vulvodynia dideskripsikan oleh The National Vulvodynia Association (NVA), sebagai kondisi nyeri kronis yang sangat serius. Perempuan dengan vulvodynia mengalami nyeri vulva sampai membikin segala aktivitas yang menekan vagina jadi amat menyakitkan.
Hubungan seksual bagi perempuan dengan vulvodynia akan terasa sangat sakit, bahkan ada yang sampai tak sanggup melakukan aktivitas tersebut. Mereka juga tak bisa olahraga atau duduk dalam waktu lama. Dalam kasus terburuk, merekahanya bisa terbaring di tempat tidur saking sakitnya.
“Gejala vulvodynia mirip seperti peradangan vagina. Rata-rata ginekolog sering salah mendiagnosis dan pasien bisa mengunjungi lebih dari tujuh dokter sebelum dapat diagnosis akurat,” demikian penjelasan dari NVA.
Rasa terbakar, nyeri, gatal, memerah, bengkak, dan seperti tertusuk dapat terjadi di bagian vulva atau bagian vagina lain. NVA menyebut tingkat gejala dapat bervariasi, sebagian rasa sakit hanya di satu area vulva, sementara yang lain menyebar di beberapa area.
Kita perjelas dulu deskripsi vulva sebagai bagian terluar dari vagina, pelindung organ seksual, saluran kemih, dan merupakan pusat dari sebagian besar respon seksual perempuan. “Bibir” luar dan dalam vulva disebut labia mayora dan labia minora.
“Diagnosis akan sangat sulit karena vagina bisa saja tampak normal saat pemeriksaan. Biasanya kami menekan beberapa area vagina dengan kapas dan meminta pasien mengevaluasi level nyerinya,” tutur Sherry Ross, ginekolog dan pakar kesehatan reproduksi perempuan di Santa Monica, California, seperti dikutip Women’s Health.
Ross mengungkap sampai sekarang data mengenai vulvodyna masih tidak pasti, tapi diperkirakan mempengaruhi antara 200 ribu sampai 6 juta perempuan Amerika setiap tahun. Di Indonesia, datanya tentu lebih tidak tergambar.
Sampai sekarang, peneliti di dunia belum bisa memastikan penyebab dari vulvodynia. Namun yang jelas, ia bukandisebabkan oleh infeksi atau penyakit menular seksual. Ada beberapa hipotesis terkait pencetus gejala ini, yakni cedera pada saraf yang mengirim rasa sakit dari vulva ke tulang belakang.
Kemudian, serabut saraf nyeri di vulva yang meningkat jumlah atau sensitivitasnya. Ada juga teori soal melonjaknya kadar zat inflamasi di vulva, kerentanan genetik, respon abnormal sel vulva, atau kelemahan otot dasar panggul.
Teori lain mengataan resiko vulvodynia ikut meningkat seiring kondisi psikologis. Depresi, kecemasan, stres, serta trauma akibat pelecehan seksual bisa memicu depresi vagina. Studi yang sama juga mengatakan bahwa gejala vulvodynia mungkin bukan berasal dari bagian fisik, melainkan otak.
“Orang dengan kondisi inipunya lebih banyak materi abu-abu di area otak mereka yang memproses rasa sakit dan stres.”
Sama seperti penyebabnya yang belum diketahui secara pasti, pengobatan khusus vulvodynia juga belum ada. Terapi medis selama ini hanya sebatas perawatan saja, seperti resep antidepresan dosis rendah.
“Tidak jelas kenapa antidepresan efektif pada beberapa perempuan dengan kondisi ini, tapi itu bekerja,” kata Ross.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi