tirto.id - Elang bondol alias bald eagle--bald di sini artinya bukan “bondol/botak”, melainkan berkepala putih--merupakan burung kebanggaan Amerika Serikat. Elang bondol ini bernama Latin Haliaeetus leucocephalus, berbeda dengan elang bondol maskot Jakarta yang bernama Haliastur indus.
Perannya sebagai burung pemangsa menempatkannya pada posisi teratas dalam piramida makanan. Keberadaannya menunjukkan suatu wilayah atau bioma tertentu memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah makanan. Keperkasaan dan umurnya yang panjang menjadi alasan bagi The Continental Congress pada 1782 untuk memilih burung gagah penjaga puncak-puncak pergunungan ini sebagai simbol nasional Amerika Serikat.
Tetapi 200 tahun kemudian, sarang elang bondol dari semula diperkirakan berjumlah ratusan ribu pada Era Revolusi, hanya tersisa sekitar 480 sarang pada 1960-an. Perburuan liar, aktivitas industri yang meracuni sumber air dengan limbah minyak dan timbal, serta hancurnya habitat, ditengarai sebagai faktor penyebab turunnya populasi elang bondol. Dan setelah Perang Dunia II, penggunaan insektisida DDT secara masif menjadi penyebab utama merosotnya populasi elang bondol.
DDT menyebabkan kesuburan elang bondol menurun sehingga banyak elang betina menjadi steril, atau menghasilkan telur dengan cangkang yang rapuh. DDT dilarang di Amerika Serikat pada 1972 tetapi belum cukup untuk mengembalikan populasi elang bondol. Baru pada 1973, Kongres menyetujui Endangered Species Act (ESA) dan ditandatangani Presiden Nixon pada tahun itu juga.
Pada 1978, elang bondol dimasukkan dalam daftar hewan yang terancam punah. Setelah upaya yang panjang, elang bondol dikeluarkan dari daftar hewan yang terancam punah pada 2007 dan jumlah sarangnya berhasil mencapai 14.000 pada 2012.
Kisah Serigala Merah
Serigala merah adalah kisah lain lagi. Di wilayah tenggara Amerika Serikat, serigala merah jamak ditemukan bersama kawanannya. Tetapi pada pertengahan 1900-an, program pengendalian predator yang dilakukan secara agresif, kawin silang dengan koyote, dan degradasi habitat menyebabkan populasi serigala merah turun drastis. Segelintir serigala merah yang tersisa di alam diambil untuk dikembangbiakkan. Serigala merah pun dinyatakan punah di alam pada 1980.
Pada 1982, Fish and Wildlife Service Amerika Serikat melakukan sebuah percobaan pembiakkan pada populasi serigala merah dengan landasan hukum Endangered Species Act. Upaya tersebut berhasil ketika pada 1987 sekawanan serigala merah dilepasliarkan di Alligator River National Wildlife Refuge di Carolina Utara. Area pemulihan habitat serigala pun diperluas, meliputi tiga taman nasional, area latihan pengeboman milik Departemen Pertahanan, wilayah-wilayah milik negara dan properti pribadi, sehingga total areanya mencapai 1,7 juta hektare.
Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, pelepasliaran serigala merah di Carolina Utara dianggap sukses dengan 120 serigala pada 2001 dan mencapai puncak pada 2006 dengan 130 serigala yang terbagi dalam 20 kawanan, tersebar di habitat seluas 1,7 hektare. (Adkins, Collette. Return for America’s Red Wolves. A Roadmap for Reintroducing the Nation’s Most Endangered Mammal. Center for Biological Diversity, Oktober 2019, hlm. 2).
Tetapi pada 2019, jumlahnya di alam liar kembali ke angka 14. “Serigala merah dapat kembali lagi berlalu-lalang di hutan luas ini jika pemerintahan Trump bersedia membuat mereka ada di alam lagi,” ujar Collette Adkins, Direktur Konservasi Karnivora, Center for Biological Diversity, dalam sebuah rilis pers tertanggal 29 Oktober 2019.
Pemerintahan Trump membuat perubahan-perubahan besar dalam pelaksanaan ESA yang difinalkan pada 12 Agustus 2019. Revisi yang ia lakukan melemahkan aspek perlindungan pada hewan yang terancam dengan memasukkan analisis ekonomi ketika hendak memutuskan apakah suatu spesies perlu dilindungi atau tidak. Trump menghapus klausul yang secara gamblang melarang pertimbangan dampak ekonomi pada daftar spesies.
Trump juga menetapkan jangka waktu kapan ancaman terhadap suatu spesies diperkirakan akan terjadi dan menetapkan bahwa perlindungan hanya diberikan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan tersebut. Penetapan jangka waktu perlindungan ini menghilangkan bahaya ancaman perubahan iklim yang tengah dan pasti terjadi di masa depan tetapi tidak dapat ditetapkan jangka waktunya.
Endangered Species Act
Perubahan yang dilakukan pemerintahan Trump pada Endangered Species Act merupakan ancaman bagi kemajuan selama lebih dari empat dekade sejak undang-undang ini ditandatangani Presiden Richard Nixon pada 28 Desember 1973, tepat hari ini 48 tahun lalu.
Di hari penandatanganan ESA, Presiden Nixon menyatakan “tidak ada yang lebih berharga dan lebih layak untuk dilestarikan selain beragam kehidupan hewan yang menjadi berkat bagi negara kita... dan merupakan bagian penting atas peninggalan yang akan kita wariskan sebagai orang Amerika.”
ESA dijalankan oleh dua badan federal, yakni The National Marine Fisheries Service (NMFS) untuk spesies-spesies laut dan The Fish and Wildlife Service (FSW) untuk semua spesies selain di laut. Ketika suatu spesies diajukan untuk dilindungi, penilaian dan penentuan apakah suatu spesies masuk dalam daftar yang dilindungi pada dasarnya hanya mendasarkan pada data-data ilmiah. Dampak sosial dan ekonomi baru dipertimbangkan ketika sudah berada pada tahap rencana pemulihan setelah suatu spesies masuk daftar perlindungan. Rencana pemulihan meliputi penentuan area habitat kritis untuk spesies tersebut. Keseluruhan proses ini dapat memakan waktu bertahun-tahun.
Konsep “habitat kritis” merupakan salah satu hal baru yang diperkenalkan ESA pada 1973. Pada masa itu sudah dipahami bahwa penyebab utama kepunahan adalah degradasi atau hilangnya habitat. Karena itulah ESA selalu menyiapkan wilayah untuk pemulihan suatu spesies. Tujuan ESA lebih dari sekadar membuat daftar hewan yang dilindungi dan mencegahnya dari kepunahan, melainkan memastikan masa depan spesies-spesies yang dilindungi cukup aman untuk pulih di alam sehingga eksistensi mereka tidak lagi memerlukan perlindungan undang-undang.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi