tirto.id - Membuka kembali buku pelajaran sejarah maka akan kita dapati nama Ali Sastroamidjojo dalam dua babakan. Pertama, namanya pasti tercantum sebagai perdana menteri Indonesia kedelapan. Ia menjabat sejak 1953 hingga 1955 dan lalu 1956 hingga 1957 usai pemilu.
Kedua, tentu saja ia akan selalu dikaitkan dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dihelat di Bandung pada 1955. Ia tak bisa lain adalah penggagasnya—bersama Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Birma, Mohammad Ali dari Pakistan, dan John Kotelawala dari Sri Lanka. Kala KAA berlangsung pun ia jadi ketua konferensi.
Namun, setelah itu namanya redup. Dalam sejarah Indonesia, Ali yang meninggal pada 13 Maret 1976, tepat hari ini 43 tahun lalu, bukanlah siapa-siapa di hadapan kebesaran Sukarno atau Hatta. Penyebutannya dalam pelajaran sejarah di sekolah amat terbatas.
Di tataran internasional, seturut sejarawan Wildan Sena Utama, Ali pun hanya butiran debu. Nama dan perannya sering luput dari pindaian historiografi KAA dan solidaritas Asia-Afrika yang ditulis sejarawan Barat dan non-Barat. Sukarno, yang berpidato dengan berapi-api di pembukaan KAA, lebih banyak dapat sorotan.
“Padahal, bung besar bukanlah inisiator utama di balik munculnya peristiwa historis tersebut. Sastroamidjojo, waktu itu menjabat Perdana Menteri Indonesia, adalah figur utama yang dengan karisma dan kematangan berdiplomasinya meyakinkan negara Asia-Afrika harus bersatu untuk mencari solusi atas permasalahan yang menimpa dunia saat itu,” tulis Wildan dalam opininya yang tayang di Tirto.
Setidaknya, dalam buku pelajaran sejarah namanya sebagai pencetus KAA tak pernah absen. Tapi ia muncul begitu saja dan seakan-akan hilang tanpa jejak begitu bab beralih. Padahal, laiknya titan sejarah lainnya, sosok, peran, dan visi internasionalisme Ali tidak hadir serta merta. Ia bertumbuh sejak muda usia.
Jadi Warga Dunia di Eropa
Ali Sastroamidjojo lahir di Magelang pada 21 Mei 1903. Ayahnya, Ngabehi Sastroamidjojo, adalah asisten wedana. Jadi keluarga Sastroamidjojo termasuk golongan priyayi kecil kala itu. Karena itulah Ali cukup beruntung dapat memasuki sekolah Belanda.
Berkat posisi kakaknya, Sastrowidjono, di Volksraad, Ali dapat masuk HBS di Batavia. Di kota itu ia dapat indekos di rumah keluarga Dokter Kartosasmito yang masih berkerabat dengan Alimin, tokoh SI Merah dan kemudian PKI. Dari Alimin lah Ali, yang kala itu juga bergiat di Jong Java, mendapat wawasan politik pertamanya.
“Pembicaraan-pembicaraan dengan Alimin membuka pikiran saya terhadap soal-soal politik penjajahan di negeri kita. Apa yang dia uraikan memang berbeda benar dengan apa yang saya dengar di kalangan Jong Java. Gagasan-gagasan Alimin lebih maju, malahan lebih radikal daripada cita-cita Jong Java,” kenang Ali dalam memoarnya, Tonggak-tonggak di Perjalananku (1974: 23).
Selepas lulus HBS, Sastrowidjono sekali lagi mengusahakan Ali bisa melanjutkan pendidikan universitasnya ke Belanda. Lagi-lagi berkat koneksi sang kakak, Ali beroleh beasiswa ke Belanda untuk belajar sastra dan kebudayaan Timur. Tapi sesampainya di Belanda Ali banting setir belajar ilmu hukum di Universitas Leiden.
Ketika merantau di Eropa inilah Ali merasa dirinya sebagai warga dunia. Seperti kebanyakan mahasiswa cum aktivis Indonesia lainnya, Ali juga tertarik ke lingkaran Perhimpunan Indonesia. Di sinilah Ali kian menginsafi nasionalisme dan internasionalisme sekaligus.
Usai menjemput istrinya yang menyusul dari Hindia Belanda pada 1924, dua sejoli itu memutuskan tinggal beberapa bulan di Perancis. Pertama di Grenoble dan kemudian di Paris. Di kota inilah ia kemudian berkerumun dengan mahasiswa dari negeri-negeri Asia dan Afrika.
Kala itu Paris jadi jujugan karena di sanalah bersemi ide-ide progresif warisan Revolusi Perancis. Secara reguler mahasiswa Indonesia datang ke Paris kala musim libur untuk membangun kontak dengan mahasiswa progresif dari lain-lain negeri.
“Tukar-menukar pikiran antara pemuda-pemuda Indonesia dan pemuda-pemuda Asia-Afrika ini sangat bermanfaat dan memperkaya idee-idee tentang perjuangan yang telah hidup di kalangan Perhimpunan Indonesia. Dari kontak-kontak itu keyakinan politik kami makin menjadi teguh,” tulis Ali dalam memoarnya (hlm. 37).
Agaknya, di masa-masa inilah visi internasionalisme Ali mulai terbangun, tumbuh beriring dengan nasionalismenya yang kian kental sejak masuk Perhimpunan Indonesia.
Dituduh Makar
Di Perhimpunan Indonesia ia ikut aktif menulis di majalah organisasi Indonesia Merdeka. Sebagai majalah politik, tentu saja Indonesia Merdeka dilarang beredar di Hindia Belanda. Karenanya, selain menulis, Ali juga seringkali jadi “penyelundup” revolusioner.
Guna mengelabui polisi kolonial, disobeknya halaman-halaman Indonesia Merdeka untuk kemudian ditempel pada halaman-halaman majalah Belanda yang hendak dikirim ke Indonesia. Di Indonesia, adiknya yang bernama Usman kena tugas menyebarkan majalah selundupan itu ke kalangan aktivis.
Gara-gara aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia, Ali kemudian ditangkap polisi Belanda pada September 1927. Ia ditangkap bersama dengan Hatta, Nazir Pamuncak, dan Abdulmajid Djojodiningrat. Majalah-majalah dan surat yang dialamatkan kepada Usman lah yang jadi salah satu bukti untuk menjeratnya.
Tentang ini Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi jilid 1 (2011), menulis, “Aku diberi tahu oleh Mr. Duys [salah satu pengacara keempat anggota PI yang ditangkap] bahwa dituduh atas tiga perbuatan, yaitu menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda” (hlm. 289).
Namun, semua tuduhan itu tak ada yang terbukti sehingga pengadilan Belanda membebaskan Ali dan kawan-kawan pada 22 Maret 1928 setelah ditahan selama lima bulan.
Sepulang dari belajar di Belanda, Ali Sastroamidjojo terus bergiat dalam politik. Tercatat ia bergabung dengan PNI, lalu Partindo, dan kemudian Gerindo. Selepas Indonesia merdeka ia pun ikut terlibat dalam pemerintahan.
Beberapa kali ia terlibat dalam urusan diplomasi internasional. Pengalamannya yang pertama adalah ketika tergabung dalam delegasi Indonesia untuk The Asian Relations Conference di India pada Maret 1947. Ia juga ikut lagi dalam delegasi Indonesia untuk Perundingan Renville pada Desember 1947.
Selepas pengakuan kedaulatan, pada 1950 Ali memulai tugas barunya sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Di Washington, selain menjalin hubungan dengan dubes-dubes negara adidaya, Ali juga memperkuat jaringan dengan dubes-dubes negara Asia dan Afrika. Seturut amatan Wildan, pengalaman sebagai duta besar selain mengasah kemampuan diplomatiknya juga menginspirasinya membangun solidaritas antara negara Asia dan Afrika.
Pada opininya Wildan menjelaskan, “Dalam pidatonya di parlemen, saat dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 1953, Ali Sastroamidjojo menekankan ketegangan yang diakibatkan oleh Perang Dingin tidak bisa diredakan apabila Indonesia hanya menjalankan diplomasinya sendiri tanpa melibatkan negara-negara yang kedudukan dan keadaannya sama. Oleh sebab itu, menurutnya, kerjasama politik dengan negara Asia dan Afrika akan memperkuat usaha tercapainya perdamaian dunia.”
Mendorong Pelaksanaan KAA
“Ingat, Ali, ini adalah cita-cita bersama; hampir 30 tahun yang lalu kita dalam Pergerakan Nasional melawan penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia-Afrika,” kata Bung Karno kepada Ali Sastroamidjojo medio April 1954.
Kata-kata Bung Karno itu tertera dalam The Bandung Connection: Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 (1980: 12) yang disusun Roeslan Abdulgani. Kala itu Ali, sebagai perdana menteri, sedang menyiapkan delegasi untuk menghadiri Konferensi Kolombo. Konferensi yang digagas Perdana Menteri Sri Lanka John Kotelawala itu sedianya membahas situasi terhangat Asia, utamanya soal perang yang berkecamuk di Vietnam.
Sukarno mengingatkan Ali agar membicarakan usul penyelenggaraan konferensi antarnegara Asia-Afrika dalam Konferensi Kolombo itu. Tanpa harus diingatkan si Bung Besar pun, Ali memang sudah punya niat serupa itu. Bahkan rumusan-rumusannya sedang digarap oleh tim dari Departemen Luar Negeri.
Seturut catatan Roeslan yang kala itu Sekjen Deplu, bukan pekerjaan mudah menggolkan ide KAA itu. Ketika ide tersebut dilontarkan PM Ali dalam sidang keenam Konferensi Kolombo pada 30 April 1954, semua yang hadir—di antaranya Nehru, U Nu, Mohammad Ali, dan Kotelawala selaku tuan rumah—terlihat skeptis.
Menghadapi skeptisisme itu, akhirnya Ali menegaskan pendirian bahwa Indonesia akan maju jadi penyelenggara konferensi itu. Ia hanya meminta persetujuan keempat delegasi lainnya dan selanjutnya KAA akan jadi tanggung jawab Indonesia. Barulah kemudian para delegasi menerima usulan tersebut.
“Begitu rombongan PM Pak Ali Sastroamidjojo kembali dari Kolombo, begitu Kabinet menentukan langkah-langkah selanjutnya. [...] maka Deplu pada bulan Mei 1954 mulai memutarkan roda aktivitasnya untuk merintis penjajagan dan persiapan dari Konperensi A-A tersebut,” tulis Roeslan dalam bukunya (hlm. 15).
Editor: Ivan Aulia Ahsan