tirto.id - Bekal makan siang selalu mengingatkan saya pada Yu' Resek dan siang-menjelang-sore di Lumajang, kota kecil di Jawa Timur tempat saya lahir. Setiap senggang dan sedang ada di Lumajang, saya selalu ditemani oleh Yu' Resek. Ia tipikal perempuan Jawa Timur: hangat, menyenangkan, suka tertawa. Dengan tambahan sifat yang kerap bikin tertawa: latah. Kebiasaan lain: membawa lauk bekal makan siang dari rumahnya.
Yu' Resek selalu membawa bekal dalam rantang alumunium berbentuk bundar, warna abu-abu, bermotif kembang. Biasanya isinya lauk dan sayur buatannya. Siang itu saya melihat ia membawa tumis kangkung, tempe dan cakalang goreng, serta sambal terasi. Di rumah nenek saya, tempatnya bekerja sebagai rewang selama lebih dari 1 dekade, ia tinggal mengambil nasi tanpa perlu memasak lauk lagi.
Sebenarnya Yu Resek bisa kapan saja makan bekalnya. Tapi jam favoritnya adalah pukul 2.30 siang. Saat itu matahari sudah mulai tergelincir dan angin sore sudah mulai tak panas. Tempat makan favoritnya adalah di bawah rimbun pohon belimbing wuluh di halaman depan.
Biasanya ia menggelar tikar duduk bersila dan makan dengan lahap pakai tangan. Saya yang masih berusia 6 tahun bermain di sebelahnya. Dengan sabar menantinya selesai makan, mengistirahatkan perut sejenak, lalu membawa saya keliling kota Lumajang dengan sepeda jengki. Lengkap dengan kaki saya yang diikat pakai karet ban supaya jemari tak tersangkut jeruji.
Kenangan akan bekal makan siang Yu Resek itu entah kenapa selalu lekat di ingatan. Mungkin karena sejak umur 6 tahun saya selalu membawa bekal ke sekolah sehingga bekal makan siang menjadi hal yang akrab dalam keseharian. Mamak dan para ibu di perumahan kami memang hampir tak pernah absen membawakan bekal untuk anak-anaknya. Alasannya memang sederhana: selain hemat, juga higienis.
Ketika saya dan kakak indekos saat kelas 6 SD, tugas menyiapkan bekal dioper pada warung di depan sekolah saya. Ayah menitipkan sejumlah uang pada pemilik warung, seorang perempuan berusia 40-an tahun. Setiap pukul 11, satu jam sebelum jam istirahat, pemilik warung akan mengantarkan dua kotak nasi dengan lauk pauk, dilengkapi dengan seplastik susu cokelat hangat. Saya, kakak, dan teman-teman lain biasa duduk berjejer di depan kelas.
Saat itu juga, bekal dari rumah bisa menjelma jadi status sosial. Kalau dia orang kaya, kotak bekalnya besar, mewah, bisa bergambar Power Ranger atau Superman atau Ksatria Baja Hitam. Lauknya pun ala "bule". Bisa sosis. Bisa ikan salmon. Bisa aneka rupa makanan yang bahkan kami tak tahu namanya. Sedangkan yang ibunya sibuk, biasa membelikan menu dari warung. Kami kerap bertukar makanan karena penasaran.
Membawa bekal sejatinya bukan hanya monopoli anak sekolah. Bahkan orang dewasa seperti Yu' Resek juga melakukannya. Perilaku membawa bekal ke tempat kerja ini sudah merentang ratusan tahun dalam sejarah kuliner di Nusantara, walau belum ada yang mencatat titimangsanya dengan tepat.
Para petani, nelayan, pedagang keliling, siapa saja, biasanya membawa bekal yang dibungkus dedaunan, entah jati, entah pisang. Kebiasaan ini dikarenakan mereka menghemat waktu, supaya tak perlu pulang ke rumah untuk makan siang.
Kultur bekal makan siang ini tercatat dengan lebih baik di Jepang. Menurut babad Nihon Shoki, salah satu catatan sejarah tertua tentang Jepang, bekal makan siang ini biasa dibawa para pemburu. Di abad 5, para manusia Jepang, baik pemburu, petani, hingga tentara bayaran, biasa membawa bekal berupa bola-bola nasi (onigiri) dan air minum. Kata bento yang kini amat populer untuk menggambarkan bekal, dianggap lahir di abad 16, di masa Edo.
Di India, orang mengenal sistem dabbawala. Secara harfiah, dabbawala adalah orang yang mengumpulkan kotak bekal berisi makanan dari rumah, lalu mengantarkan kotak bekal itu ke kantor langganan, biasanya dengan menggunakan sepeda atau kereta api. Pada 1890, Mahadu Havaji Bache memulai sistem ini. Kisah tentang dabbawala ini bisa ditengok di film berjudul The Lunchbox.
Menurut Gauri Sanjeev Pathak dalam makalah "Delivering the Nation: The Dabbawalas of Mumbai," diperkirakan ada 175.000 hingga 200.000 kotak makan diantarkan setiap hari oleh 5.000 orang dabbawala. Hebatnya: dalam setahun, kejadian salah antar mungkin hanya satu atau dua kali saja.
Kebiasaan Membawa Bekal di Indonesia
Pada 2015, The Grocer, situs berita khusus barang grosir laris (fast-moving consumer goods), memuat hasil survei soal kecenderungan orang Inggris membawa bekal. Menurut hasil penelitian mereka, tingkat membawa bekal justru meningkat di kalangan orang dewasa.
Di kategori umur 25 hingga 24 tahun, ada peningkatan 26 persen dari jumlah bekal yang dibawa dari rumah. Paling banyak adalah dua kelompok orang dewasa 35 hingga 44 tahun, dan 45 hingga 54 tahun. Mereka adalah dua kelompok umur yang mengonsumsi 388 juta bekal rumahan per tahun. Di kalangan anak-anak atau remaja, kecenderungan membawa bekal dari rumah justru menurun. Di kelompok anak usia 10 hingga 15 tahun, juga remaja usia 16 hingga 24 tahun, penurunannya mencapai 7 persen.
Bagaimana dengan di Indonesia? Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi pernah mengatakan bahwa sejak 2012 ia sudah menggerakkan siswa membawa bekal dari rumah. Pada 2013, Tupperware Indonesia menggagas Hari Bawa Bekal Nasional pada 12 April. Perusahaan produsen peralatan plastik untuk keperluan rumah tangga ini bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kampanye Hari Bawa Bekal Nasional ini pertama kali diadakan pada 12 April 2013 di empat kota, yakni Jakarta, Pontianak, Medan, dan Makassar.
Dalam rangka merayakan Hari Bawa Bekal Nasional, tim riset Tirto.id membuat riset tentang kebiasaan membawa bekal di kalangan pelajar Jakarta. Hasilnya cukup menarik, dan beberapa temuan tak jauh berbeda dengan hasil temuan The Grocer.
Penelitian ini punya 103 responden. Rentang usianya adalah 7 hingga 18 tahun, untuk mengetahui apakah bekal masih populer di kalangan generasi milenial. Mayoritas responden (42 persen) adalah remaja usia 16 hingga 18 tahun. Sedangkan 34 persennya adalah responden berusia 7-11 tahun.
Mayoritas responden, yakni 58 persen, mengatakan tidak membawa bekal ke sekolah. Hal ini bisa dikarenakan mayoritas responden duduk di bangku SMA kelas 10-12. Umumnya, mereka lebih suka menerima uang jajan ketimbang membawa bekal ke sekolah. Mereka yang tak membawa bekal, 50 persen-nya membeli makan di luar sekolah, 43 persen jajan di kantin sekolah, dan 7 persen memesan katering yang disediakan sekolah.
Sedangkan untuk responden yang membawa bekal ke sekolah, 63 persennya mengatakan bahwa bekal mereka disiapkan oleh ibu atau orang tua. Sekitar 30 persen mengatakan bekal mereka disiapkan oleh asisten rumah tangga. Sebagai salah satu negara yang paling banyak mengonsumsi nasi, wajar kalau nasi dan lauk pauk adalah menu yang umum dibawa oleh 44 persen responden. Menu lain adalah roti (33 persen), dan kudapan (12 persen).
Dari penelitian ini, kita bisa melihat bahwa tren membawa bekal di kalangan anak SMA lebih rendah ketimbang kelompok umur lain. Sama seperti temuan The Grocer: penurunan memang terjadi pada kelompok usia 10 hingga 15 tahun, juga remaja usia 16 hingga 24 tahun. Mereka biasanya lebih memilih kepraktisan: membeli makanan di warung atau restoran atau kantin.
Membawa bekal atau tidak membawa bekal memang bermuara pada kepraktisan. Mereka yang remaja dan bisa jajan, menganggap membeli makanan di luar rumah lebih praktis ketimbang menenteng bekal. Anak-anak dibawakan bekal supaya praktis, tak perlu jajan di luar yang kebersihannya bisa diragukan. Sedangkan orang dewasa yang bekerja kantoran di kota besar, memilih membawa bekal karena dua alasan: menghemat, dan kepraktisan agar tak perlu keluar kantor sehingga tak berhadapan dengan macet.
Jadi, apa bekalmu hari ini?
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani