Menuju konten utama

Angkutan Mudik Tempo Doeloe

Berkembangnya transportasi di Indonesia, mulai dari kapal, kereta api, bis dan juga pesawat terbang, sangat membantu orang Indonesia untuk bepergian dan mudik ketika lebaran. Kereta api merupakan moda transportasi paling tua yang digunakan untuk mudik. Kini, moda transportasi mudik lebih beragam dari transportasi umum hingga transportasi pribadi.

Angkutan Mudik Tempo Doeloe
Calon penumpang menaiki kereta api di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Antara Foto/Muhammad Adimaja

tirto.id - Tradisi mudik sudah ada sebelum zaman Majapahit. Zaman dulu, mudik biasanya dilakukan menjelang musim panen. Kata Mudik, konon berakar dari bahasa Jawa ngoko (Jawa Kasar), mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Begitu menurut Jacob Sumardjo, seorang ahli kajian filsafat Indonesia. Masuknya Islam tentu membawa perubahan. Mudik tak hanya dilakukan di musim panen saja, tetapi juga menjelang Idul Fitri.

“Andaikata mudik berasal dari bahasa Arab: dho'a: hilang, mudli: orang yang menghilangkan, orang yang kehilangan. Menjelang lebaran orang berduyun-duyun pulang ke perantauan ke kampungnya masing-masing karena kehilangan, sehingga mudik untuk menemukan kembali,” tulis Emha Ainun Najib dalam Jejak Tinju Pak Kyai (2008).

Pada masa sebelum kedatangan Bangsa Eropa, masih sedikit orang-orang Indonesia yang merantau. Hanya beberapa suku seperti Bugis, Makassar atau Padang yang dikenal sebagai perantau pada era sebelum abad XIX. Tak semua perantau akan mudik ke kampung halamannya jelang lebaran. Apalagi di masa prakolonial.

Moda transportasi untuk mudik tergantung pada teknologi yang ada di masanya. Jalan kaki adalah cara paling umum di masa lalu. Segelintir orang memakai kuda atau pedati yang ditarik sapi. Tentu saja tak semua orang punya hewan tunggangan semacam kuda. Jika daerahnya kepulauan atau banyak sungai, perahu adalah cara untuk bepergian.

Kereta Api Sebagai Angkutan Masif Pertama

Barangkali, kereta api adalah angkutan modern lebaran tidak resmi pertama di Indonesia. Kereta api pertama di Indonesia beroperasi pada 1867 untuk jalur Semarang-Tanggung. Semula, kereta dimaksudkan untuk mengangkut hasil bumi untuk memperkaya kas Kerajaan Belanda. Dalam perkembangannya, kereta api kemudian menjadi moda angkut penting untuk pribumi.

Politik etis yang bergulir di pergantian abad XIX ke XX, disusul dengan maraknya industri dan perkebunan, memunculkan perpindahan penduduk dalam skala yang lebih besar. Ada yang ikut transmigrasi ke Lampung atau jadi kuli kontrak di Deli bahkan ke Suriname. Pascapolitik etis, barangkali adalah gelombang perantauan terbesar bagi orang-orang Jawa agraris. Perantau-perantau itu, banyak yang tidak bisa pulang kembali ke kampungnya. Mereka dibawa terlalu jauh dari kampungnya. Jawa akhirnya seperti Padang, Bugis dan Makassar yang punya banyak perantau.

Urbanisasi karena ramainya pekerjaan di kota dan makin sempitnya lahan pertanian di Jawa di awal abad XX, membuat kota-kota di Jawa seperti Surabaya atau Semarang menjadi ramai oleh perantau dari desa. Mereka rela menjual tenaga sebagai kuli. Perantau ini tak pergi jauh hingga ke luar Jawa. Jika asal daerah tapal kuda di Jawa Timur, mereka mungkin merantau ke Surabaya. Jika dari daerah Banyumas, mereka merantau di sekitar Semarang. Mereka hanya perlu naik kereta api, cikar atau dokar untuk bisa mudik ke kampung halaman.

Sebagai pulau yang paling terjajah di era kolonial, Jawa memiliki jalur transportasi paling lengkap dibanding pulau lain di Indonesia. Sebelum tahun 1945, kota-kota di Jawa sudah terhubung jalur rel kereta api. Kereta di Jawa pernah dikelola perusahaan-perusahaan seperti Staatspoors, Nederlandsch Indische Spoorwegs Maatschappij dan lainnya. Kereta itu tak hanya untuk angkut hasil bumi. Tapi juga angkut orang-orang pribumi yang lebih doyan naik kereta ketimbang orang Belanda sendiri.

Kereta api, sebelum ada bis di Jawa adalah transportasi rakyat yang sangat penting. Orang-orang pribumi lebih suka bepergian dengan kereta api, ketimbang orang-orang Eropa yang lebih suka tinggal di rumah, menurut Rudolf Mrazek, penulis Engineer of Happyland (2006). Jika menonton film Moeder Dao, stasiun kereta api lebih banyak dipadati orang-orang pribumi.

Jalur kereta api yang lengkap di zaman Belanda, hanya ada di Jawa. Jalur kereta di Sumatera, Sulawesi, dan lainnya baru dalam rencana. Dalam buku Aanleg van Staatspoorwagen in Nederlandsch Borneo en Zuid Sumatra (1891), dilampirkan peta rencana pembangunan jalur rel kereta api di Kalimantan bagian selatan dan Sumatera bagian selatan. Namun, jalur tersebut belum terwujud hingga sekarang.

Di zaman modern sekarang, kereta api masih favorit pemudik. Selain cepat, harganya juga terjangkau. Pada musim mudik 2016, Kementerian Perhubungan memperkirakan mengalami kenaikan jumlah penumpang sebanyak 4,63 persen menjadi 4.113.867 penumpang.

Bus Menjangkau Semua

Di wilayah yang tak terjangkau kereta api, bus menjadi andalan. Jelang lebaran, bus pun tak kalah sesak oleh penumpang. Setidaknya, sejak 1930an hingga sekarang bus adalah angkutan mudik yang diandalkan orang-orang Indonesia. Bus mengalami perubahan dari masa ke masa, mesinnya makin kuat dan daya tampung penumpang juga bertambah. Belakangan ada istilah full music dan full AC.

Keberadaan bus tak menggantikan peran kereta api di Jawa dan pulau lainnya. Bus muncul sebagai sarana angkut yang melengkapi peran kereta api di pulau-pulau besar Indonesia. Bus-bus itu didatangkan dari Eropa. Tak diketahui secara pasti kapan bus masuk pertama kali di Indonesia.

Beberapa bus yang ada di zaman kolonial misalnya untuk trayek Parakan-Wonosobo yang sudah ada sejak 1937. Di tahun yang sama, usaha angkutan bis bernama Naikilah Perusahaan Minang (NPM) yang didirikan Bahaudin Sutan Barbangso Nan Kuniang di Padang Panjang, Sumatra Barat. Perusahaan bis ini masih bertahan dengan armada-armada baru. Ayah dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Haji Kalla, pun seorang pengusaha angkutan bus di tahun 1950an. Nama usahanya Tjahaja Bone dengan trayek Makassar-Bone.

Jumlah bus di era modern ini semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kepolisian Republik Indonesia, pada 1987, terdapat 303.378 unit bis di Indonesia. Dalam sepuluh tahun jumlah bis meningkat hampir dua kali lipat, menjadi 611.402 unit di tahun 1997. Di tahun 2007, jumlahnya sudah mencapai 1.736.087 unit bis. Di tahun 2013, sudah mencapai 2.286.309 unit bus. Bus ini umumnya dimiliki perusahaan angkutan bus atau lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta.

Sayangnya, pamor bus semakin berkurang. Masyarakat kini lebih suka menggunakan kendaraan pribadi untuk menempuh jalur darat. Fleksibilitas di perjalanan dan kenyamanan menjadi pertimbangan masyarakat memilih kendaraan pribadi baik mobil maupun motor. Kementerian perhubungan memperkirakan, pengguna mudik dengan mobil pada mudik 2016 naik 4,5 persen menjadi 2,4 juta mobil. Sementara pemudik dengan sepeda motor diprediksi naik hingga 50 persen atau 5,6 juta. Sementara penumpang yang menggunakan angkutan umum di jalan diprediksi turun 7,87 persen menjadi 17,6 juta orang.

Pesawat dan Kapal Laut

Belasan tahun terakhir, pesawat mulai menjadi sarana mudik favorit karena kemudahan dan kecepatannya, meski harga yang harus dibayar lebih mahal. Sebelumnya pesawat adalah transportasi yang bisa dibilang mewah. Sejak munculnya maskapai penerbangan dengan biaya miring, banyak orang beralih ke pesawat untuk bepergian di hari biasa atau mudik kala lebaran.

Pesawat memungkinkan perantau yang jauh dari kampung halamannya, terutama yang berbeda pulau, untuk mudik dalam waktu setengah hari. Pada arus mudi 2016, pesawat kembali menjadi favorit. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memperkirakan, jumlah penumpang angkutan udara akan naik hingga 7,6 persen menjadi 4.648.047 juta penumpang.

Menurut Menhub Jonan, kenaikan jumlah penumpang pada moda angkutan udara tersebut menggambarkan masyarakat Indonesia yang semakin menghargai waktu dan memiliki daya beli lebih baik dibandingkan tahun lalu.

“Selain itu, dengan pengembangan kapasitas dan pelayanan di bandara yang selama ini dilakukan, standar pelayanannya semakin membaik, navigasi semakin baik, penerbangannya semakin disiplin sehingga semakin naik penumpangnya,” jelas Menhub Jonan.

Meski demikian, kapal laut juga tidak kalah sepi karena harganya terjangkau. Mudik dengan kapal laut juga digunakan oleh mereka-mereka yang memiliki kelonggaran waktu, mengingat perjalanan harus ditempuh lebih lama. Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah penumpang yang mudik menggunakan kapal laut pada Lebaran 2016 akan naik 3 persen menjadi 910.191 penumpang.

Jadi, apa pilihan transportasi mudik Anda?

Baca juga artikel terkait MUDIK LEBARAN 2016 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti