tirto.id - Astrologi berusia cukup tua. Sudah direka-reka oleh masyarakat Babilonia yang hidup pada tahun 1800 sebelum Masehi. Masyarakat di peradaban lain juga turut mengembangkannya.
Astrologi boleh diartikan sebagai “ilmu”nya. Sistem pengetahuan yang mengklaim hidup manusia dipengaruhi oleh gerak benda di langit. Entah matahari, bulan, atau planet.
Horoskop sendiri menjadi bagian dalam astrologi. Bentuknya bagan, atau diagram, yang mewakili posisi matahari, bulan, dan planet, dan dijadikan pedoman astrolog untuk meramal nasib seseorang.
Panduan meramal terkait tanggal kelahiran seseorang, misalnya, bisa menggunakan zodiak. Zodiak merujuk pada area khayak di langit yang dibagi menjadi 12 rasi, sesuai posisi bintang yang terlihat.
Semua orang bisa diidentifikasi pada satu rasi bintang tertentu. Jika A lahir pada periode tanggal 23 Agustus sampai 22 September, maka A berrasi bintang Virgo. Begitu seterusnya, sampai tidak ada manusia yang tidak punya rasi bintang.
Melalui zodiak muncul pelekatan sifat-sifat tertentu yang konon akurat. Misalnya, orang dengan rasi bintang Cancer dibilang mudah tersinggung atau terbawa perasaan, sementara Leo dominan serta kompetitif.
Sayangnya, saat sains mulai berkembang di Eropa, astrologi makin dipertanyakan statusnya.
Mayoritas ilmuwan satu suara. Astrologi tidak mengikuti kaidah ilmiah, maka ia digolongkan sebagai pseudosains. Beberapa ada yang meringkasnya sebagai “ilmu cocoklogi”, mengingat ramalan didasarkan pada usaha mencocok-cocokkan tanpa pegangan yang saintifik.
Hanya saja, para astrolog keras kepala. Akibatnya, komunitas mereka makin dikucilkan. Apalagi setelah ilmuwan kondang seperti Issac Newton urun pendapat, bahwa “astrologi bukan sains yang sebenarnya”.
Apakah astrologi kemudian mati? Tidak.
Ramalan berdasarkan horoskop maupun zodiak tetap laris dikonsumsi khalayak. Mediumnya yang berevolusi. Jika dulu ditemukan di koran, lalu majalah dan televisi, kini ramalan zodiak bisa diakses di berbagai laman maupun dalam wujud aplikasi.
Bagaimana fenomena ini bisa dijelaskan melalui kajian psikologi? Simak selengkapnya dalam video Newsroom 63B berikut ini.
Editor: Fahri Salam