tirto.id - Deklarator Presidium Alumni 212, Ustaz Ansufri Idrus Sambo mengkritik klaim La Nyalla Mattalitti soal mahar politik yang diminta Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto. Sambo berkata, uang Rp40 miliar tergolong kecil untuk skala Jawa Timur.
Sepengetahuan Sambo, daerah Kotamadya Bogor saja menghabiskan dana hingga Rp50 miliar. Uang tersebut, kata Sambo, digunakan untuk biaya pemenangan.
“Rp50 miliar biayanya habis untuk pemenangan. Jadi diminta uang Rp40 miliar itu terlalu kecil untuk Jawa Timur,” kata Sambo kepada Tirto, Jumat (12/1/2018).
Ketua Panitia Tamasya Almaidah ini membenarkan pernyataan Al Khathath bahwa ada empat nama lain yang direkomendasikan dalam Pilkada 2018. Sayangnya, Sambo hanya mengaku mengenal satu orang yakni Muhammad Nur Sukma.
Nur Sukma diketahui ingin maju dalam Pilwalkot Bogor sebagai calon walikota. Namun, Sukma tidak lolos rekomendasi syarat dari Prabowo. Akan tetapi, Sambo tidak merinci syarat mana yang tidak dipenuhi Sukma.
Ia menegaskan, kasus La Nyalla ini menjadi pelajaran bagi Presidium Alumni 212 saat merekomendasikan kandidat. Sambo mengaku akan menemui Al Khaththath untuk menegur pernyataannya tentang dukungan La Nyalla.
Al-Khaththath saat mendampingi La Nyalla dalam konferensi pers di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/1/2018 mengatakan, La Nyalla merupakan satu dari lima tokoh yang direkomendasikan ulama dan Presidium Alumni 212 maju menjadi kepala daerah. Namun seluruh rekomendasi itu diabaikan.
Padahal, menurut Al-Khaththath, La Nyalla dan empat nama lainnya merupakan para kader aksi bela Islam 212. “Jadi dari 5 nama, salah satunya adalah Mas La Nyalla, itu ternyata tidak satupun yang diberikan rekomendasi,” katanya.
Al-Khaththath mengatakan Aksi 212 saat Pilkada Jakarta tidak digelar dengan cek kosong. Menurutnya aksi yang berhasil membawa pasangan Anies-Sandi menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta itu bertujuan menyebarkan perintah surah Al-Maidah ayat 51 di Pilkada 2018.
“Padahal kami mendukung munculnya Gubernur Anies-Sandi itu adalah dengan semangat 212, semangat Al Maidah 51. Oleh karena itu, kita berharap hal itu terjadi di tempat-tempat yang lain,” ujarnya.
Mahalnya Biaya Politik
Klaim Sambo terkait mahalnya biaya politik selama ini memang menjadi salah satu persoalan yang kerap muncul dalam pilkada langsung. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), misalnya, pernah merilis bahwa mahalnya biaya politik ini menjadi salah satu penyebab mandeknya kaderisasi kepemimpinan dalam parpol.
Hal tersebut ini disebabkan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai. Bahkan laporan keuangan dari bantuan APBN/APBD, iuran internal atau sumbangan pihak ketiga (swasta/pengusaha) kerap tidak dilaporkan secara transparan.
Kondisi tersebut seperti sarang yang terus dibiarkan busuk, sehingga tidak mampu untuk menetaskan politik yang menyejahterakan rakyat melalui kaderisasi kepemimpinan yang baik dengan salah satunya tanpa uang atau mahar politik.
Padahal, menurut catatan FITRA, transparansi dan akuntabilitas adalah kewajiban parpol. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 tahun 2011, Pasal 34 A yang mewajibkan parpol menyampaikan hasil audit penerimaan dan pengeluaran partai politik yang bersumber dari APBN.
Karena itu, FITRA mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol dengan meminta laporan keuangan parpol kepada 10 Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol peserta Pemilu 2014, 10 DPD Parpol di DKI Jakarta, dan Kesbangpol Kemendagri dan Pemprov DKI Jakarta.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz