tirto.id - Seruan Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, yang meminta masyarakat tak membayar pajak mungkin menyenangkan di telinga sekelompok orang. Orang-orang ini dikenal dengan nama: pengemplang pajak.
"Ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku pengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang yang selama ini memang enggan membayar pajak," kata Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam keterangan tertulis, Kamis (16/5/2019).
Dalam rilis resmi yang dilansir Rabu (15/5/2019) sore, Arief mengatakan tidak bayar pajak salah satunya adalah cara konkret untuk tak mengakui hasil Pilpres 2019 dan memboikot pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
"Masyarakat yang telah memberikan pilihan pada Prabowo-Sandi tidak perlu lagi mengakui hasil Pilpres 2019," kata Arief.
Pengemplangan pajak adalah perkara serius untuk Indonesia. Pada 2014, sebuah firma riset keuangan asal Perancis, Capgemini, pernah merilis publikasi tentang miliarder di Indonesia yang jumlahnya mencapai 47 ribu orang. Miliarder dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki liquid asset (aset mudah diuangkan) di atas 1 juta dolar AS atau setara Rp13 miliar (kurs saat itu).
Total kekayaan orang-orang tersebut, menurut laporan Capgemini, diperkirakan mencapai 157 miliar dolar AS atau Rp2.086 triliun.
Harusnya, duit para hartawan itu bisa mengalir ke kantong pajak hingga Rp600 triliun. Sebab, mereka wajib menyetor Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 sejumlah 30 persen dari penghasilan mereka yang jumlahnya di atas Rp500 juta/tahun.
Tapi faktanya tidak demikian. Bawono Kristiaji, peneliti pajak dari Danny-Darussalam Tax Center (DDTC) mencatat, kontribusi PPh 25/29 terhadap penerimaan pajak tahun 2015 cuma sekitar Rp9 triliun dari total penerimaan sebesar Rp1.055 triliun. Artinya, kontribusi PPh 25/29 tidak sampai 1 persen.
Tak heran jika kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kalau dia dan tim akan mengejar para konglomerat yang tak bayar pajak. Cara lain untuk memburu para pengemplang adalah menyediakan mereka karpet merah berupa tax amnesty.
Selain itu, boikot pajak juga merugikan kepentingan nasional serta sebagian besar masyarakat--termasuk pendukung Prabowo-Sandiaga--yang selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lain-lain.
"Kalau masyarakat enggak bayar pajak, justru akan meruntuhkan negara. Mau dari mana lagi dana pemerintahan?" kata peneliti pajak dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Adhevyo Reza, kepada reporter Tirto.
"Kalau enggak ada pajak, dari mana dana negara mau membangun dan memberi fasilitas publik? Fungsi negara enggak ada lagi," tambahnya.
"Mereka Hanya Ahli Pajak..."
Arief nampaknya tak mau ambil pusing dengan semua kritik ini. Menurut dia, semua kritik itu salah sasaran alias tidak nyambung.
"Mereka, kan, hanya ahli pajak, ahli keuangan. Saya ini kasih imbauan tolak bayar pajak dari perspektif politik," kata dia kepada reporter Tirto.
"Enggak mengerti apa-apa mereka itu. Mengertinya pengemplangan pajak saja," kata Arief menambahkan.
Namun, alasan "perspektif politik" pun tak kokoh karena usul ini bahkan tak didukung politikus sekutunya sendiri.
Ketua DPP Gerindra Desmons J. Mahesa bilang seruan boikot pajak adalah "pendapat pribadi Arief". Sementara Sandiaga Uno mengatakan pajak tetap dibutuhkan karena "negara lagi sulit, neraca perdagangan jeblok, dan ada pelambatan ekonomi."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino