tirto.id - Tim Ekonomi Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Wijayanto Samirin, mengatakan Indonesia perlu melakukan dedolarisasi meski sulit. Meski demikian, untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS atau dedolarisasi masih butuh waktu yang panjang.
Tantangan dedolarisasi saat ini adalah pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat masih terbilang kuat. Sedangkan, untuk negara lainnya seperti Cina dan Eropa mengalami perlambatan.
"Saya yakin prosesnya itu akan sangat panjang apalagi sekarang kita lihat pertumbuhan ekonomi Amerika itu kuat. Sementara Cina mengalami perlambatan, Eropa juga mengalami perlambatan," ujar Wijayanto di Graha CIMB, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Wijayanto juga melihat dedolarisasi sebagai fenomena yang unik. Pasalnya, jika berbicara mengenai ekonomi global maka rujukan terhadap dolar AS sudah terjadi begitu lama.
"Dedolarisasi adalah fenomena yang menarik. Tapi, kalau kita bicara ekonomi global kecanduan terhadap dolar AS ini sudah terjadi begitu lama ini tidak hanya masalah rasio tetapi juga masalah emosi, kebiasaan atau habit dan lain sebagainya dan dedolarisasi akan membantu," kata Wijayanto.
Namun, meski dedolarisasi membutuhkan waktu yang cukup panjang, Wijayanto tetap optimistis mempertimbangkan program ini untuk bisa dikalkulasikan sebagai bagian dari kebijakan nantinya.
"Ini menjadi bagian dari kalkulasi kita ketika kita ingin memasukkan dedolarisasi sebagai suatu faktor penting. Tapi, ini adalah sesuatu yang penting yang harus kita mesti masukkan dalam kalkulasi kita," ujar Wijayanto.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) tengah gencar mengajak sejumlah negara untuk melakukan dedolarisasi atau proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan dalam perdagangan. Salah satunya melalui kerja sama transaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT).
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, dengan model sistem pembayaran LCT diharapkan secara bilateral suatu negara tidak lagi melakukan konversi atau nilai tukar ketika melakukan transaksi perdagangan dengan negara tujuannya. Kondisi ini otomatis akan memperkuat penggunaan mata uang lokal masing-masing negara.
"Dengan semakin luasnya penggunaan local currency, tentu saja stabilitas nilai tukar juga akan lebih terjaga. Dan juga ini juga akan lebih efisien, biaya transaksi kan lebih murah," jelas Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, dikutip Selasa (9/5/2023).
Perry mengatakan saat ini pihaknya terus mempercepat dan memperluas kerja sama penggunaan LCT ke beberapa negara ASEAN lainnya. Adapun saat ini yang sudah bekerja sama dengan negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Cina, dan Korea Selatan.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang