Menuju konten utama

UU Perlindungan Anak Belum Diterapkan Secara Maksimal

Penerapan UU Nomor 35 Tahun 2014 adalah masalah klasik yang berakar dari kurangnya kepedulian berbagai pihak.

UU Perlindungan Anak Belum Diterapkan Secara Maksimal
Tiga murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memperlihatkan hasil karya mewarnai gambar saat acara Gebyar PAUD untuk Kampanye Perlindungan Hak-hak Anak di Auditorium GOR Serang, Banten, Selasa (7/3).ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman.

tirto.id - Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Nahar menilai implementasi dari Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak belum maksimal. Menurut Nahar masalah yang mengangkut UU Nomor 35 Tahun 2014 tersebut tergolong klasik dan berakar dari kurangnya kepedulian berbagai pihak.

“Urusan anak bukan hanya milik satu kementerian lembaga, atau sektor lembaga tertentu. Jadi ketika bicara tentang hak anak, harus melibatkan berbagai stakeholder dari bermacam kepentingan sebagai upaya perlindungan anak,” ujar Nahar di Cikini, Jakarta Pusat, pada Sabtu (22/7/2017) pagi.

Lebih lanjut, Nahar menilai perlu adanya pengkajian lebih lanjut terkait efektivitas penegakan hukum dari UU yang berlaku.

“Secara yuridis sudah tepat belum? Kalau sudah lengkap, instrumen lain apa saja yang melengkapi? Apakah aparatnya sudah melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan? Selain itu, sarana dan prasarananya sudah siap belum?” ucap Nahar.

Sementara itu anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ledia Hanifa Amaliah mengaku sosialisasi terhadap isi UU Perlindungan Anak memang masih perlu lebih digalakkan.

“Kekurangannya terdapat pada sosialisasi yang minim. Awareness soal pengasuhan belum muncul,” kata Ledia.

“Sosialisasi UU Perlindungan Anak sendiri merupakan bagian dari peningkatan kepedulian. Saya memandang dengan adanya kepedulian tersebut, maka regulasi tidak lagi menjadi hal-hal yang sifatnya ajaib. Dengan begitu, kepedulian tidak lagi hanya tugas dari pemerintah, melainkan juga lingkungan,” tambah Ledia.

Ledia mengungkapkan UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan revisi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 memang hanya menambahkan 2 pasal terkait sanksi.

“Fokusnya kan kita perlu memberikan kesadaran besar dan tanggung jawab kepada keluarga. Untuk turunan-turunan dari regulasi tersebut sebetulnya sudah ada, seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan kekerasan di sekolah,” ungkap Ledia.

Adapun Ledia menegaskan peningkatan kepedulian yang tengah diupayakan tidak boleh terputus. “Karena kalau yang berkaitan dengan regulasi, tapi tanpa punya awareness, itu akan menjadi misleading,” ucap Ledia.

Masih dalam kesempatan yang sama, Kabid Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel sempat mengkritisi upaya peningkatan kepedulian tersebut. Menurut Reza, pemerintah saat ini malah seakan membangun anggapan bahwa perlindungan anak di Indonesia dalam fase genting.

“Dengan awareness yang terbentuk dari perspektif Indonesia genting, malah memunculkan kesan anak-anak terancam bahaya dan kita tidak berdaya terhadap predator anak yang muncul dari waktu ke waktu,” ujar Reza.

“Justru kalau Indonesia dikatakan darurat terhadap kejahatan seksual dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, maka saya menagih pada masa kapan situasi darurat itu akan reda. Kalaupun dikatakan luar biasa, bagaimana penegakannya yang seharusnya juga luar biasa,” ucap Reza lagi.

Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setidaknya ada 4.482 kasus di sepanjang tahun 2016.

Dari data tersebut, jumlah anak yang terlibat masalah hukum tercatat paling tinggi, yakni mencapai 1.314 kasus. Sedangkan berturut-turut masalah yang muncul adalah dari pengasuhan dan keluarga yang mencapai 833 kasus, yang terkait pornografi sebanyak 497 kasus, dan yang terkait pendidikan ada 427 kasus.

Baca juga artikel terkait UU PERLINDUNGAN ANAK atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Akhmad Muawal Hasan