tirto.id - Sejumlah negara mulai merelaksasi hingga membuka kebijakan lockdown setelah melaporkan penurunan kasus di wilayah mereka.
Cina misalnya, yang sejak 9 April lalu telah membuka kembali Wuhan, kota yang menjadi titik pertama infeksi virus Corona jenis baru, COVID-19.
Selain Cina, negara Asia Timur lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan juga mulai membuka beberapa kota yang sebelumnya terdampak. Hal serupa juga dilakukan sejumlah negara di Eropa yang kembali menggulirkan kegiatan ekonomi, hiburan dan olahraga yang sebelumnya “terkunci”.
Meski demikian, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan “puncak kedua” bagi negara yang mulai menghentikan pembatasan atau pelonggaran lockdown karena laporan penurunan kasus. Peringatan ini disampaikan WHO pada Senin (25/5/2020).
Mengutip Channel News Asia, WHO meyakini dunia kini masih menghadapi gelombang pertama COVID-19.
Kepala kedaruratan WHO, dr Mike Ryan, dalam sebuah diskusi daring mencatat kasus-kasus menurun di banyak negara sebenarnya masih akan meningkat seperti di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, dan Afrika.
Menurut Ryan, epidemi sering datang dalam gelombang. Artinya negara-negara yang melaporkan penurunan kasus atau sudah mereda, kemungkinan akan mengalami gelombang kedua Corona setidaknya di akhir tahun.
Adapula kemungkinan bahwa tingkat infeksi virus Corona dapat naik lagi lebih cepat jika terlalu dini menghentikan pembatasan atau penanganan gelombang pertama COVID-19.
Mengantisipasi terjadinya gelombang kedua, yang diprediksi dapat lebih buruk, sejumlah negara melakukan berbagai simulasi sebagai langkah pencegahan.
Upaya Cina Antisipasi Gelombang Kedua COVID-19
Cina telah meningkatkan langkah-langkah untuk mencegah kasus-kasus COVID-19 gelombang kedua dari klaster baru maupun diimpor kembali dari negara-negara lain yang terkena virus.
Mereka masih membatasi warganya untuk berkerumun di tempat rekreasi maupun pusat perbelanjaan. Selain itu, mereka juga menerapkan aturan bagi warganya untuk tidak keluar kota. Jika dilakukan, maka orang itu akan dikarantina selama berbulan-bulan.
Untuk pabrik dan kantor, Cina memberlakukan aturan ketat. Seperti wajib memberikan masker kepada pegawai,pengecekan suhu tubuh berkala, membuka jendela setiap 30 menit, hingga pelarangan menggunakan mesin sidik jari.
Pabrik-pabrik, diberlakukan kebijakan semi-lockdown. Pemerintah melakukan pemantauan ketat, para pekerja dilarang keras meninggalkan pabrik tanpa izin.
Upaya Korea Selatan Antisipasi Gelombang Kedua COVID-19
Sementara di Korea Selatan, usai sebelumnya melonggarkan pembatasan karena kasus Corona menurun, kini mereka kembali terapkan pembatasan.
Museum, taman, dan galeri seni semuanya akan ditutup kembali sejak Jumat (28/05/2020) selama dua minggu, demikian laporan Menteri Kesehatan Park Neung-hoo.
Dikutip dari The Guardian, langkah ini mengikuti peningkatan harian terbesar kasus Corona dalam 53 hari usai Korsel sebelumnya tampak berhasil kendalikan wabah Corona.
Pembatasan ini baru akan berlaku di wilayah Seoul, rumah bagi setengah dari 51 juta penduduk Korea Selatan, hingga 14 Juni.
Warga Seoul juga disarankan untuk menghindari pertemuan sosial atau pergi ke tempat-tempat ramai, termasuk restoran dan bar. Tempat-tempat ibadah juga diminta ekstra waspada dengan tindakan karantina.
Upaya Selandia Baru Antisipasi Gelombang Kedua COVID-19
Jika Cina dan Korea memberlakukan kebijakan sebagai langkah antisipasi gelombang kedua COVID-19, Selandia Baru dan beberapa negara lain menggunakan data sekuensing genom.
Sekuensing genom merupakan metode paling langsung untuk mendeteksi mutasi, seperti polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan variasi jumlah salinan (CNV) pada suatu organisme.
Tujuannya untuk menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui.
Para ilmuwan di sejumlah negara menggunakan data sekuensing genom untuk melacak infeksi baru. Mereka menilai cara itu bisa membantu mencegah timbulnya gelombang kedua virus Corona.
Para peneliti mengatakan, bahwa genomik akan sangat penting untuk melacak dan mengendalikan wabah COVID-19 dengan cepat.
Penelitian ini diklaim sudah menunjukkan bahwa wabah cenderung lebih pendek dan lebih kecil ketika genomik digunakan untuk membantu pelacakan kontak.
Melansir Nature, DNA virus yang beredar di berbagai daerah berangsur-angsur berevolusi ketika menyebar ke seluruh dunia.
Dengan membandingkan urutan genom, peneliti dapat dengan cepat mengesampingkan kemungkinan jalur transmisi jika dua urutan tidak cocok atau menghubungkan kasus-kasus yang cocok.
Di Selandia Baru, para ilmuwan sejauh ini mengurutkan 25 persen dari 1.154 kasus yang dilaporkan di negara tersebut.
Pemimpin bioinformatika di Institut Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Lingkungan Selandia Baru, Joep de Ligt mengatakan, ia mengincar lebih dari 70 peersen sekuens genom untuk mendapatkan gambaran yang paling lengkap.
Upaya Australia Antisipasi Gelombang Kedua COVID-19
Sedangkan di Australia sejauh ini telah mengurutkan genom SARS-CoV-2 sekitar tiga perempat dari sekitar 1.700 kasus negara bagian. Jumlah pengurutan itu dianggap sebagai cakupan pengurutan paling komprehensif di dunia untuk wabah penyakit menular.
Selain Selandia Baru dan Australia, para ilmuwan di Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara lain juga mengurutkan genom SARS-CoV-2.
Namun, mereka masih gagal melakukan pelacakan kontak dengan menggunakan sekuens genom karena epidemi di negara itu berlangsung dan jumlah kasusnya tinggi.
Dengan kasus yang lebih banyak, Konsorsium COVID-19 Genomics Inggris telah mengurutkan 20.000 genom virus, mewakili hampir 10 persen dari kasus yang dikonfirmasi.
Meski belum optimal untuk mengendalikan, konsorsium berharap sekuens genom dapat mendukung penyelidikan epidemiologi.
Bioinformatika di University of Birmingham, Nick Loman mengatakan menggunakan genomik sebagai bagian dari respons terhadap wabah memiliki keterbatasan.
Dia berkata pengawasan genomik mengandalkan pengujian diagnostik yang luas untuk menangkap urutan di tempat pertama.
Sementara di Amerika Serikat, seperti dilansir First Post, otoritas kesehatan meyakini sekuensing genom dapat membantu menumpulkan gelombang kedua infeksi pada akhir tahun ini.
Sehingga, mereka mulai menganalisis materi genetik virus Corona untuk memungkinkan melacak asal-usul setiap wabah dalam beberapa bulan mendatang.
Urutan genom yang diperoleh kemudian ke basis data daring global agar memungkinkan para peneliti dari negara lain mengamati perbedaan antara setiap sampel guna melacak penyebaran wabah.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari