tirto.id - Tanggal 1 November 2015 silam, Yusri Isnaeni mengeluhkan potongan pencairan dana KJP sebesar 10 persen dari sebuah toko perlengkapan alat sekolah kepada Ahok. Alih-alih mendapat tanggapan simpati, Yusri mendapat dampratan.
“Itu sudah jelas Ibu maling. Saya ngomong jujur: Ibu maling. Enggak boleh!” demikian hardikan Ahok di hadapan publik sebelum meminta salah seorang pegawainya mencatat nama perempuan yang sedang mencari advokasi dari Ahok itu. “Catat nama tokonya juga, kita penjarain,” lanjutnya. Yusri sempat melaporkan Ahok ke polisi, tapi tak ada kelanjutan kasus.
Peristiwa itu diungkit oleh Sylviana pada debat final cagub-cawagub DKI Jakarta, Jumat lalu. Sylvi mengatakan Ahok telah melakukan kekerasan verbal, yang kemudian ditampik Ahok. Ia sedang bersikap tegas, katanya.
Apa yang Dimaksud Kekerasan Verbal?
Ketika cara-cara argumentatif dan persuasif tak cukup efektif untuk mengubah perilaku dan cara pandang seseorang, tindakan tegas melalui perkataan atau hardikan kerap dipilih. Ia bisa menjadi shock therapy bagi penerimanya. Namun, bila dilakukan dengan tujuan untuk menjatuhkan mental orang lain, tindakan ini tidak lagi mendatangkan dampak positif bagi keduanya. Ia malah bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal yang merupakan bagian dari kekerasan psikis.
Dalam buku bertajuk Responsibility and Evidence in Oral Discourse (1993), Judith Irvine memaparkan bahwa kekerasan verbal dapat dikaitkan dengan prinsip berperilaku yang ada di suatu masyarakat, sehingga turut jadi perhatian antropolog dan sosiolog. Suatu tindakan dapat dikatakan kekerasan verbal ketika si pembicara menunjukkan suatu penghinaan lewat tuduhan dan pemberian predikat tertentu kepada orang lain.
Di Indonesia, salah satu definisi kekerasan psikis ada dalam Undang-Undang No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 7 yang berbunyi, “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.
Memilah mana tindakan yang termasuk kekerasan verbal dan mana yang tidak, menurut Irvine, tidak bisa terlepas dari konteks-konteks tertentu seperti kultural, linguistik, dan situasional. Orang yang tumbuh dalam masyarakat santun akan tersentak atau bahkan tersinggung saat berkomunikasi dengan orang yang lazim berbicara dengan keras atau dengan intonasi tinggi.
Sejumlah kosakata tertentu juga dianggap kasar dan tak patut diucapkan oleh lawan bicara bagi sebagian masyarakat. Inilah pentingnya melihat aspek-aspek di luar ujaran-ujaran sebelum menilainya sebagai kekerasan verbal.
Menurut psikoterapis David Seddon dalam situs Counselling Directory, pelaku kekerasan verbal berusaha merendahkan lawan bicaranya dengan cara menyatakan si korban bersalah, membuat penghakiman sendiri, melontarkan kritikan, manipulasi, mempermalukan di depan umum, dan membuat si korban merasa bersalah.
Penulis buku The Verbally Abusive Relationship, Expanded Third Edition: How to Recognize It and How to Respond, Patricia Evans (1996) berpendapat bahwa kekerasan verbal juga dapat terwujud dalam bentuk ancaman, candaan yang merendahkan, teriakan, pembatasan dan pengalihan saat hendak mengutarakan pendapat, ejekan pada seseorang tanpa diketahuinya, dan aksi menyuruh dengan sewenang-wenang.
Isu apa sebenarnya yang dipotret dari kasus-kasus kekerasan verbal?
Seddon berargumen bahwa kekerasan psikis yang satu ini adalah tentang kekuasaan dan kontrol. Umumnya, pelaku tak mau mengakui tindakannya ini salah dan mendiskusikannya dengan orang-orang yang terluka akibat perkataannya. Ia akan selalu berusaha mencitrakan diri sebagai protagonis dan menggunakan berbagai alasan untuk menyangkal bahwa dirinya memang bermasalah.
Dampak Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal tidak semestinya dipandang sebelah mata. Di Indonesia, jumlah korbannya pun tidak sedikit. Data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2016 menunjukkan bahwa selama 2015, tercatat ada 2.607 kasus kekerasan psikis yang dialami perempuan (23 persen dari seluruh kasus kekerasan). Salah satunya bentuk kekerasan psikis adalah kekerasan verbal.
Para pakar mencatat kekerasan ini tak kalah berbahayanya dengan kekerasan fisik. “Kekerasan verbal berpotensi memiliki konsekuensi yang lebih lama dibanding bentuk kekerasan lainnya karena hal ini kerap terjadi secara terus menerus,” demikian pendapat Martin Teicher, profesor bidang psikiatri di McLean Hospital rekanan Harvard University yang dikutip dari Harvard Gazette.
Ketika kekerasan verbal terjadi terus menerus, hal ini dapat dikatakan sebagai suatu perundungan (bullying).Terkait perundungan verbal, aktivis anti-bullying dan penulis buku Aprishi Allita mengatakan, “Kalau verbal bullying dampaknya bisa jadi penurunan kepercayaan diri, sedih, dan untuk kasus berat, bisa depresi.”
Pernyataan Aprishi senada dengan fakta-fakta yang dihimpun National Coalition Against Domestic Violence sehubungan dengan kekerasan psikis. Korban dapat mengalami depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), memiliki keinginan bunuh diri, kepercayaan diri yang rendah, dan kesulitan memercayai orang lain.
Pada situs Healthy Place, Patricia Evans menulis pula efek-efek dari kekerasan verbal. Korban dapat menemui kesulitan dalam membuat keputusan, merasa ada yang salah dalam dirinya, terus mengingat dan menganalisis pengalamannya menerima kekerasan, meragukan kemampuannya dalam berkomunikasi, serta kehilangan antusiasme dan spontanitas dalam kesehariannya.
Dalam kasus Yusri, Tempo.co juga melaporkan bahwa ibu rumah tangga ini juga mengalami trauma dan malu karena dicibir oleh tetangganya. Dikatakan sebagai maling di hadapan publik ternyata tidak hanya berefek terhadap Yusri. Ia juga mengaku, anaknya juga menerima ejekan karena peristiwa menyakitkan yang dialaminya. Tak pelak, anak Yusri pun sempat enggan pergi ke sekolah lantaran menghindari intimidasi dan ejekan temannya.
Berbeda dengan kasus kekerasan fisik yang lebih terlihat bukti-buktinya, kekerasan verbal, utamanya yang terjadi di ranah privat, lebih jarang diadukan atau diceritakan ke pihak berwenang dan orang-orang terdekat. Padahal, regulasinya telah ada dan dampak-dampak negatif yang dapat berlangsung untuk jangka panjang telah banyak terpapar di berbagai penelitian dan artikel-artikel ilmiah.
Sebagian orang masih melumrahkan dan bergeming soal kekerasan psikis jenis ini. Mengingat besarnya konsekuensi terhadap mental seseorang, seharusnya pemahaman dan kesadaran akan kekerasan verbal di bangun oleh institusi-institusi sosial mulai dari yang terdekat seperti keluarga dan peer group hingga lembaga pendidikan formal.
Ketegasan dalam rangka penegakan kedisiplinan tak dimungkiri merupakan hal krusial, tetapi kehati-hatian dalam memilah ujaran perlu diingat supaya risiko terburuk dari kekerasan verbal yang diisyaratkan Seddon, yaitu pembunuhan karakter, tidak terjadi.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani