tirto.id - Menjelajah Jakarta yang padat sekaligus luas terkadang menjadi kegiatan yang menyenangkan. Terlebih bila Anda melakukannya tanpa tujuan yang pasti. Anda hanya menyusuri jalanan begitu saja secara random dan menikmati tiap sudut-sudut kota dengan seksama.
Hal semacam ini pernah saya tempuh. Pada suatu malam, mungkin menjelang 2018 berakhir, ketika hujan habis menyapu begitu deras, saya memutuskan untuk berkelana menaiki TransJakarta. Dari halte Bendungan Hilir, saya memilih bus jurusan Kota.
Malam itu, bus tak terlewat dipenuhi penumpang. Saya memilih duduk di samping jendela. Tujuannya jelas: agar pandangan saya dapat melihat deretan gedung bertingkat yang berdiri di sepanjang jalan Sudirman, Monas, hingga akhirnya berhenti di kawasan Kota Tua.
Selama roda bus menggelinding, membelah aspal kota yang tak rata, telinga saya dipenuhi lagu-lagu instrumental. Bukan Coltrane, Evans, atau musisi jazz Blue Note lainnya; melainkan Murphy Radio, trio math-rock asal Samarinda, Kalimantan Timur.
Tiga nomor yang termaktub dalam album pendek mereka, bertajuk Naftalena (2016), berhasil membuat saya larut dalam suasana.
Memadukan Dua Kutub
Mendengarkan keseluruhan komposisi di Naftalena tak ubahnya seperti sedang menyaksikan film-film garapan Spike Jonze. Anda bisa dibuat tertawa karena memori-memori indah yang pernah sekelebat lewat di kepala, juga dapat dibikin merenung dengan pelbagai kesalahan, penyesalan, maupun kesedihan yang sempat singgah dan meninggalkan lubang yang cukup dalam.
Pada akhirnya, dari segala pertempuran yang Anda alami, semuanya bermuara di satu titik: keyakinan bahwa kita layak bahagia, entah hari ini maupun esok nanti. Klise, memang. Tapi, bukankah hidup terkadang banyak dipenuhi hal-hal yang klise?
Lagu-lagu Murphy Radio yang ada di Naftalena mampu mengolah segala perasaan tersebut dengan baik. Anda akan merasa sendu ketika mendengar “Gales the Stargazer”. Kemudian “Wheatfield with Cypresses” seperti mengajak Anda menengok kembali ke belakang untuk sekadar nostalgia mengenai lingkaran pertemanan yang menyenangkan hingga sosok mantan yang Anda rindukan.
Apa yang ditawarkan Murphy Radio lantas mendorong saya untuk mewujudkan satu keinginan: menonton mereka secara langsung. Beberapa bulan setelahnya, sehari sebelum Malam Natal tiba, cita-cita itu terealisasi. Di Guitar Freaks, yang berlokasi di bilangan Fatmawati, Murphy Radio hadir di depan mata, dalam gig yang ditujukan untuk merayakan album pertama mereka.
Cerita tentang Murphy Radio bermula pada 2014 silam, dari sebuah tongkrongan di Samarinda. Happy Brilianto, manajer Murphy Radio, berkisah bahwa awalnya Murphy Radio memainkan musik alternatif, alih-alih math-rock seperti sekarang. Titik tolaknya terjadi setahun berselang, manakala vokalis Murphy Radio hengkang.
“Aku sama Wendra [gitaris] kemudian mendengarkan Chon [band math-rock asal Amerika]. Dari situ, aku tanya ke Wendra, ‘Bisa enggak kira-kira main kayak gini?’,” terang Happy kepada Tirto (14/12).
Akhirnya, sejak saat itu, Murphy Radio, yang beranggotakan Wendra (gitar), Aldi Yamin (bass), dan Akbartus Ponganan (drum), memantapkan langkah kakinya di jalur math-rock.
Selain karena personel, faktor lain yang mendorong Murphy Radio pindah haluan ialah anggapan bahwa begitu banyak band yang membawa embel-embel math-rock, tetapi kenyataannya musik mereka sama sekali tidak mencerminkan warna math-rock. Murphy Radio, Happy menerangkan, ingin mendobrak tradisi tersebut.
Dari yang sebatas beredar di bar-bar lokal, tiba saatnya bagi Murphy Radio untuk melebarkan kepak sayapnya. Pada 2016, bersamaan dengan rilisnya Naftalena, mereka melangsungkan tur Jawa, yang meliputi delapan kota. Tur tersebut, jelas Happy, bisa dibilang “berhasil.”
“Orang-orang di scene Jawa jadi tertarik dan penasaran. Di waktu yang sama, exposure terhadap Murphy juga turut meningkat karena [materi-materi Murphy] sempat di-share sama Iga Massardi [Barasuara] dan Ditto Pradwito [Barefood] di media sosial,” imbuhnya.
Perlahan, nama Murphy Radio pun melambung. Meski demikian, kabar ketenaran Murphy Radio mesti dibarengi dengan mundurnya Akbar, sang drummer. Posisi Akbar lalu digantikan oleh Muhammad Amrullah.
Menjelang 2018 tutup buku, Murphy Radio, dengan formasi barunya, memutuskan untuk masuk dapur rekaman. Di titik ini, langkah krusial, lagi-lagi, diambil: musik Murphy harus dibikin easy listening agar cakupan audiensnya meluas.
“Musik math-rock Murphy, memang, menarik banyak pendengar karena tergolong baru di Indonesia. Tapi, kami juga sadar bahwa kami enggak bisa terus segmented. Akhirnya, kami memutuskan untuk, katakanlah, men-downgrade musikalitas Murphy,” tutur Happy.
Walaupun mengalami “penyesuaian”, karakter musik Murphy Radio tidak sepenuhnya berubah. Aldi mengaku bahwa musik baru Murphy Radio tetap berpijak pada math-rock, sebagaimana yang termuat dalam album pendek mereka. Bedanya, kali ini, Murphy berani menyelipkan napas pop dan lebih memilih untuk meleburkan dua elemen: midwest emo serta Japanese math-rock.
“Inspirasinya enggak jauh-jauh dari American Football, toe, Elephant Gym, sampai Chon,” terangnya kepada Tirto (15/12). “Ada nuansa twinkle, midwest emo, dan, tentunya, math-rock itu sendiri. Pengennya menggabungkan antara dimensi Barat dan Timur.”
Proses kreatif dipegang oleh Wendra. Alurnya kira-kira begini: Wendra menyusun pola dari gitar, untuk kemudian diserahkan kepada Aldi dan Amrullah. Dalam mencari lick yang tepat, Wendra, kata Aldi, bisa “bertapa selama seminggu” dan “datang sudah membawa tiga komposisi.”
Setelah memakan waktu cukup lama, album debut mereka pun jadi juga. Mengambil tajuk self titled, album penuh pertama Murphy Radio berisikan sepuluh komposisi serta dirilis oleh label asal Singapura, An Atmos Initiative.
Keseluruhan track dalam album tersebut menggambarkan dengan baik apa yang diharapkan Aldi, ketika Murphy Radio berupaya mengkombinasikan warna math-rock dari Amerika dan Jepang. Anda akan menjumpai pengaruh toe di album For Long Tomorrow (2009), yang melebur dengan Grow (2015) garapan Chon.
Sepuluh nomor yang ada itu pula menjadi bukti betapa mahirnya Wendra, Aldi, dan Amrullah memainkan perkakasnya. Jemari Wendra meliuk dengan lincah dan membentuk melodi-melodi yang terdengar tajam. Cabikan bass Aldi begitu presisi. Dan pukulan drum Amrullah, secara konsisten, mampu mengimbangi solo-solo yang ada.
Kelindan-kelindan itulah yang membikin nomor-nomor macam “No Friends No Master,” “Blossoms and Paw,” “Hippo,” “Summertimes Loneliness,” sampai “Sports between Tranches” sungguh memukau sehingga Anda—mungkin—dapat menyimpulkan: untuk apa lagi kita butuh toe dan American Football jika sudah ada Murphy Radio?
Menjaga Nyala di Samarinda
Setiap membicarakan pergerakan kancah musik independen, Samarinda—atau Kalimantan—nyaris tak ada dalam peta. Khalayak sibuk memalingkan perhatian mereka kepada band-band yang bermunculan di Jawa, Bali, Sulawesi, atau Sumatera.
Kondisi kancah musik independen di Samarinda, seturut keterangan Happy, memang jauh dari kata ideal. Sebelum 2016, misalnya, band-band lokal belum banyak yang memanfaatkan layanan streaming seperti Spotify dan cenderung memakai SoundCloud untuk menyebarluaskan karya-karya mereka.
Selain itu, Samarinda terhitung ketinggalan kabar tentang informasi di kancah arus pinggir. Album Telisik (2014) garapan Danilla, ambil contoh, baru dapat dinikmati para pelaku kancah di Samarinda setidaknya pada 2016, atau sekitar dua tahun setelah dirilis.
Akan tetapi, ketertinggalan tersebut lambat laun sukses dikikis berkat—salah satunya—keberadaan Murphy Radio.
Tur Jawa, album debut yang sarat pujian, kesempatan tampil di panggung besar seperti Synchronize Festival, hingga memperoleh juara dalam kompetisi Planetrox dan berhak mewakili Indonesia di helatan Envol et Macadam di Quebec (Kanada) tak dapat dipungkiri turut membuka jaringan serta mendorong band-band lokal di Samarinda untuk melakukan hal yang sama.
Aldi mengatakan bahwa setelah Murphy Radio merilis album self titled, “sekitar empat sampai lima band Samarinda menyusul kiprah mereka.”
Meski demikian, tantangan bukan berarti lenyap begitu saja. Happy mengaku publikasi media terhadap band-band lokal masih seringkali tertutup dengan nama-nama besar dari Jakarta.
“Enggak salah, sebetulnya. Karena pasti mereka [memilih untuk] memberitakan yang lebih laku dan mendulang traffic,” jelasnya sembari tertawa.
“Jika memang keadaannya begitu, kami dan para pelaku kancah di sini sudah menyiapkan strategi lain dengan, misalnya, memanfaatkan jaringan kami sendiri. Lewat mereka, kami bisa menyebar materi press release hingga informasi-informasi seputar band.”
Musik dari Jakarta—juga kota-kota besar lainnya—kerap menyilaukan mata dan, tak jarang, membikin publik lupa bahwa di daerah seperti Samarinda juga ada harta karun yang tak kalah bersinar terang.
Murphy Radio adalah salah satu harta karun itu.
===============
Lingkar Skena merupakan laporan Tirto yang membahas mengenai band-band dari kancah independen yang berada di luar Jakarta. Laporan ini merupakan lanjutan dari laporan "Musik dan Kota" yang dirilis tahun lalu.
Editor: Eddward S Kennedy