tirto.id - Lebih dari dua alaf silam, seorang tabib Yunani bernama Hippocrates mengawali naskah ilmu pengobatannya dengan sebuah keluhan. “Hidup begitu singkat, padahal penguasaan keterampilan menuntut banyak waktu,” tulisnya.
Orang-orang Romawi menerjemahkan ungkapan itu jadi “ars longa, vita brevis.” Ars, selain keterampilan, bisa pula berarti seni. Tak heran setelahnya banyak yang memaknai ujaran itu sebagai glorifikasi. Mereka menegakkan kepala dan melentingkan punggung dan berkokok seperti ayam: “Seni itu panjang, hidup itu pendek!”
Di tempat dan masa yang berbeda, seseorang berkata, “Jadilah internet.” Maka jadilah. Kemudian orang tak perlu lagi menjebloskan kaki ke kesenian atau lubang-lubang lain—politik atau filantropi, misalnya—supaya punya warisan yang bisa diakses umum. Cukup mendaftarkan diri di media sosial, sebuah museum pribadi langsung sedia diisi. Ia dapat dikunjungi oleh sanak, tolan, dan kenalan sewaktu-waktu, bahkan ketika hidung si tuan rumah sudah disumbat kapas dan tubuhnya pelan-pelan jadi tanah.
Alexandra Elliott, dalam jurnal hukum, sains, dan teknologi Jurimetrics edisi Musim Semi 2015, menyampaikan bahwa setiap hari ada sekitar 15 ribu orang meninggal di seluruh dunia dan 8 ribu di antaranya adalah pengguna Facebook. Sampai 2012, atau delapan tahun sejak diluncurkan, Facebook telah menampung lebih dari 30 juta akun milik orang mati.
“Kelak akan ada lebih banyak orang mati ketimbang yang hidup di Facebook,” tulis Brandon Ambrosino di BBC.
“Kelak” itu boleh jadi datang lebih cepat daripada yang dibayangkan umum. Atas permintaan redaksi Fusion, seorang kandidat doktor ilmu statistik di University of Massachusetts, Haachem Sadikki, membuat sebuah prakiraan: pada 2098, Facebook yang kini dipakai oleh 1,6 miliar orang bakal jadi kompleks pemakaman mahaluas, dengan sebagian besar penghuni berupa 'hantu.' The Loop, dengan asumsi jumlah pengguna Facebook berhenti tumbuh sekitar dua puluh tahun lagi, memperkirakan keadaan itu bakal tiba lebih cepat, yakni pada 2065.
Salah satu sebab utamanya adalah kebijakan Facebook sendiri. Berbeda dari Twitter dan Google yang secara faali menutup akun-akun yang tidak diakses selama 6 dan 9 bulan, Facebook tidak akan membekukan suatu akun hanya karena ia tak digunakan dalam jangka waktu tertentu.
Perusahaan berpenghasilan 17,9 miliar dolar Amerika Serikat per tahun itu bukan tak paham apa yang sedang merayap ke arahnya. Sebagai media sosial yang berambisi besar untuk menjadi komprehensif dan menampung segala jenis pengalaman para pengguna, Facebook bahkan berupaya memenuhi dua jenis keinginan orang terkait kematian: dikenang atau dilupakan.
Salah satu artikel di pusat bantuan Facebook menerangkan bahwa setiap pengguna dapat mengatur apakah kelak, setelah dia mati, akunnya mesti dihapus atau diabadikan.
Akun-akun yang diabadikan, atau tepatnya dijadikan meja abu virtual, bakal mendapat imbuhan “remembering” atau “mengenang” di sisi kanan nama pemiliknya dan tak lagi ditampilkan di laman-laman umum seperti People You May Know dan peringatan ulang tahun. Apabila seorang pengguna tak sempat melakukan pengaturan itu semasa hidup, keluarga atau teman-temannya dapat melapor kepada Facebook dengan menyertakan bukti-bukti kematian mendiang.
Tapi tentu banyak sekali pengguna Facebook yang tidak mengenal layanan itu. Iklan bakiak atau patil lele kering atau apa saja yang menurut algoritma Facebook disukai pengguna muncul di linimasa jauh lebih sering ketimbang pemberitahuan kebijakan.
Akibatnya, seseorang yang telah meninggal kerap kali masih mendapat permintaan pertemanan, dikirimi pesan, serta mendapat pelbagai undangan dan notifikasi. Ada pula kemungkinan orang-orang menulis di dinding profilnya setiap kali dia 'berulang tahun': “Selamat ulang tahun, Bro. Y.O.L.O!” atau “Selamat bertambah umur, Kawan. Hidup adalah perbuatan, sekali berarti sudah itu mati.”
Bagi orang-orang dekat mendiang—terutama yang berulang kali menjelaskan bahwa si pemilik akun sudah meninggal dunia, hal-hal itu tidak hanya menyakitkan, tapi juga menghambat mereka untuk lupa.
Dalam buku Delete: The Virtue of Forgetting in the Digital Age, Viktor Mayer-Schönberger menyebut pelupaan sebagai tahapan penting supaya orang dapat melanjutkan hidup. Ia merujuk cerita pendek “Funes el memorioso” karya Jorge Luis Borges sebagai gambaran bahwa ingatan bisa jadi hal yang amat mengerikan.
Sejak terjatuh dari kuda dan mengalami cidera berat di kepala, Funes mengingat segala yang dicerap inderanya dengan sempurna. Sepintas itu mungkin tampak seperti berkah, namun sesungguhnya tidak lebih dari kutukan. Kepalanya terisi penuh oleh detail-detail.
Ia menimbun banyak pengetahuan, tapi kehilangan kemampuan alamiah manusia untuk mencerna pengetahuan-pengetahuan itu, memilah, dan menyunting hasilnya sebagai gagasan. Lupa, pendeknya, adalah jeda yang diperlukan untuk berpikir. Berpikir, bagi manusia, sama dengan hidup.
Di masa lalu, mengenang orang-orang yang sudah meninggal dunia cenderung dilakukan secara istimewa. Orang biasa datang ke pemakaman atau menyalakan hio, atau setidaknya melihat-lihat album foto, untuk memberi penghormatan sekaligus mengirim doa. Ada pula waktu khusus yang dipakai untuk membayangkan mendiang dan hal-hal yang pernah dialami bersamanya.
Tapi, berkat media sosial, dengan orang-orang mati yang mengambang di dalamnya, setiap waktu terancam jadi murung. Seseorang yang sedang menunggu teman kencannya keluar dari kamar mandi hotel, bersiul-siul dan mencari berita terbaru soal Sam Bimbo, misalnya, boleh jadi malah terdampar di laman profil bekas pacarnya yang mati keracunan bongkrek, dan akhirnya menangis sampai tertidur atau memukuli batang pisang di luar kamar sambil menjerit-jerit.
“Memang belum ada norma-norma tentang kematian dan media sosial,” ujar Jed Brubaker, seorang peneliti identitas digital dan media sosial sekaligus pengajar di University of Colorado Boulder.
“Orang-orang cuma menyusunnya sambil lalu. Namun, jelas generasi Facebook akan berjumpa lebih banyak kematian dibandingkan generasi sebelumnya, sebab orang-orang yang pernah kau kenal, mereka yang secara alamiah sudah hilang dari hidupmu, akan berada di sana sampai kapan pun. Sewaktu-waktu kau bisa menemukan orang-orang itu dan tersadar bahwa mereka sudah tidak ada.”
Sejauh ini Facebook setidaknya telah menjamin dua hal: Pertama, jika Anda menginginkannya, akun alias museum pribadi Anda akan terus ada. Kedua, ia takkan pernah kehabisan pengunjung. Tetapi benarkah Anda tak berkeberatan dikenang dengan cara demikian? Sebagai satu dari jutaan hantu yang berkemungkinan membikin sengsara orang-orang—termasuk mereka yang menyayangi Anda?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti