tirto.id - Rabu (5/9/2018) lalu sekitar pukul 09.00 pagi, Karta Sitepu, Ketua RT 07 RW 06, Kampung Jati, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Bekasi, mendapati empat warga negara asing memakai rompi layaknya petugas kontraktor. Selain mereka, ada dua orang lain yang merupakan warga negara Indonesia.
Video para pekerja Cina itu beberapa hari terakhir viral. Dalam keterangan disebutkan kalau mereka sedang mengukur tanah.
Mereka membawa beragam peralatan yang tak Karta mengerti. Namun pikirannya tertuju pada satu hal saja: khawatir akan digusur.
"Memang di seberang [RT 02, RT 03 Kampung Jati] kena gusur. Harusnya di sini enggak, tapi warga was-was," ujar Karta kepada reporter Tirto, Rabu (19/9/2018).
Kampung Jati terpisahkan jadi dua lokasi oleh jalan Tol Cikampek. Lokasi tempat tinggal Karta dan warganya di dekat Jembatan 1 Kalimalang. Satu lagi dekat pintu keluar Bekasi Timur. Keduanya dihubungkan satu jembatan kecil selebar 1,5 meter yang terletak di atas jalur Tol Cikampek. Setiap menit, ada saja mobil atau motor yang melintasi jembatan itu.
Sekitar setahun yang lalu, keberadaan jembatan itu terancam, termasuk juga Kampung Jati dekat pintu tol Bekasi Timur. Mereka dikepung proyek light rail transit dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sekitar 10 meter dari jalur tol tersebut rencananya diambil pengembang.
Untuk sementara, warga yang berada di Kampung Jati dekat jembatan Kalimalang agak tenang. Lahan yang diambil hanyalah yang terletak di Kampung Jati dekat pintu keluar Tol Bekasi Timur.
Ita, istri Karta, mengaku selama ini belum ada pemberitahuan soal penggusuran. Masalah pembebasan lahan pun tidak pernah dibicarakan. Namun, ia mengaku pernah mendapat tiga surat pada 2017 dari PT Adhi Persada Properti untuk mengosongkan lahan. Adhi adalah penanggung jawab untuk LRT Jabodebek.
"Perintah mengosongkan saja. Enggak ada ganti rugi, enggak ada apa. Saya diamkan saja," ucapnya.
Namun kedatangan para warga negara asing plus dua warga Indonesia tanpa informasi apa pun mengusik Ita. Dia kembali mengingat surat perintah pengosongan itu. Selama ini, ia tidak menyebarkan surat karena takut warga panik.
"Awalnya pernah surat itu dikasih dari rumah ke rumah. Terus dikasih ke tempat kami saja. Dulu orangnya pernah dikejar itu yang ngasih, soalnya enggak jelas. Tahu-tahu disuruh mengosongkan lahan," jelas Ita lagi.
Sunarsih, 48, sudah tinggal di Kampung Jati selama 25 tahun. Bersama suaminya, ia berjualan soto setiap hari tepat di ujung Jembatan 1 Kalimalang. Lewat pekerjaan satu-satunya itu, ia mampu membiayai kelima anaknya. Tiga anak tertua sudah lulus SMA. Satunya masih SMA, sementara si bungsu Sekolah Dasar.
Ia merasa tidak siap jika harus digusur karena belum mempunyai rencana apa pun.
"Setiap bulan saya bisa dapat Rp5 juta sampai Rp6 juta. Kalau nanti pindah, apa ada jaminan buat kami hidup tidak makin susah?" katanya.
Selama ini, ia memang belum mendengar rencana penggusuran, tapi kedatangan warga negara asing itu menimbulkan pertanyaan: "Kami digusur atau tidak?"
Apabila memang akan digusur, Sunarsih ikhlas. Hanya saja, ia ingin ada yang menjamin kehidupannya setelah itu tidak bakal lebih susah.
"Sekarang rumah semua mahal. Dulu saya beli rumah di sini hanya Rp9 juta," ucapnya. "Belum lagi nanti anak saya sekolah dan kerja jauh."
Bukan Ukur Tanah
Pihak PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) angkat bicara soal kegundahan para warga sekaligus kedatangan para pekerja Cina. KCIC adalah konsorsium yang bakal membangun kereta cepat rute Jakarta-Bandung.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung telah berproses dalam pekerjaan lapangan sepanjang 142,3 kilometer yang meliputi 96 Desa, 30 kecamatan, dan 9 Kota/Kabupaten sepanjang Jakarta hingga Bandung.
Corporate Communication PT KCIC Febrianto Wibowo mengatakan enam orang itu adalah petugas dari salah satu kontraktor PT KCIC, Sinohydro Co. Ltd (SINOHYDRO). Pada Rabu itu mereka sedang melakukan Review Control Point, tepatnya pada titik DK 16 400 trase Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang berlokasi di kecamatan Jatimulya, Kabupaten Bekasi, bukan mengukur tanah.
Febrianto menjelaskan, Review Control Point yang bisa disebut juga benchmark adalah pekerjaan untuk memastikan desain konstruksi sudah tepat. Tujuannya agar proses konstruksi dapat berjalan dengan baik dan selesai tepat waktu.
"Control point ini adalah titik untuk melakukan pengontrolan saja, tidak dibangun apa-apa," ujar Febrian kepada Tirto, Rabu (19/9/2018).
Febrianto belum mengetahui penyebab tidak adanya koordinasi SINOHYDRO dengan warga setempat. Ia berjanji memberikan teguran.
"Masalah koordinasi warga, itu sebenarnya ranah kontraktor. Nanti kami komunikasikan ke kontraktor. Jika memang benar tidak ada koordinasi, kami akan beri teguran ke mereka," Febrianto memastikan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino