tirto.id - Selama puluhan tahun jadi Presiden, Soeharto sudah berkali-kali ganti Wakil Presiden. Seberapa pun lamanya Soeharto jadi Presiden, wakilnya selalu satu periode saja, cukup lima tahun saja. Sebelum 1990, Soeharto pernah punya Wapres seorang raja, mantan jurnalis dan diplomat, dan dua jenderal.
Memasuki 1993, Soeharto sedang bersiap memilih Wapres baru. Setidaknya ada dua nama calon: Baharudin Jusuf Habibie dan Try Sutrisno. Nama yang pertama adalah teknokrat yang ahli membuat pesawat, dan ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang baru terbentuk. Saat itu Soeharto sedang mesra-mesranya dengan kelompok Islam. Sedangkan nama kedua adalah jenderal yang sedang jadi Panglima dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sekaligus mantan ajudan Soeharto.
Try didukung oleh Fraksi ABRI yang sangat kuat. Namun Habibie juga punya kans. Menurut Sri Bintang Pamungkas dalam Menggugat Dakwaan Subversi: Sri-Bintang Pamungkas di Balik Jeruji Besi (2000:336), Habibie didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya partai Islam hasil fusi dari partai-partai Islam di awal 1970an.
“Ketika itu Soeharto sebetulnya menginginkan Habibie sebagai pendampingnya,” tulis Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY (2009:138).
Sebagian jenderal tidak suka. Standar mereka, pendamping jenderal seharusnya jenderal juga. Ketidaksukaan ini wajar belaka. Jangankan Habibie yang seorang teknokrat, Sudharmomo yang berasal dari militer pun tidak disukai para jenderal.
Suatu hari, Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) ABRI, Letnan Jenderal Harsudiono Hartas, sedang berada di Kementerian Dalam Negeri. Di sana, dia disatroni wartawan dan ditanya siapa calon Wapres dari ABRI.
“Dia bilang Try Sutrisno. Sudah itu Hartas datang kepada saya minta maaf dan siap dipecat akibat keceplosan itu,” tulis Try, seperti dicatat Salim Said, dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016:194).
Hartas, seperti dicatat Tjipta Lesmana kemudian “dihukum” dengan dijadikan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), padahal dia masih jenderal aktif. Hartas dianggap telah mem-fait-accompli secara terbuka. Try mengaku kala itu belum ditanyai kesanggupannya sebagai calon Wapres dan berpikir positif, baginya Hartas hanya keceplosan. Tapi berita ABRI mendukung Try Sutrisno sudah kadung menyebar ke masyarakat.
Hartas yang keceplosan bahwa ABRI menginginkan Try jadi Wapres, dan Soeharto yang tampaknya menginginkan Habibie, membuat Try tampak sebagai sebagai Wapres yang ditukar.
Pernah Diselamatkan Soeharto dan Benny
Waktu masih berpangkat Kolonel, Try pernah bertahun-tahun jadi ajudan Soeharto. Setelah lepas dari jabatan ajudan, Try punya karier lumayan di militer. Apalagi bagi seorang dengan latar belakang karier perwira Zeni. Bukan hal aneh jika banyak jabatan strategis dipegang oleh perwira berlatar infanteri. Jabatan yang disandang Try pun tidak main-main. Pria kelahiran Surabaya ini pernah dijadikan Kepala Staf, lalu Panglima di KODAM Jakarta Raya (Jaya).
Ketika Peristiwa Tanjung Priok meletus pada 1984, Try adalah Panglima KODAM Jaya. Meski tersandung kasus Tanjung Priok yang menewaskan ratusan orang, namun nasib Try tidak seapes Sintong Panjaitan, mantan Panglima KODAM Udayana waktu Peristiwa Santa Cruz.
Menurut catatan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014:299-300), karier Try diselamatkan oleh Soeharto dan Moerdani.
“Ia (Try Sutrisno) dipersiapkan menjadi Panglima ABRI, menggantikan Benny,” tulis Jusuf.
Try tetap melesat hingga menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan akhirnya Panglima ABRI. Nama Try sudah pernah masuk bursa calon Wakil Presiden ketika dirinya baru saja menjadi Panglima ABRI pada 1988. Tak heran dirinya disebut lagi namanya dalam pencalonannya pada 1993. Namun pada 1993, tren agak berubah dan Try Sutrisno nampak tersaingi pamornya, terkait mulai menguatnya Habibie yang didukung kelompok Islam.
Meski sudah mesra dengan kelompok Islam, ternyata Soeharto tidak bisa berpaling begitu saja dari ABRI. Akhirnya Try Sutrisno akhirnya naik juga sebagai Wapres pada 1983. Menjadikan Try sebagai Wapres bukan tanpa resiko bagi Soeharto. Bisa saja ada yang mengungkit-ungkit kasus Tanjung Priok.
“Pak Harto tidak 100 persen suka dengan keputusan (menjadikan Try Sutrisno Wapres), tapi dia tidak punya pilihan. Di sisi lain, dia didukung oleh Pak Benny,” tulis Ginandjar Kartasasmita dalam Managing Indonesia's Transformation: An Oral History (2013:133).
Try dan Benny Moerdani memang kawan lama dan Benny mulai dijauhi Soeharto karena dianggap tidak loyal kepada Soeharto setelah 1988. Tidak heran Try hanya jadi pelengkap yang tanpa fungsi. Salim Said (2016:194) mencatat, “Try Sutrisno sendiri menjadi Wakil Presiden yang nyaris tidak difungsikan atasan.”
Sebagai wakil Presiden, sosok Try Sutrisno tentu menghiasi pemberitaan nasional sebagai pendamping yang baik bagi Presiden Soeharto. Dalam berita-berita di TVRI, Try tampak setia—seperti zaman jadi ajudan dulu—mendampingi Soeharto sebagai presiden di banyak acara resmi. Mau tidak mau, istri Try Sutrisno, Nyonya Tuti Sutiawati juga ikut tersorot TVRI. Setelah ibu negara Tien Soeharto meninggal dunia, dalam acara resmi yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden, mau tidak mau Tuti Sutiawati jadi perempuan yang paling dihormati.
Try menjadi Wapres di saat Soeharto sudah berusia 72 tahun, usia yang sudah jauh melampaui usia produktif dan orang-orang sudah berjaga-jaga seandainya Soeharto tidak bisa melanjutkan kekuasaannya. Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005:639) menyebut, “beberapa kalangan berpikiran bahwa ABRI memosisikan Try Sutrisno—perwira yang ramah namun dianggap tidak terlalu cerdas—sebagai pengganti Soeharto.”
Try memang dianggap sosok pengganti ideal. Karier militernya bagus dengan pangkat jenderal, berpenampilan sederhana, tidak punya beban masa lalu (walau tentu saja dia dihantui oleh kasus Tanjung Priok), beragama Islam, suku Jawa, dan berpenampilan menarik. Maka masyarakat banyak yang beranggapan: andai Soeharto meninggal di antara 1993 hingga 1998, maka Try adalah yang paling cocok menggantikan Soeharto.
Faktanya Soeharto baik-baik saja sepanjang Try Sutrisno menjadi Wapresnya. Kelompok Islam tidak mengganggu, begitu juga ABRI, karena ada Jenderal Try. Pada akhirnya, Try tidak pernah menggantikan Soeharto. Pada 1998, Try turun tahta dan digantikan oleh Habibie. Tak lama kemudian, terjadilah reformasi, dan Habibie naik jadi Presiden.
Editor: Nuran Wibisono