tirto.id -
Hal itu, menurutnya, tak perlu dipermasalahkan sebab kurang lengkapnya informasi yang diterima masyarakat soal relaksasi DNI dalam pembaruan paket kebijakan ekonomi jilid XVI tersebut. Misalnya, soal penanaman modal asing 100 persen tanpa syarat kemitraan di beberapa bidang usaha seperti percetakan kain dan industri kain rajut renda.
Padahal hal tersebut tak mungkin dapat dilakukan lantaran syarat minimal PMA di atas Rp10 miliar, sementara klasifikasi UMKM adalah usaha dengan aset serta investasi di bawah 10 miliar.
"Sebenarnya nggak ada yang aneh. Ada contoh di UMKM investasi Rp 100 miliar. Siapa yang mau investasi? orang-orang marah, ribut, ya udah dikeluarin dulu [dikembalikan ke DNI]," ujar Luhut di kantor Kemenko Maritim, Jumat (30/11/2018).
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri, Kemenko Perekonomian, Bambang Adi Winarso menjelaskan bahwa dibatalkannya beberapa sektor UMKM untuk dilepas dari DNI dilakukan setelah adanya masukan dari para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Masukan tersebut disampaikan Ketua Kadin Rosan Roeslani dalam Rapimnas Kadin di Surakarta, Jawa Tengah, yang juga dihadiri oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution.
"Ada masukan dari stakeholders di Solo kemarin, khususnya untuk UMKM [ditinjau ulang]," kata Bambang kepada Tirto, kemarin (29/11/2018).
Kini, ada lima bidang usaha garapan UMKM yang dikembalikan ke DNI sebagaimana diatur Perpres Nomor 44 tahun 2016. Artinya, kegiatan investasi pada lima bidang usaha itu tetap harus memenuhi sejumlah persyaratan ketat.
Lima bidang itu terdiri dari empat bidang di kelompok A ialah pengupasan umbi, warung internet (warnet), percetakan kain, dan industri kain rajut-renda. Satu bidang lain berada di kelompok B, yakni perdagangan eceran melalui kantor pos dan internet di kelompok B.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri