tirto.id - Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) angkatan 2022 sukses menggelar Seminar Nasional bertema “Perlindungan Hukum Kepada Tenaga Medis dan Pasien Pasca Diundangkannya Undang-Undang Kesehatan” pada Senin, 2 Oktober lalu.
Seminar yang diselenggarakan secara hybrid oleh UPH Kampus Pascasarjana tersebut digelar guna merespons Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 11 Juli 2023 dan resmi ditandatangani Presiden RI Joko Widodo pada 8 Agustus 2023.
UU yang terdiri dari 20 Bab dan 458 Pasal ini menjadi isu yang menjadi perhatian dunia kesehatan di Indonesia.
Ketua Program Studi (Kaprodi) Magister Hukum UPH Prof. Agus Budianto dalam sambutannya menyampaikan, disahkannya UU Kesehatan membuat sebanyak 11 UU dicabut atau tidak berlaku lagi.
UU tersebut, kata dia, meliputi UU Nomor 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras; UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran; dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
“Pengesahan undang-undang ini justru menyisakan riak-riak permasalahan, khususnya tentang perlindungan tenaga kesehatan serta hak dan kewajiban mereka yang sebelumnya telah diatur di masing-masing undang-undang," ujar Prof. Agus dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto, Rabu (18/10/2023).
Dia mengatakan, permasalahan-permasalahan pembentukan UU Kesehatan ini semuanya akan dibahas dalam seminar.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Prof Dante Saksono Harbuwono juga turut memberikan pandangannya dalam seminar melalui rekaman video.
Ia mengatakan, UU yang diinisiasi DPR tersebut diharapkan dapat mengakselerasi pelaksanaan transformasi kesehatan di Indonesia dan menjawab berbagai macam masalah kesehatan, mulai dari pelayanan primer, pelayanan rujukan, ketahanan kesehatan, pendanaan, Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Prof. Dante selanjutnya memberikan contoh terkait masalah SDM kesehatan, di mana produksi tenaga kesehatan yang kurang, distribusi tidak merata, perizinan yang rumit, hingga rentannya kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan.
Menurutnya, masalah-masalah itu dapat diatasi dengan tiga manfaat UU Kesehatan. Pertama, jumlah dan distribusi tenaga kesehatan menjadi cukup dan merata. Kedua, proses perizinan akan menjadi cepat, mudah, dan sederhana. Ketiga, tenaga kesehatan yang rentan dikriminalisasi akan mendapatkan perlindungan hukum secara khusus.
Wamenkes kemudian menyoroti permasalahan hukum terkait meningkatnya kasus malapraktik yang mencapai 370 kasus pada tahun 2020.
Tingginya sengketa medis ini, menurut Prof. Dante, berpotensi menciptakan defensive medicine; yaitu kondisi ketika dokter menghindari melakukan prosedur medis berisiko tinggi, dengan tujuan menghindari tuntutan atau gugatan yang berlebihan dari pasien dan hakim.
Untuk mencegah hal tersebut, Prof. Dante memandang, hadirnya UU Kesehatan berupaya menyeimbangkan perlindungan hukum bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pasien.
“Ada dua upaya yang terdapat dalam UU Kesehatan. Pertama, adanya majelis yang berfungsi melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran pidana dan perdata. Upaya ini akan menghasilkan rekomendasi apakah terdapat ketidaksesuaian dengan standar profesi, standar pelayanan atau standar prosedur operasional. Kedua, mengutamakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme keadilan restoratif,” jelas Prof. Dante.
Velliana Tanaya, Dekan Fakultas Hukum (FH) UPH juga menyampaikan bahwa terbitnya aturan baru tersebut merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan, masyarakat umum, dan pemerhati hukum.
“Pembentukan undang-undang ini harus kita mengerti maksudnya dan bagaimana proyeksi ke depannya. Tidak hanya untuk dunia kesehatan, tetapi juga dunia hukum. Saya rasa sebagai mahasiswa dan akademisi hukum kita juga harus up to date dengan perkembangan-perkembangan ini,” kata Velliana.
Seminar Nasional ini menghadirkan tiga narasumber kompeten di bidangnya, yakni Prof Eka Julianta Wahjoepramono, selaku Dekan Fakultas Kedokteran UPH; Christine Susanti, Dosen FH UPH; dan Mahesa Paranadipa Maikel, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI).
Terkait UU Kesehatan ini, Prof. Eka menyoroti peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yaitu lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, serta menetapkan sanksi dalam penerapan disiplin profesi.
Prof. Eka mempertanyakan apakah MKDKI setara dengan lembaga peradilan. Karena, menurutnya, MKDKI harus menjadi lembaga independen yang cukup menangani masalah disiplin kedokteran.
“Apa benar kalau ada seorang polisi mau menangkap dokter karena pidana mesti lewat MKDKI? Berarti posisi MKDKI ini di atas pidana dan perdata? Apakah MKDKI lebih baik dari pengadilan? Itulah hal-hal yang perlu dikupas lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Christine menjelaskan bahwa berdasarkan UU Kesehatan, majelis disiplin bertugas memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran etik dan prosedur agar tenaga medis dan kesehatan tidak langsung berurusan dengan polisi, di mana prosedurnya, sebelum tenaga penyidik melanjutkan gugatan, mereka harus meminta rekomendasi dari majelis.
“Untuk itu, mari kita yang berkecimpung di bidang hukum perlu berhati-hati dalam menangani kasus pelanggaran yang melibatkan tenaga medis dan kesehatan. Penting untuk memahami undang-undang ini dengan baik. Jadi, jangan terburu-buru untuk menyelesaikan perkara hukum dengan cara-cara pidana,” tuturnya.
Lebih lanjut Mahesa menambahkan, perlindungan hukum bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan memang telah diatur dalam UU Kesehatan. Namun, masih diperlukan aturan turunan secara teknis agar dapat memberikan perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif.
“Keberadaan majelis disiplin harus diawasi dan dievaluasi untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan norma etik, disiplin, dan hukum,” tukasnya.