tirto.id - Mobil Charron itu bergerak dari Matraman, Jakarta Timur, sore hari menjelang Maghrib. Lampu depan mobil mulai dinyalakan dan semua orang yang berada di dalamnya mengenakan kaca mata anti-debu. Setelah mencatat jam keberangkatan, mobil pun meluncur ke arah Buitenzorg (Bogor) melalui jalan yang cukup dilewati dua kereta kuda.
Salah satu pengendara mobil itu adalah Decnop, warga kebangsaan Perancis yang merupakan importir mobil di Yogyakarta. Pada Minggu, 11 Mei 1911, ia hendak melakukan perjalanan Batavia (Jakarta) - Surabaya yang berjarak 845 km melewati rute Jalan Raya Pos. Tujuannya sederhana, ingin menguji mobil hingga batas kemampuannya dan mengetahui berapa waktu yang dibutuhkan mobil untuk menuntaskan rute tersebut non-stop.
Decnop tidak sendiri. Ia ditemani oleh Du Croo, wartawan dari surat kabar di Semarang, De Locomotief, bersama dua orang lainnya. Duduk di mobil dengan ukuran tidak terlalu besar, mereka melewati pegunungan terjal di Jawa Barat, pedesaan di Jawa Tengah, hingga menyeberangi sungai menggunakan rakit sebelum sampai di Jawa Timur.
James Luhulima dalam Sejarah Mobil & Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini (2012) mengisahkan bahwa saat itu, Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels ini menjadi rute paling singkat menuju Jawa Tengah atau Jawa Timur dari Batavia. Pada awal abad ke-19, jalan ini merupakan rute utama kereta kuda, alat transportasi paling populer kala itu.
Kereta pos yang melaju cepat di jalan ini memperpendek waktu tempuh Batavia ke Surabaya, yang sebelumnya memakan waktu dua hingga tiga minggu, menjadi sekitar tujuh hari saja. Tentunya, perjalanan itu dilakukan pada musim kemarau, sebab pada musim hujan perjalanan kereta pos dari Batavia ke Surabaya atau sebaliknya akan memakan waktu sembilan hingga 10 hari (hlm. 56).
Lantas bagaimana dengan Charron, mobil lansiran Perancis yang dikendarai Decnop? Mengusung mesin 4-silinder bertenaga sekitar 12 dk, kendaraan ini terbukti mampu mempersingkat lagi waktu perjalanan ke Surabaya. Du Croo mencatat, pada Senin 12 Mei 1911, mobil telah sampai di Surabaya dengan waktu tempuh 19 jam dan 26 menit, dengan kecepatan rata-rata 44 km/jam.
Sontak pasca perjalanan Decnop, makin banyak orang-orang yang berpergian dengan mobil, terutama dari kalangan bangsawan. Berbagai merek mobil pun kemudian meramaikan ruas-ruas jalan di Hindia Belanda, baik itu mobil bermesin uap, bermesin pembakaran dalam, maupun mobil dengan motor listrik bertenaga baterai.
Sejak Kapan Trans Jawa Ramai Digunakan?
Perkembangan transportasi darat di Hindia Belanda ini mendorong pemerintah kolonial melakukan perubahan kebijakan terhadap jalan raya. Endah Sri Hartatik dalam Dua Abad Jalan Raya Pantura (2018) menuliskan bahwa pemerintah kolonial merespons dengan memperbaiki prasarana jalan dan jembatan dengan anggaran dari Departemen Pekerjaan Umum.
Maraknya penggunaan jalan raya yang ditandai dengan perbaikan jalan - terutama di jalan raya Pantai Utara Jawa (Pantura) - berimbas pada meningkatnya impor mobil. Jika pada tahun 1922 jumlah impor tercatat hanya 1.502 unit, maka pada tahun 1930-an, angkanya naik jadi 10.000-an unit (hlm. 10). Namun, penggunaan jalan raya yang sudah menguat sejak masa sebelum kemerdekaan waktu itu belum dapat menggantikan fungsi kereta api sebagai jalur utama transportasi barang dan orang, setidaknya hingga tahun 1960-an.
Nantinya, transportasi kereta api yang sebelumnya dominan lambat laun terpinggirkan seiring dengan angkutan jalan raya yang terus tumbuh. Tirto pernah melaporkan jika tak semua wilayah di Indonesia dapat dijangkau dengan kereta api. Dengan kondisi ini, bus dapat lebih diandalkan. Beberapa trayek bus tercatat telah ada sejak zaman kolonial, contohnya trayek Parakan – Wonosobo yang sudah ada sejak 1937.
Penggunaan jalan raya sebagai simpul penghubung antar wilayah di Jawa kemudian makin populer. Apalagi selama dua puluh lima tahun pemerintahan Orde Baru berkuasa telah terjadi perubahan arus utama transportasi darat.
Selama tahun 1969 – 1992, kereta api sebagai angkutan penumpang dan angkutan barang hanya mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 0,9 persen dan 5,9 persen. Kondisinya jauh berbeda dengan pertumbuhan angkutan jalan raya pada periode yang sama. Armada bus meningkat 15,4 persen, truk sebesar 12,4 persen, mobil penumpang 9,6 persen, dan sepeda motor sebesar 14,5 persen (hlm. 12).
Tumbuhnya transportasi darat di Jawa sejak 1970-an tersebut telah memperkuat posisi jalan raya, khususnya jalur Pantura, sebagai jalan utama yang menghubungkan wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Jalan yang menghubungkan dengan jalan-jalan darat di wilayah pedalaman ini terus mengalami pemeliharaan, rehabilitasi, dan peningkatan status jalan.
Evolusi Trans Jawa
Jelang hari-hari libur, terutama libur Idul Fitri, jalur darat di wilayah Jawa makin ramai dalam banyak pemberitaan. Jalan Raya Pos yang dulu lumrah dilewati kereta kuda kini telah berevolusi menjadi Tol Trans Jawa.
Cerita soal Tol Trans Jawa barangkali tak lepas dari sejarah Jasa Marga, yang ditunjuk pemerintah sebagai badan yang merencanakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara jalan tol sejak 1978. Dilansir dari situs resminya, Jasa Marga mulai mengoperasikan Tol Jakarta – Cikampek sepuluh tahun setelah resmi berdiri.
Sejak saat itu, rute ini jadi pintu gerbang menuju Jawa Tengah maupun Jawa Timur, khususnya bagi yang menggunakan alat transportasi darat. Para pemudik juga makin merasakan kemudahan menuju kampung halaman saat Tol Cipali resmi digunakan pada 2015.
Waktu perjalanan dari Jakarta menuju Jawa Tengah jadi relatif lebih singkat. Hal ini karena pengguna jalan tak melewati lagi jalur Pantura yang kerap terjadi kemacetan, terutama yang disebabkan oleh "pasar tumpah" jelang Hari Raya. Bahkan, perjalanan menuju Jawa Timur dalam waktu normal saat itu bisa memakan waktu hingga lebih dari 24 jam.
Pada Mei 2019, Tol Trans Jawa telah tersambung hingga Probolinggo dengan jarak sejauh 962 km. Artinya, pembangunan jalan tol yang jarak totalnya mencapai 1.150 km sampai Banyuwangi ini tak lama lagi akan selesai. Untuk diketahui, Tol Trans Jawa ini panjangnya akan mengalahkan Jalan Raya Pos yang tersambung dari Anyer hingga Panarukan.
Pada 2019 ini, sebanyak 14,9 juta orang atau sekitar 44,1 persen dari total 33,7 juta jiwa warga Jabodetabek akan melakukan mudik Lebaran, sebut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kemenhub Sugihardjo. "[Diperkirakan] Daerah tujuan terbanyak pemudik dari Jabodetabek adalah wilayah Jawa Tengah, sebanyak 5,6 juta orang atau 37,68 persen," katanya, Selasa (9/4).
Mayoritas pemudik asal Jabodetabek ini diprediksi akan menggunakan lajur transportasi darat. Sebanyak 4,45 juta orang (30 persen) diperkirakan akan menggunakan transportasi bus. Mobil pribadi, sementara itu, digunakan sebanyak 4,3 juta orang (28,9 persen). Lebih lanjut, kereta api digunakan sebanyak 2,48 juta orang (16,7 persen).
Sementara itu, pemudik yang menggunakan pesawat hanya mencapai 1,4 juta orang (9,5 persen). Hanya sebagian kecil pemudik yang diperkirakan akan memakai sepeda motor, dengan jumlah mencapai 942.621 orang (6,21 persen).
Adanya Tol Trans Jawa secara tak langsung membuat banyak pemudik ingin merasakan proyek infrastruktur terbaru ini. Perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya, yang dahulu perlu waktu berminggu-minggu, kini disebut bisa ditempuh sekitar 10 jam saja dengan mobil. Tentunya, dengan waktu tempuh normal dan pola perjalanan santai, tak seperti kisah Decnop dengan Charron-nya itu.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara