tirto.id - “Berkali-kali saya sampaikan di ruang publik. Akar masalahnya adalah penghasilan para pegawai negeri, para birokrat-birokrat itu kurang. Tidak realistis. Kalau saya memimpin pemerintahan, saya akan perbaiki kualitas hidup semua birokrat dengan realistis.”
Pernyataan itu disampaikan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam debat perdana Pilpres 2019, Kamis malam, 17 Januari. Hal tersebut ia katakan untuk menjawab pertanyaan moderator soal upaya menciptakan birokrasi yang bebas dari korupsi.
Jurus yang sama ia sampaikan untuk mengatasi korupsi akibat biaya politik biaya tinggi, dan mengatasi korupsi aparat penegak hukum. Prabowo menjanjikan akan menaikkan gaji polisi, jaksa, dan hakim hingga berlipat-lipat.
“Kami lipat gandakan gaji-gaji hakim, jaksa, dan polisi. Dengan demikian, kami berharap akan ada lembaga hakim, lembaga polisi, lembaga jaksa, tidak dapat dikorupsi,” kata Prabowo.
Menurut Prabowo, ketika gaji pejabat negara telah dinaikkan, ia baru akan menerapkan pengawasan ketat kepada mereka. Hal ini ia rasa ampuh untuk mengobati penyakit korupsi di Indonesia.
Gagasan itu ditentang calon presiden nomor urut 1 Joko Widodo. Ia katakan gaji pejabat dan aparatur sipil negara sudah mencukupi, terlebih lagi pemerintah telah meningkatkan tunjangan kinerja.
"Karena kami tahu gaji ASN kita, PNS kita saat ini menurut saya cukup. Dengan tambahan tunjangan kinerja yang sudah besar. Yang penting kalau menurut saya sekarang adalah perampingan birokrasi,” kata Jokowi.
Jokowi mengatakan, saat ini yang perlu didorong adalah sistem perekrutan melalui merit system alias berdasarkan kualifikasi dan kompetensi. Selain itu, Jokowi juga ingin menyederhanakan sistem partai sehingga pemilu menjadi murah.
Respons KPK dan Pegiat Antikorupsi
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan kedua capres masih normatif dan minim inovasi dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, saat ini masih banyak yang harus diperbaiki dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Misalnya, kata Saut, UU Tipikor baru mengakomodir 8 dari 24 rekomendasi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Padahal kesepakatan internasional ini sudah diratifikasi lewat UU Nomor 7 tahun 2006.
"UU Tipikor kita mau diapakan? Di sini peran pemimpin,” kata Saut kepada para pewarta, Jumat (18/1/2019).
Pegiat pemberantasan korupsi dari Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengkritisi ide Prabowo. Menurutnya peningakatan gaji pejabat negara tak bisa dibiarkan berjalan sendiri.
Semestinya, kata Feri, hal itu juga dibarengi dengan peningkatan pengawasan, transparansi, dan peningkatan sanksi.
Feri juga mengkritik konsep Jokowi. Menurut Feri, meskipun Jokowi telah menyebut poin-poin tersebut, tapi calon petahana itu tidak mengelaborasi poin-poin itu dengan lebih mendalam.
"Kalau Jokowi seharusnya sudah bicara apa saja yang sudah dia lakukan. [Misal] Meritokrasi, punish and reward bagaimana yang mau diterapkan? Apa kendalanya? atau sudah dilaksanakan selama ini?,” kata Feri kepada reporter Tirto.
Terkait pengawasan internal, kata Feri, salah satu akar masalah korupsi di daerah adalah Inspektorat Daerah berada di bawah kendali kepala daerah. Padahal dalam berbagai kasus, justru kepala daerah itu yang jadi titik puncak dari korupsi itu.
Hal itu akhirnya berimbas pada tidak efektifnya langkah pencegahan korupsi lainnya, seperti e-procurement atau sistem pengadaan barang dan jasa berbasis online.
Salah satu contohnya, Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan yang mengakali e-procurement agar bisa memberikan proyek kepada kontraktor yang telah memberi “fee” kepadanya.
"Transparansi dengan sistem elektronik memang terjadi, tetapi tidak menyebabkan transaksi di balik layar hilang. Hal itu karena pengawasan internal bermasalah. Padahal keterbukaan dan pengawasan harus sejalan,” kata dia.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menilai Prabowo menyederhanakan masalah korupsi menjadi sekadar masalah perut.
Ia bahkan menganggap Prabowo telah menjadikan masalah korupsi hanya sebagai isu populis untuk meraih elektabilitas. “Menaikkan gaji ini juga bukan perkara kesejahteraan, tapi menaikkan elektabilitas,” kata Zainal.
Zainal mengatakan, perkara korupsi bukan melulu urusan gaji, melainkan juga soal watak serakah dari sang pejabat negara. Ia mencontohkan korupsi-korupsi yang terjadi di kalangan hakim, padahal gaji hakim sudah tinggi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, gaji pokok hakim berada di kisaran Rp2,06 juta hingga Rp4,97 juta. Namun, tunjangan berdasarkan beleid yang sama berkisar di angka Rp8,5 juta hingga Rp40,2 juta.
Namun, kenyataannya setidaknya sudah ada 24 hakim yang jadi pasien KPK karena terlibat kasus korupsi. Terakhir, KPK mentersangkakan dua orang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena suap.
“Kalau udah korupsi karena serakah, gaji setinggi apa pun, ya bakal korupsi juga,” kata Zainal.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz