tirto.id - Pada 11 Februari 2017, ESPN menayangkan sebuah artikel yang bikin Jacki Jing naik pitam. Artikel yang ditulis Vicki L. Friedman itu berjudul “Why Volleyball--Not Basketball--Winning Popular Vote”.
Artikel itu sebenarnya memberikan penjelasan menarik soal alasan para remaja perempuan di Amerika yang lebih tertarik bermain voli daripada basket. Namun, ada satu pernyataan yang tidak dapat diterima oleh Jing.
Pernyataan itu berasal dari Mike Flynn, pengamat basket perempuan Amerika. “Basket adalah olahraga yang cukup rumit untuk dikuasai,” demikian kata Flynn. “Jika Anda tidak berusaha mati-matian atau tidak memiliki kemampuan atletis dan keterampilan di atas rata-rata, Anda tidak akan pernah meraih sukses. Di voli [...] tantangannya jauh lebih mudah.”
Jing, yang pernah menghabiskan masa remajanya sebagai atlet voli sekolah, menganggap pernyataan Flynn tersebut telah “menghina” voli. Menurut Jing, seperti dalam olahraga lainnya, seorang pemain voli sebenarnya juga membutuhkan usaha dan keterampilan khusus untuk jadi seorang jagoan.
Perkara skill dalam voli, misalnya. Spike, dig, set, dan seterusnya, tak bisa dikuasai semalaman. Bahkan untuk menguasai salah satu skill itu, kata Jing, bisa butuh waktu berminggu-minggu hingga bertahun-tahun lamanya.
“Spike? Kami harus mampu memukul bola dengan sudut tertentu, untuk menghindari blok sekaligus penerima bola lawan ... Belum lagi soal timing dalam melakukan spike, itu butuh waktu agar semuanya bisa dilakukan secara benar,” tulis Jing di dalam situs pribadinya.
Presenter televisi Amerika itu kemudian berbicara lebih jauh lagi, seperti seorang guru matematika yang baru mengajari Flynn Rumus Phytagoras. Ia membeberkan bagaimana atlet voli Olimpiade--perempuan maupun laki-laki--mempersiapkan diri, menekankan pentingnya kerja sama dalam voli, hingga menceritakan jatuh-bangun dirinya saat masih jadi pemain voli.
Dan saat Jing mengatakan dengan tandas bahwa “voli adalah olahraga luar biasa”, ia tak sendirian.
Pada tahun 2019, voli didaulat sebagai olahraga populer nomor lima di dunia--mengalahkan basket yang berada di peringkat ketujuh--dengan estimasi penggemar mencapai 900 juta jiwa. Penyebabnya, menurut situs Volley Country, jelas: voli adalah olahraga intens yang melibatkan banyak aspek menantang saat dimainkan.
Itu artinya, bunyi-bunyian yang dikeluarkan Flynn barangkali hanya enak didengarkan pada masa silam, ketika voli masih menjadi olahraga alternatif dan rekreatif di Amerika.
Semula adalah Olahraga Alternatif
Sejarah voli dimulai pada 9 Februari 1895, tepat hari ini 125 lalu. Ia diciptakan oleh William George Morgan, seorang Direktur Pendidikan Jasmani YMCA (Asosiasi Pemuda Kristen) di Holyoke, Massachusetts, Amerika Serikat. Namun, voli saat itu masih sangat berbeda dengan yang sekarang.
Morgan menciptakan voli karena terinspirasi basket yang ditemukan James Naismith pada 1891. Tahu bahwa basket hanya cocok dimainkan oleh anak-anak muda, Morgan ingin menciptakan olahraga alternatif yang juga cocok dimainkan oleh orang-orang dewasa. Terlebih, sebagai seorang Direktur Pendidikan Jasmani, saat itu ia memang bertugas untuk membangun, merancang, dan mengembangkan program serta membuat kelas olahraga untuk anggota YMCA yang sudah dewasa.
Semula Morgan sama sekali tidak mempunyai gambaran akan bikin olahraga seperti apa. Ia hanya menggabungkan olahraga-olahraga populer untuk menciptakan olahraga baru yang tidak menuntut aktivitas atau kontak fisik berlebihan. Barulah setelah mengamati tenis, ia mampu menemukan rancangan nyata: olahraga barunya itu harus menggunakan net.
Hasilnya adalah "mintonette". Olahraga ini, tulis Volley Hall, “meminjam bola dari basket, mengambil net dalam tenis, menggunakan tangan seperti bola tangan … dan menerapkan innings seperti bisbol.”
Pada 1896, setelah mengutak-atik sana-sini, Morgan akhirnya punya kesempatan untuk mendemonstrasikan temuannya itu. Momennya pas: dalam sebuah konferensi yang melibatkan seluruh direktur pendidikan jasmani sekolah YMCA. Ia lantas memanggil sepuluh anggota YMCA, membaginya menjadi dua, untuk bermain lima lawan lima.
Kemudian, sebelum permainan itu dimulai, Morgan tak luput memberikan penjelasan seperlunya: "mintonette" dapat dimainkan di dalam dan luar ruangan; jumlah pemainnya tak terbatas; dan intinya adalah menjaga bola agar tetap berada di udara untuk kemudian menyeberangkannya melewati net ke daerah permainan lawan.
Singkat cerita, demonstrasi itu akhirnya berlangsung seru, mampu menarik perhatian, dan mendapatkan apresiasi para petinggi YMCA yang hadir di dalam konferensi. Bahkan, Alfred Halstead, seorang profesor anggota YMCA, turut memberi dukungan dengan mengeluarkan sebuah ide: olahraga itu tak cocok disebut mintonette, karena yang harus dilakukan adalah memukul bola saat berada di udara. Dari ide Halstead itulah "mintonette" kemudian dikenal sebagai voli.
Yang menarik, Morgan tak berhenti bereksperimen setelah voli mulai menjadi olahraga rutin di YMCA. Ia terus memperbaiki aturan, mendesain bola khusus, hingga terus mempromosikan voli ke segala lapisan masyarakat. Walhasil, saat voli semakin mapan di Amerika, olahraga itu ternyata juga mampu menggedor pintu dunia.
Situs resmi FIVB (Federasi Voli Internasional) menulis, “Pada tahun 1900, Kanada menjadi negara pertama yang mengadopsi voli dari Amerika. Setelah itu negara-negara lain menyusul: Cina dan Jepang pada tahun 1908, dan Filipina mulai mengenal voli pada tahun 1910.”
Hebatnya, selain mengadopsi, negara-negara anyar tersebut ternyata juga ikut berperan aktif dalam mengarahkan masa depan voli. Filipina, misalnya, menerapkan “batasan tiga pukulan” di mana setiap tim hanya boleh menyentuh bola tiga kali sebelum mengirimnya ke daerah permainan lawan. Itu dilakukan agar voli lebih kompetitif.
Selain itu mereka juga menggagas set dan spike. Set biasanya dilakukan pemain kedua (pukulan kedua) dengan menempatkan bola tinggi-tinggi di depan net, sehingga bisa mempermudah pemain ketiga (pukulan ketiga) melakukan pukulan keras ke daerah permainan lawan. Pukulan keras pemain ketiga inilah yang biasa disebut dengan spike.
“Panas” di Olimpiade
Meski mulai ada di mana-mana, voli sempat mengalami stagnasi pada tahun 1930-an. Setiap negara boleh mempunyai federasi sendiri-sendiri dan sudah punya kompetisi dalam negeri. Namun saat kompetisi dunia belum digelar, voli akan selalu dilabeli sebagai “olahraga rekreasi”.
Kala itu ada banyak faktor penghambat yang menyebabkan kompetisi antar negara urung terjadi. Selain karena perang, voli juga belum punya aturan baku. Saat aturan di Amerika berbeda dengan di Jepang, Cina, Perancis, dan negara-negara lainnya, kompetisi resmi jelas masih jauh panggang dari api.
Sadar akan kekurangan itu, pada April 1947, 14 negara kemudian memutuskan berembuk di Perancis untuk mencari jalan keluar. Hasilnya adalah berdirinya FIVB (Federasi Bola Voli Internasional). Nantinya, selain menetapkan aturan yang seragam, badan ini akar mengatur kompetisi voli antar negara di dunia.
Segera setelah FIVB berdiri, kejuaraan dunia voli pun langsung digelar. Sementara Kejuaraan Dunia Pria berlangsung di Ceko pada 1949, Kejuaraan Dunia Perempuan digelar di Uni Soviet pada 1952. Hebatnya, kedua kompetisi itu ternyata sukses besar dan popularitas voli terus melejit.
Dampak dari kesuksesan tersebut kemudian membuat voli memiliki panggung lebih besar. Setelah sempat tarik-ulur, voli akhirnya mampu menembus gelanggang Olimpiade, melakukan debut di Olimpiade Tokyo 1964. Dari gelaran inilah voli dikenal seperti sekarang: sebuah olahraga kompetitif yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Setidaknya ada dua contoh nyata yang membuat voli tampak seperti itu. Bahkan dua contoh tersebut diperlihatkan oleh tim voli perempuan: timnas Jepang di Olimpiade 1964 dan timnas Kuba di Olimpiade 1996.
Saat berhasil meraih medali emas di Olimpiade 1964, timnas perempuan Jepang dikenal dengan sebutan “Witches of Orien” bukan tanpa sebab. Julukan itu menggambarkan gaya main mereka yang penuh teknik sekaligus semangat juang yang disetel hingga gigi empat. Namun, Jepang ternyata bisa tampil seperti itu setelah melalui yang cukup berat.
Japan Times menuturkan cara Jepang berlatih, : “Salah satu metode latihan Jepang mirip latihan dalam judo, kaiten reeshiibu, sebuah manuver akrobatik untuk menerima spike sambil berguling-guling di lantai. Mereka melakukannya berulang kali sampai tak bisa bangun lagi … sampai menangis.”
Sementara itu, sebagaimana dikisahkan oleh Sam Walker dalam buku The Captain Class (2016), perjuangan timnas perempuan Kuba untuk meraih medali emas Olimpiade 1996 tak kalah berat dibanding Jepang. Terutama saat mengalahkan Brasil pada babak semifinal, Kuba tidak hanya menang karena kualitas dan kerja keras, melainkan juga karena mental baja.
Bagaimana tidak? Kuba saat itu kalah kelas dari Brasil dan sempat ketinggalan 0-2. Namun mereka akhirnya berhasil membalikkan keadaan menjadi 3-2 setelah memilih memainkan strategi berbahaya: memancing amarah pemain-pemain Brasil dengan melancarkan serangan verbal.
Ide itu muncul dari Mireya Luis, kapten timnas Kuba. Katanya, "Kita harus menghina mereka dengan kata-kata paling buruk yang bisa perempuan katakan kepada perempuan lainnya." Pemain-pemain Kuba mengangguk setuju.
Tak heran, pertandingan tersebut menjadi pertandingan paling panas dalam sejarah kejuaraan voli: pemain-pemain Brasil tak terima dan memutuskan untuk membalas. Setelah selesai adu mulut di atas lapangan, pemain Kuba dan Brasil melanjutkannya dengan adu pukul saat berada di luar lapangan.
Editor: Windu Jusuf