tirto.id - Mulai 20 Oktober nanti, 944 orang akan kehilangan pekerjaannya di Adelaide, Australia. Holden, produsen mobil asal Negeri Kanguru itu akhirnya menutup pabrik mereka di sana. Sebagaimana dilaporkan ABC, angka tersebut akan menambah jumlah pengangguran dari perusahaan mobil di Australia.
Semenjak pengumuman tutup pabrik pada 2013, Holden sudah menderita kerugian yang cukup besar selama tiga tahun berturut-turut, pada 2012 mereka menderita kerugian $255 juta, lalu kerugian makin tebal hingga $554 juta pada tahun berikutnya, pada 2014 kerugian masih terjadi hingga $153 juta. Uniknya, dua tahun sebelum benar-benar tutup, Holden masih meraup untung pada 2015 dan 2016 masing-masing $128 juta dan $152,8 juta.
Namun, sebelum kabar buruk dari Holden kesampaian, kemarin, 3 Oktober 2017, sebanyak 2.500 orang menjadi pengangguran karena Toyota juga menutup pabrik mereka di Altona, Australia. Kabar itu sudah diumumkan sejak Februari tahun ini. Sehingga, pihak perusahaan setidaknya merasa sudah memberi peringatan pada para pekerjanya. Toyota juga mengalami kerugian hingga $437 juta pada 2013, berada di urutan kedua terbesar setelah Holden.
Kandasnya Holden dan Toyota pada bulan yang sama sekaligus menjadi tanda berakhirnya pabrik pembuatan mobil di Australia. Sebelum keduanya mengibarkan bendera putih, Ford, produsen mobil asal Amerika Serikat yang sudah 91 tahun mendirikan pabrik di Broadmeadows dan Geelong, Australia bahkan mengumumkan penutupan pabrik mereka sejak 2013 silam, tepat tiga tahun sebelum benar-benar ditutup Oktober tahun lalu. Sama seperti Toyota dan Holden, Ford menanggung kerugian, bahkan selama 2011-2015 menderita kerugian $1,05 miliar, termasuk $162 juta pada 2015.
Baca juga:Pabrik Toyota Tutup, Ribuan Karyawan Kena Dampak
Kala itu, diperkirakan ada 1.200 pekerjaan yang dirumahkan. Dalam laporan Herald Sun, sebagian mantan pegawainya diberikan pesangon sampai 250 ribu dolar Australia. Membuat Wayne Mann (62), salah satu dari mereka, merasa seperti menang lotere.
“Apa perusahaan lain memberimu seperempat juta dolar untuk pergi? (Hitungannya) saya ini pensiun, terima kasih banyak. Tidak sedih sama sekali,” kata pria yang sudah kerja 40 tahun untuk Ford ini.
Namun tak semua mantan pegawai senang seperti Mann, terutama yang lebih muda. George (25), yang sudah 7 tahun bekerja di Ford memanfaatkan waktu tiga tahun sejak pengumuman itu untuk mencari tempat kerja lain. Setelah keluar dari sana, ia akan bekerja di toko pizza. Michael Jong, yang asalnya dari Timor-Timur, sudah pegang kontrak enam bulan dengan perusahaan lain, tapi setelah itu: “Entahlah, aku khawatir,” katanya pada Herald Sun.
Son (45) dari Vietnam lebih parah lagi. Dia sama sekali belum dapat pekerjaan setelah itu, “Aku sudah cari, tapi memang susah sekali,” ungkapnya.
Serikat Pekerja Manufaktur Australia (AMWU) mengamini hal ini. Seperti dilaporkan ABC, Paul Difelice dari AMWU mengakui bahwa para bekas pegawai perusahaan-perusahaan itu memang akan menghadapi kesulitan mencari kerja.
“Mayoritas mereka bisa dapat pekerjaan kasual, yang bisa saja mengarah jadi pekerjaan tetap, tapi jelas sekali dengan gaji dan lingkungan kerja yang jauh lebih rendah,” kata Paul.
Padahal, sejak Ford ditutup, perusahaan itu dan pemerintah Australia sudah menghabiskan jutaan dolar untuk melatih ulang para bekas pegawai itu. Namun, baru separuh dari jumlah itu yang sudah dapat pekerjaan.
Hal sama juga sempat terjadi pada 2004, ketika Mitsubishi menutup pabriknya di Londsdale, Australia. Dua tahun pasca-penutupan itu, berdasarkan Profesor Andrew Beer dari Universitas Flinders, cuma sepertiga bekas pekerja Mitsubishi yang sudah dapat pekerjaan lain yang terhitung pekerjaan penuh waktu. Sepertiga lainnya dapat pekerjaan tak tetap, sepertiga lainnya bahkan tak bekerja sama sekali.
Banyak Faktor
Dampak tutupnya Toyota bahkan sudah diprediksi Gayle Tierney, Menteri Pelatihan dan Keterampilan Victoria, lebih besar daripada tutupnya Ford. Sebab, gelombang bekas pekerja Toyota akan bersaing dengan sisa bekas pekerja Ford. “Akan ada ratusan bahkan ribuan orang yang mencari kerja ke pasar buruh di saat yang sama,” ungkap Tierney seperti dilansir ABC.
Belum lagi, selama 10 tahun terakhir, Toyota adalah pabrik kendaraan terbesar di Australia. Bahkan dalam sejarah Australia ia adalah eksportir otomotif terbesar. Toyota menjual lebih banyak mobil selama 16 tahun ketimbang yang dijual Holden selama 63 tahun.
Matinya industri pabrik mobil di Australia ini memang berdampak hebat pada perekonomian Negeri Kangguru itu. Sebab, realitasnya industri tersebut tumbuh bersama masyarakatnya sehingga membentuk kultur sendiri.
Pabrik pertama pembuat mobil di Australia sudah ada sejak 1925. Mobil dan pesawat terbang memang dua teknologi yang sangat digilai orang-orang Australia. Mobil pertama yang dibikin mereka adalah mobil uap, bernama Phaeton, yang dibuat oleh Herbert Thomson dan Edward Homes pada 1896. Penduduk migrasi Australia yang asalnya dari Eropa merasa harus mengembangkan teknologi mobilnya sendiri, karena jarak mereka yang jauh dari tempat mobil pertama kali berkembang.
Pada Perang Dunia II, General Motors Holden bahkan menjadi penyokong militer Australia untuk bikin mesin pesawat terbang, kendaraan perang dan senjata, yang bahan-bahannya kebanyakan diimpor dari Inggris dan Amerika Serikat.
Perkembangan pabrikan mobil di Australia telah mendorong Toyota membangun pabrik luar negeri pertamanya di Altona, Australia. Namun karena besarnya ongkos produksi, akhirnya perusahaan mereka tak lagi berperan sebagai pabrik pembuat mobil, melainkan sebagai fasilitas pengembangan produk, dengan memanfaatkan pengetahuan dan keahlian guna lebih mengembangkan orang, produk, dan layanan Toyota.
Baca juga:Pelajaran dari Toyota
Semua pabrik otomotif di Australia kalah bersaing, terutama bila dibandingkan dengan mobil-mobil yang dibuat di Benua Asia. Ongkos produksi di Asia bisa 4 kali lipat lebih murah bila dibandingkan di Australia. Dari sisi populasi, pasar domestik Australia dengan luas daratan sebesar itu hanya dihuni 24,6 juta jiwa atau hanya sepersepuluh populasi Indonesia.
Menurut catatan Adelaidenow, salah satu faktor yang paling mendesak matinya industri ini adalah tarif pajak rendah yang diberlakukan Australia untuk mobil impor. Dampaknya, selama satu dekade belakangan, Australia dibanjiri mobil impor yang harganya lebih murah daripada yang dibuat di pabrik-pabrik mobil Australia. Padahal, 15 tahun yang lalu, Holden Commodore memimpin pasar dengan penjualan mendekati 100.000 unit per tahun.
Namun, selama lima dari enam tahun terakhir, mobil kecil seperti hatchback Mazda3 dan sedan Toyota Corolla telah menduduki puncak kurva dengan penjualan lebih dari 40 ribu. Tahun lalu, masih dalam laporan Adelaidenow, Toyota HiLux ute memimpin pasar total dengan jumlah yang sama.
Namun, tak ada pabrik mobil di dunia yang bisa bertahan dalam volume produksi kecil seperti itu—selain hanya Ferrari atau Lamborghini yang menjual supercar dengan harga jauh lebih tinggi. Banjir mobil impor di Australia jadi pilihan lebih banyak bagi konsumen daripada sebelumnya.
Baca juga:Menghidupkan "Kuda Jingkrak" Ferrari
Pasar mobil di Australia dibanjiri 64 merek mobil terutama dari basis impor. Kondisi ini membuat produsen mobil di sana terganggu karena sangat sulit mengandalkan penjualan domestik untuk bertahan hidup. Faktor lain adalah Australia dikelilingi oleh negara-negara berkembang dengan biaya tenaga kerja yang jauh lebih murahseperti Indonesia dan Thailand yang mampu memproduksi mobil masing-masing di atas 1 juta unit per tahun.
Australia terlanjur tak tak punya regulasi proteksi untuk industri mobil di dalam negeri. Dari semua Perjanjian Perdagangan Bebas Australia dengan negara lain, tak ada yang lebih brutal dan cepat daripada kesepakatan dengan Thailand sejak 2005 lalu.
Sejak Australia punya kerja sama perdagangan Thailand, Negeri Kanguru ini telah mengimpor hampir 2 juta kendaraan. Sebagai gantinya, Australia hanya menjual 100 mobil ke Thailand, sebuah perdagangan yang tak sebanding.
Thailand kini dikenal sebagai "Detroit" Asia Pasifik, sekaligus menjadi pemasok kendaraan bermotor terbesar kedua di Australia setelah Jepang. Unggul lebih sedikit di atas Korea Selatan. Toyota, yang dulu lebih memercayai Australia sebagai tempat berdiri pabrik pertamanya di luar Jepang, kini bahkan sudah punya pabrik sedan Camry di Thailand. Sehingga tak perlu mengekspor mobil apa pun ke sana. Otomatis menghilangkan pasar mobil Toyota buatan Australia di Thailand. Dengan tutupnya pabrik Toyota dan merek-merek lain di Australia bukan berarti, merek mobil Toyota langsung hilang dari peredaran di Australia.
Merek-merek seperti Toyota, Ford, atau Mitsubishi tetap eksis, tapi bukan lagi sebagai produk yang dibuat di Australia. Di sisi lain, perkara ribuan pekerjaan industri mobil yang hilang, masih akan jadi masalah besar yang akan dihadapi Australia dalam beberapa waktu ke depan, menurut Paul Difelice dari Serikat Pekerja Manufaktur Australia (AMWU).
“Politisi federal mengatakan semuanya akan baik-baik saja, karena hilangnya pekerjaan di dunia otomotif akan digantikan dengan pekerjaan lain yang juga memerlukan keterampilan tinggi,” ungkapnya.
“Tapi itu semua belum terjadi,” tambah Difelice seperti dilansir ABC.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra