Menuju konten utama

Upaya Manusia Bersahabat dengan Gempa

Gempa melanda Bumi hampir terjadi setiap tahun, bulan, bahkan hari. Manusia mencoba mencatat peristiwa gempa dengan segala daya rusaknya. Ini bagian mencari jawaban ikhwal sebuah bencana akan tiba di masa mendatang, terutama yang berskala besar.

Seorang pria berjalan di tengah reruntuhan bangunan setelah terjadi gempa di Pescara del Tronto, Italia. [ANTARA FOTO/REUTERS/Remo Casilli]

tirto.id - Gempa besar kembali terjadi, kali ini di Italia. Sejumlah kota dilanda gempa cukup besar hingga 6,2 skala richter. Gempa kali ini disebut-sebut yang terbesar sejak 2009 yang memakan korban jiwa 300 orang. Pada Mei 2012, gempa juga melanda Emilia-Romagna Italia yang menyebabkan 23 orang meninggal.

Sama seperti Indonesia, Italia termasuk negara yang sering diguncang gempa. Negara lain yang juga langganan gempa adalah Jepang. Gempa Maret 2011 lalu berkekuatan 8,9 skala richter yang dibarengi tsunami dahsyat telah merusak beberapa kota pesisir di Jepang.

Jepang adalah negara yang sangat maju dalam teknologi. Mereka sudah punya alat pendeteksi gempa yang sangat canggih. Karena itulah mereka akhirnya bisa “bersahabat” dengan gempa. Di beberapa negara yang sudah “akrab” dengan gempa umumnya juga sudah memiliki alat pendeteksi gempa. Sayangnya, tidak semua gempa bisa terdeteksi, bahkan oleh sebuah alat yang canggih sekalipun.

Statistik Gempa

Kedatangan sebuah gempa dari yang skala paling ringan sampai berat atau besar yang terjadi di dunia tak akan pernah terbayangkan. Sebuah lembaga riset Amerika Serikat (AS), United States Geological Survey (USGS) memperkirakan ada jutaan kali gempa yang terjadi dalam setiap tahun di penjuru dunia. Dari jumlah yang super banyak itu, tak semuanya terdeteksi oleh manusia karena lokasi gempanya di daerah terpencil dan getarannya lemah.

The National Earthquake Information Center (NEIC) mencatat rata-rata ada sekitar 50 gempa bumi setiap hari (data hingga 2012) yang terekam atau sekitar 20.000 gempa dalam setahun. Pencatatan manusia terhadap gempa makin hari makin baik karena banyaknya alat seismograf yang terpasang di berbagai penjuru dunia.

Data USGS mencatat sejak 2000-2012 gempa skala besar dengan kekuatan 8-9,9 skala richter yang terjadi di dunia relatif konstan berada dalam rentang 1-2 kali terjadi dalam setahun. Gempa besar banyak terjadi pada 2007 hingga 4 kali. Saat Aceh dilanda gempa dahsyat 9,1 skala richter dan tsunami pada 2004, pada tahun yang sama ada satu peristiwa gempa dengan kekuatan relatif sama.

Selama kurun waktu 12 tahun, jumlah gempa yang terjadi terendah pada 2009 yang tercatat ada 14.825 kali gempa. Kejadian gempa terbanyak justru terjadi pada 2004 yang mencapai 31.194 kali gempa. Intensitas gempa yang melanda dunia setiap tahun berbanding lurus terhadap dampak korban jiwa yang ditimbulkan. Pada 2004 diperkirakan ada 228.802 orang meninggal akibat gempa besar.

Yang perlu dikhawatirkan adalah adanya tren soal intensitas gempa per tahun yang tercatat di dunia makin meningkat. Masih menggunakan data USGS, sejak 1990-1999 atau kurun waktu 9 tahun jumlah gempa yang terjadi pada periode ini tak ada yang sampai menembus 30.000 kali gempa. Angka tertinggi gempa maksimal 21.000 kali dan terendah 16.000-an kali. Namun bisa jadi karena faktor pencatatan gempa yang tak sebaik dibandingkan masa kini.

Dari sisi jumlah korban pun terlihat adanya tren peningkatan. Pada kurun 1990-1999, jumlah korban jiwa terbanyak hanya 52.000 orang yang terjadi pada 1990 justru di saat intensitas gempa di dunia tercatat lebih rendah. Statista mencatat dalam kurun waktu 116 tahun sejak 1900-2016, tercatat ada 10 negara yang paling terkena dampak gempa bumi berdasarkan jumlah korban jiwa.

Cina menduduki peringkat pertama dengan korban jiwa hingga 876.478 jiwa disusul oleh Haiti dengan jumlah korban jiwa 222.576 orang. Indonesia di peringkat ke-3 dengan kematian akibat gempa 198.487 orang, dibayangi oleh Jepang di peringkat ke-4. Italia juga masuk daftar, di peringkat ke-8 dengan 115.645 korban jiwa. Jumlah korban jiwa ini juga dipengaruhi seberapa besar daya gempa terjadi.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/08/25/statistikgempa.jpg" width="860" /

Gempa Besar

Data USGS juga mencatat sejak 2012-2014 terjadi gempa skala besar di dunia, pada April 2012 terjadi gempa besar 8,6 skala richter di pantai barat Sumatera Utara, kemudian setahun berikutnya pada Mei terjadi gempa besar 8,3 skala richter di Laut Okhotsk, Pasifik, dan pada April 2014 terjadi gempa besar di Chili, setelah itu menyusul pada 2015 terjadi gempa besar di Nepal.

Ketakutan terhadap kematian akibat gempa skala besar menjadi tantangan bagi umat manusia. Sejak gempa Aceh 12 tahun lalu, para ilmuwan mencoba meraba-raba soal potensi gempa skala besar di masa mendatang. Secara statistik, pasca 2004 memang gempa besar terjadi hampir setiap tahun bahkan lebih dari satu kali per tahun.

Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Are large earthquakes increasing in frequency?” di earthsky.org pada 2012 lalu, ada studi yang dilakukan oleh Scripps Institution of Oceanography dan University of California yang mencoba menganalisa peristiwa gempa termasuk gempa besar secara historis dalam kurun waktu 1900-2011.

Tercatat adanya gempa besar yang tak seperti biasanya pada kurun waktu 1950 hingga 1965, juga terjadi penurunan aktivitas seismik dalam rentang 1996-2003. Hasilnya dari hitung-hitungan matematika yang dilakukan ilmuwan, tak ada bukti yang menunjukkan peningkatan aktivitas seismik yang signifikan sejak 2004.

“Ilmuwan menyimpulkan bahwa frekuensi gempa bumi skala besar tidak lebih tinggi pada saat ini dibandingkan yang terjadi pada masa lalu,” kata Deanna Conners, seorang ilmuwan lingkungan dikutip dari earthsky.org.

Selain ilmuwan yang mencoba “menenangkan” kegundahan umat manusia terhadap gempa, ada juga yang berpendapat cukup mengerikan. Media Time, tahun lalu menulis soal potensi kerusakan besar bakal menimpa tiga kota besar di dunia yaitu Tehran, Istanbul, dan Los Angeles akibat gempa besar. Namun, tak ada yang bisa memastikannya itu benar-benar akan terjadi.

Manusia memang hanya mampu melakukan hitung-hitungan apa yang akan terjadi di masa depan, tapi tak ada yang tahu pasti kapan dan bagaimana gempa menghantam. Yang bisa dilakukan manusia hanya menyiapkan kemungkinan terburuk dari potensi gempa yang akan datang di masa depan. Peristiwa sejarah memang tak akan terulang, tapi pesan sejarah bisa menjadi pegangan untuk diulang oleh manusia agar lebih waspada.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti