Menuju konten utama

Tuduhan Kriminalisasi dari Rapat Darurat Partai Demokrat

Rapat darurat Partai Demokrat untuk membahas kriminalisasi kader dinilai sebagai taktik mencuri perhatian masyarakat.

Tuduhan Kriminalisasi dari Rapat Darurat Partai Demokrat
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin langsung rapat darurat di Kantor DPP Partai Denmokrat, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sekjen DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengirim pesan singkat kepada wartawan pada Rabu, 3 Januari 2018. Isinya instruksi untuk seluruh pengurus harian untuk berkumpul di kantor pusat mereka di Jalan Proklamasi, Jakarta, dengan tajuk "emergency meeting". Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang memimpin rapat tersebut.

Dalam pesan berantai yang sama, disebutkan bahwa "untuk kesekian kalinya Demokrat mendapat perlakukan yang tidak adil dari elemen negara dan penegak hukum". Disebutkan pula bahwa "pimpinan Demokrat menganggap ini sebuah krisis keadilan dan juga krisis demokrasi".

Rapat ini dipicu pelaporan kader Demokrat yang kini menjabat sebagai Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang, ke Bareskrim Polri akhir Desember lalu. Jaang diperiksa sebagai saksi terkait kasus pungutan liar tarif Area Parkir Pelabuhan Peti Kemas, Palaran, Samarinda.

Demokrat mengaitkan ini dengan status Jaang yang hendak maju di Pilkada 2018. Partai yang didirikan pada 9 September 2001 ini menduga Jaang "dikriminalisasi" --istilah yang dipakai Hinca -- oleh Inspektur Jenderal Safaruddin, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kalimantan Timur) yang batal digandengnya sebagai calon wakil.

Jaang disebut sempat menolak tawaran beberapa Parpol agar mau menjadikan Safaruddin sebagai pasangannya, namun ditolak. Sehari usai penolakan itu, Jaang dilaporkan ke Bareskrim. Pada 27 Desember 2017 surat pemeriksaan kepada Jaang sudah keluar.

Ada lagi kasus kader dari Papua, Lucas Enembe. Lucas yang menjabat sebagai Gubernur Papua disebut diintimidasi agar mau berpasangan dengan politikus yang ditawarkan Parpol lain, padahal ia ingin berpasangan dengan Klemen Tinal, kini Wakil Gubernur Papua.

Usai menggelar rapat tersebut, Hinca mengatakan bahwa kasus-kasus yang dialami kadernya jelang Pilkada seharusnya mendapat perhatian Presiden Joko Widodo.

Usaha Demokrat Unjuk Gigi

Faisal Arief Kamil, pengamat politik dari Poltracking Indonesia, mengatakan bahwa pernyataan soal kriminalisasi dan presiden yang seharusnya turun tangan bukan semata-mata murni untuk membela kadernya, melainkan salah satu cara partai tersebut unjuk gigi.

"Demokrat dirasa perlu unjuk gigi setidaknya untuk tiga hal: ke elite koalisi, ke masyarakat, dan ke pemerintah saat ini. Demokrat ingin menunjukkan masih jadi salah satu kekuatan politik yang harus diperhitungkan," kata Faisal kepada Tirto, Kamis (4/1/2018).

Di satu sisi, katanya, peristiwa seperti ini, yang untuk menggerus elektabilitas kandidat tertentu yang akan maju di kontestasi politik mulai marak terjadi setelah kasus yang menjerat Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Ahok dijerat pasal penistaan agama. Ia mesti berurusan dengan rangkaian pengadilan sembari berkampanye.

Pada akhirnya Ahok kalah dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 oleh Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

"Melihat Ahok tumbang karena kasus padahal elektabilitasnya tinggi, banyak elite melihat 'kesuksesan' Pilkada DKI bisa diterapkan di daerah lainnya," katanya.

Pendapat serupa disampaikan pengamat politik dari Populi Center, Rafif Pamenang Imawan. Menurut Rafif, Demokrat sengaja mengangkat isu kriminalisasi untuk cari perhatian masyarakat.

"Partai Demokrat berusaha untuk bounce back dari sebelumnya kuat sebagai partai pemenang tapi hari ini justru menjadi partai di mana kadernya banyak tersangkut korupsi," kata Rafif.

"Sebagai contoh, Golkar meskipun Ketua Umumnya terkena kasus korupsi tetap menjadi partai top 5. Berbeda dengan Demokrat yang, menurut pandangan saya, masih mencari selling point," katanya.

Tujuan akhirnya bukan semata memenangkan Pilkada, tapi juga Pemilihan Presiden tahun depan.

Tidak Langgar Aturan

Pengusutan kasus-kasus yang melibatkan bakal calon kepala daerah jelang Pilkada, atau bahkan Pilpres, sebenarnya tidak melanggar aturan apapun. Hal itu wajar dilakukan sepanjang aparat memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengusut perkara itu.

Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Hajar mengatakan yang perlu dikhawatirkan adalah jika akhirnya pengusutan kasus berujung pada pemerasan aparat hukum demi pembatalan kasus. Oleh karena itu, Abdul mengatakan sebaiknya kasus-kasus itu dihentikan sementara.

"Hal ini dimaksudkan selain menjaga stabilitas politik, juga menjaga citra nama baik penegak hukum itu sendiri," kata Abdul kepada Tirto.

Agar ini bisa dilakukan, maka perlu ada nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan KPU. Hal ini dirasa lebih efektif ketimbang hanya mengandalkan etika yang tidak ada aturan tertulisnya.

"Etika itu tidak tertulis, kalah dengan dasar hukum. Karena itu diperlukan kebijakan dari pimpinan tertinggi kepolisian, atau dibuat MoU dengan KPU dan partai-partai politik," katanya.

Kepolisian sebenarnya pernah memiliki dasar hukum guna menghentikan pengusutan kasus-kasus yang menimpa kandidat yang berkontestasi di Pilkada. Ini tertuang pada Peraturan Kapolri Nomor SE/7/VI/2014 yang diterbitkan Kapolri Jenderal (Purn) Badrodin Haiti.

Namun, beleid itu dikesampingkan dan dinyatakan tak berlaku oleh Kapolri Tito Karnavian pada akhir 2016 lalu. Langkah itu diambil agar tetap dapat mengusut kasus Ahok yang kadung menyita perhatian publik, bukan hanya orang Jakarta saja.

"Semua yang dilaporkan [harus diperlakukan] sama, harus diproses," ujar Tito di Kompleks Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK), Jakarta, 25 Januari 2017.

Polisi Membantah Melakukan Kriminalisasi

Tudingan bahwa penegak hukum telah melakukan kriminalisasi terhadap politikus Demokrat dibantah kepolisian. Sanggahan disampaikan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Setyo Wasisto dan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin.

Menurut Setyo, polisi tidak melakukan kriminalisasi karena pengusutan perkara berjalan sesuai prosedur. "Kalau ada buktinya bukan kriminalisasi. Prosedur memanggil seseorang, diminta keterangan sebagai saksi," ujar Setyo di Mabes Polri.

Sementara Safaruddin berkata bahwa kasus yang menimpa Jaang sebenarnya telah bergulir lama sehingga tak ada tindakan kriminalisasi yang dilakukan lembaganya. "Saya jelaskan, kriminalisasi saya kira tidak ada karena kasusnya sudah lama," ungkap Safaruddin.

Selain membantah tudingan kriminalisasi, Safaruddin mengaku bahwa dirinya sempat berkomunikasi dengan Jaang membicarakan persoalan Pilkada. Ia menampik tudingan Demokrat bahwa dirinya memaksa Jaang untuk mau berpasangan di Pilkada.

"Saya telepon, kalau memang Pak Jaang tidak bisa memastikan berpasangan dengan saya, kita tidak bisa lagi sama-sama," katanya. "Saya kira tidak ada yang memaksa," tambahnya.

Baca juga artikel terkait RAPAT PARTAI DEMOKRAT atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie & Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino