Menuju konten utama

Unggul di Lingkungan yang Tak Berpihak

Helen Keller sudah tiada, tetapi inspirasi yang diberikannya kepada dunia bergema selamanya. Perempuan-perempuan hebat terus muncul sebagai pemenang, meski dunia kerap tak berpihak kepada mereka.

Unggul di Lingkungan yang Tak Berpihak
Ilustrasi women empowerment. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Perkataan populer, yang mendengung di mana-mana dan diyakini banyak orang, acapkali mesti diperiksa kembali. Misalnya: “Di balik seorang pria sukses, ada perempuan hebat.” Sekilas pernyataan itu tampak seperti pujian bagi kaum perempuan, tetapi tidak. Ia justru tumbuh dari kultur yang menganggap perempuan selayaknya hanya berdiri di belakang, kultur yang merawat ketakadilan: sebaik-baiknya wanita ialah wanita yang menyukseskan pria.

Padahal, sejarah mencatat banyak kisah perempuan yang membawa diri mereka sendiri ke puncak. Mereka telah memimpin dan mempengaruhi dunia masing-masing, sebagaimana para tokoh pria, dan mereka menyusun “tradisi” kesuksesan yang panjang dari masa ke masa. Siapa bilang perempuan tak bisa berada di depan? Kiprah mereka adalah bukti yang muskil dibantah.

Kisah-kisah itu sepatutnyalah diberi tempat serta dibicarakan lebih banyak, sebagai pengingat bahwa perempuan bisa menjadi lebih dari sekadar pendamping, juga untuk menginspirasi perempuan-perempuan generasi mendatang—generasi yang dapat berkata dengan bangga: setelah seorang perempuan hebat, akan lahir perempuan hebat lainnya.

Membangun Seperti seorang Perempuan

Kehadiran wanita dalam bidang konstruksi adalah anomali. Hasil penelitian Ranstad, perusahaan Cina yang bergerak di bidang HR Jasa Industri, seakan mengamini anggapan itu: satu dari lima perusahaan (konstruksi) tidak pernah mempekerjakan wanita dalam jabatan senior; dan separuh dari semua perusahaan tersebut sama sekali tidak memiliki manajer wanita.

Tak hanya itu. Satu dari empat responden wanita meyakini bahwa mereka telah diabaikan dalam sebuah proyek atau promosi sekalipun layak memperolehnya dan 28% responden wanita pernah mendapat komentar sekaligus perlakuan tidak pantas dari kolega laki-laki. Ranstad menyimpulkan hambatan yang dialami wanita di bidang konstruksi kerap timbul akibat ketimpangan gender.

“Bila Anda berada di lingkungan yang mayoritas pria, tentu para pria itu akan punya peluang lebih untuk dipromosikan,” kata Juliette Stacey, Chief Executive Mabey, perusahaan spesialis jembatan dan jasa teknik bertaraf internasional.

Namun demikian, hasil survei Ranstad maupun pendapat Stacey tampak tak berlaku bagi PT. MRT Jakarta. Sejak Agustus 2016, perusahaan yang dipercaya menggarap megaproyek Mass Rapid Transit (MRT) pertama di Indonesia ini mempercayakan posisi strategis Direktur Konstruksi kepada Silvia Halim, wanita kelahiran Jakarta 35 tahun silam.

Bekerja di bidang yang didominasi laki-laki, kehadiran Silvia Halim jelas mencolok. Selaku Direktur Konstruksi, tugas dan tanggungjawab yang diemban lulusan Teknik Sipil Nanyang Technological University (NTU) Singapura ini tidaklah sepele: ia harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum diambil alih oleh direktorat operasi dan pemeliharaan.

Dengan bekal pengalaman 12 tahun bekerja sebagai ahli konstruksi di luar negeri, Silvia percaya timnya mampu merampungkan pekerjaan sesuai jadwal. "Secara teknis, tantangannya lebih berat di Singapura. Kondisi urban dan infrastuktur di sana lebih kompleks ketimbang di Jakarta. Jadi tingkat kehati-hatiannya lebih tinggi,” katanya.

Sebelum bergabung dengan PT. MRT Jakarta, Silvia sudah biasa terlibat dalam berbagai proyek pembuatan infrastruktur bawah tanah dan tumpang-tindih di Singapura. Jam terbangnya juga mencengangkan: berpengalaman menangani berbagai proyek mulai dari tahap perencanaan, desain, konstruksi, hingga operasi.

"Saya terakhir kerjakan, yang terbesar, adalah road tunnel. Bukan yang 100 meter, tapi tiga road tunnel di simpang jalan paling sibuk di Singapura. Di bawahnya ada MRT yang beroperasi, jadi tantangan teknisnya lebih tinggi," jelasnya.

Menjadi satu-satunya wanita di jajaran direksi, Silvia yakin bahwa pekerjaan sama sekali tidak memandang jenis kelamin. “Jangan melakukan sesuatu dengan cara berbeda hanya karena kita perempuan. Itu namanya membatasi diri. Berpikirlah secara objektif dan bersikaplah profesional,” tegasnya.

Transportasi publik massal seperti MRT adalah solusi paling masuk akal untuk mengurangi kepadatan kendaraan di jalan. Sebagai gambaran, menurut situs jakartamrt.co.id, untuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI saja MRT Jakarta punya daya angkut harian 173.400 penumpang.

Distribusi pengguna jalan—di atas kertas—akan menurunkan waktu tempuh pada jam-jam sibuk. Ada harapan besar: budaya transportasi Jakarta akan membaik dengan keberadaan MRT. Dalam jangka panjang, hal itu dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kota serta peningkatan kualitas hidup warga. Pembangunan MRT juga membuka lapangan kerja. Ada sekitar 48 ribu pekerjaan baru selama periode konstruksi.

Per 30 Juni 2018, proyek pembangunan MRT telah mencapai 94,69%. Rinciannya: pembangunan di bawah tanah mencapai 96,87%, layang 92,54%, dan pemasangan railway dan trackwork mencapai 85,79%.

Infografik Women Empowerment

Penembus Batas

Winston Churchill pernah melayangkan pujian sekaligus kekagumannya terhadap Helen Keller. “Ia adalah perempuan terbesar di zaman kita,” katanya.

Pujian Churchill tidaklah berlebihan. Helen Keller, yang menjadi tunanetra sekaligus tunarungu sejak kanak-kanak, punya tempat khusus dalam sejarah umat manusia lantaran kegigihannya untuk tidak tunduk pada keterbatasan. “Aku jarang memikirkan keterbatasanku dan itu tak pernah membuatku bersedih,” tulis Keller dalam biografinya The Story of My Life.

Ditulis pada 1903, buku tersebut membuat banyak orang terpana. Ia mengisahkan capaian-capaian Keller yang luar biasa: tunanetra sekaligus tunarungu pertama yang meraih gelar sarjana, berkeliling dunia untuk mengobarkan perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan dan kaum pekerja, juga peperangan dan penjajahan. Karenanya, tak heran bila penulis terkemuka Amerika, Mark Twain, menempatkan Helen Keller sebagai tokoh abadi seperti halnya Julius Caesar, Alexander The Great, Napoleon, Homer, William Shakespeare, dan lain-lain.

Gaung inspirasi Keller masih bisa kita rasakan lewat orang-orang yang datang dari generasi berikutnya. Salah satunya Angkie Yudistia—seorang tunarungu yang menjadi finalis Abang None Jakarta Barat 2008. Bertahun-tahun menggunakan alat bantu dengar, Angkie perlu memperhatikan gerak bibir lawan bicaranya untuk mencerna ungkapan. Namun, ia tak menyerah. Pada 2011, Angkie dan sejumlah rekannya mendirikan Thisable Enterprise (TE), lembaga yang membantu para penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan.

“Penyandang disabilitas kerap sulit mendapatkan pekerjaan. Sangat sedikit perusahaan yang mau mempekerjakan mereka,” katanya.

Pelan tapi pasti, upaya Angkie membuahkan hasil. Salah satunya lewat kerjasama dengan PT. Gojek Indonesia. Bersama Go-Glam dan Go-Auto, sejumlah penyandang disabilitas binaan TE kini memiliki pekerjaan layak.

Angkie menjadi seorang tunarungu sejak usia 10 tahun. Dan hal itu berdampak pada kemampuannya mencerna bahasa. Menariknya, dia justru mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta, dan dari tangannya telah lahir buku-buku Perempuan Tunarungu Menembus Batas dan Setinggi Langit.

Kisah-kisah itu, Keller, Silvia, Angkie, memberitahu kita dengan cara lemah-lembut tetapi penuh tenaga: walapun lingkungan kerap tak berpihak, siapa bilang perempuan tak bisa berjaya?

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Mild report
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dea Anugrah