Menuju konten utama

Upaya Membuat Koruptor Malu: Pakai Rompi Oranye hingga Diborgol

Aktivis ICW menilai pemberlakuan aturan tahanan KPK diborgol sebagai langkah penting untuk membuat efek malu bagi para koruptor.

Upaya Membuat Koruptor Malu: Pakai Rompi Oranye hingga Diborgol
Tersangka kasus tindak pidana korupsi yang telah ditahan oleh KPK diborgol saat akan menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/1/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menerapkan aturan baru terhadap tahanan kasus korupsi, pada Rabu (2/1/2019). Dengan aturan baru ini, selain mengenakan rompi oranye, tangan mereka juga akan diborgol bila keluar dari rumah tahanan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan aturan baru ini diberlakukan komisi antirasuah dengan alasan demi keamanan.

“KPK meningkatkan pelaksanaan pengamanan terhadap para tahanan KPK. Aturan tentang pemborgolan untuk tahanan yang keluar dari rutan mulai diterapkan,” kata Febri lewat keterangan tertulisnya, Rabu (2/1/2019).

Febri mengatakan, aturan ini diberlakukan karena tahanan KPK seringkali harus keluar rutan, di antaranya untuk menjalani pemeriksaan di KPK, mengikuti persidangan baik sebagai terdakwa maupun saksi, atau berobat.

Selain itu, kata Febri, Pasal 12 ayat (2) Peraturan KPK Nomor. 01 Tahun 2012 tentang Perawatan Tahanan pada Rumah Tahanan KPK pun mengatur bahwa: “dalam hal tahanan dibawa ke luar Rutan, dilakukan pemborgolan.”

“Hal ini dikategorikan dalam pengaturan tentang pemeliharaan keamanan dan tata tertib Rutan,” kata Febri menambahkan.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengapresiasi langkah KPK ini. Ia menilai pemborgolan tahanan sebagai langkah penting untuk membuat efek malu bagi para koruptor.

Selain itu, kata Adnan, pemborgolan juga memberikan pesan bahwa pelaku korupsi setara dengan pelaku kejahatan lainnya.

“Kalau bicara malu, kan, lebih bicara merasa direndahkan saat proses hukum, sementara, kan, sebelumnya para pejabat ini memiliki status sosial yang tinggi,” kata Adnan kepada reporter Tirto.

Meski begitu, Adnan menilai, aturan ini belum cukup untuk membuat para koruptor “jera”. Sebab, kata Adnan, untuk membuat efek jera diperlukan aksi nyata dari berbagai entitas, mulai dari pemerintah, legislator, hingga penegak hukum lain, selain KPK.

Salah satunya, Adnan mencontohkan, realisasi pemiskinan terhadap terpidana korupsi. Aktivis ICW ini menilai, hal ini menjadi domain DPR bersama pemerintah untuk merumuskan aturannya.

Selain itu, kata Adnan, penegak hukum lainnya, seperti Polri dan Kejaksaan juga mesti menggenjot penanganan seluruh perkara korupsi. Termasuk seluruh kejahatan korupsi harus dilanjutkan ke kasus “Tindak Pidana Pencucian Uang.”

“Sanksi sosial itu, kan, harus dilihat dari sesuatu yang lebih sistemik dan itu artinya bukan hanya KPK yang kemudian punya tanggung jawab soal hal itu. Karena KPK itu, kan, hanya entitas kecil dari keseluruhan penegakan hukum,” kata Adnan.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Acara Pidana dari Universitas Jenderal Soediman Hibnu Nugroho beranggapan tidak ada hukum yang dilanggar KPK dari aturan baru ini.

Hibnu menjelaskan, secara hukum memang diperlukan dua alasan bagi penegak hukum untuk melakukan pemborgolan.

Pertama ialah alasan objektif, yakni pemborgolan hanya dilakukan terhadap tahanan tindak pidana yang dapat ditahan, atau dengan kata lain ancaman hukumannya mencapai 5 tahun penjara.

Alasan kedua, kata Hibnu, ialah alasan subjektif, yakni ada kekhawatiran dari penegak hukum tahanan akan melarikan diri.

“Pertanyaannya dia akan melarikan diri atau tidak?" kata Hibnu kepada reporter Tirto.

Hibnu menilai jawaban itu kembali lagi kepada subjektivitas penegak hukum. Artinya, dalam konteks ini KPK berhak untuk menerapkan aturan baru: tahanan KPK diborgol jika keluar dari rutan.

Upaya KPK Membuat Koruptor “Jera”

KPK memang beberapa kali menyematkan "aksesoris" pada pasien-pasiennya. Bermula pada 2012, Abraham Samad yang saat itu menjabat Ketua KPK menerapkan penggunaan “jaket” bagi tahanan KPK.

Jaket yang digunakan berwarna putih dengan logo KPK di bagian dada kanan.

Namun, penggunaan jaket berwarna putih ini sempat menimbulkan sensasi, saat mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Goeltom [tahanan KPK saat itu] justru memadukan jaket itu dengan ikat pinggang besar berwarna hitam.

Perpaduan itu malah membuatnya terlihat modis.

Setahun berselang, tepatnya pada 24 Mei 2014, KPK mengubah jaket berwarna putih dengan 4 model jaket.

Pertama baju oranye berlengan untuk kegiatan sehari-hari. Kedua rompi oranye untuk mengikuti persidangan. Ketiga baju hitam untuk olahraga. Keempat baju oranye tanpa lengan bagi koruptor yang tertangkap tangan.

Kemudian “aksesoris” bagi koruptor menjadi lebih sederhana, yakni hanya penggunaan “rompi oranye” tanpa lengan. Rompi ini digunakan tahanan saat hendak diperiksa di Gedung KPK atau menjalani sidang.

Respons Tahanan

Menanggapi aturan baru ini, tersangka kasus suap kerja sama PLTU Riau-1 Idrus Marham mengaku tidak keberatan asalkan aturan ini memiliki dasar hukum. Ia pun mengingatkan, pemborgolan ini mesti jadi bagian dari keseluruhan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Apa yang dilakukan KPK soal borgol, saya kira bagian dari format penanganan masalah-masalah korupsi dan juga masalah-masalah hukum lain,” kata Idrus, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (2/1/2018).

Hal senada diungkapkan terdakwa skandal PLTU Riau-1 lainnya, Eni Maulani Saragih. Ia mengaku tidak terbebani dengan aturan ini.

“Kalau peraturan seperti itu ya, harus jalani, saya nikmati saja memakai baju orennye seperti Jakmania,” kata polikus Golkar ini.

Baca juga artikel terkait TAHANAN KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz