tirto.id - Pemudik barangkali masih ingat dengan memori kemacetan parah di tol Brebes Timur, atau yang kemudian dinamai Brexit, akronim dari Brebes Timur Exit. Saat itu musim Lebaran 2016, pemerintah ingin memanjakan pemudik dengan infrastruktur baru berupa Seksi I Tol Pejagan – Pemalang.
Namun, karena hampir semua pemudik melewati ruas tol yang kini telah menjadi bagian Tol Trans Jawa, kemacetan luar biasa tak terhindarkan. Ratusan hingga ribuan orang terpaksa berlebaran di jalan, bahkan sampai ada korban jiwa pada peristiwa itu.
Tiga tahun setelah kejadian itu, Tol Trans Jawa nyaris tersambung seluruhnya. Pengalaman pemudik melewati Brexit yang macet total kemungkinan besar tak akan terulang. Sejak peristiwa tersebut, dari Brebes hingga Semarang, lanjut ke Solo, dan terus sampai ke Surabaya secara bertahap mulai tersambung jalan tol.
Saat ini, Tol Trans Jawa telah tersambung dari Merak sampai Probolinggo sejauh 962 km. Untuk pertama kalinya, pemudik sudah bisa merasakan ruas tol terpanjang di Indonesia pada musim Lebaran 2019.
Setelah Tol Trans Jawa dapat dilewati, ancaman bagi pemudik bukan lagi kemacetan, melainkan kecelakaan. Oleh karena itu pemudik diharapkan tetap memperhatikan keselamatan. Sebab Tol Trans Jawa rupanya telah punya beberapa catatan insiden. Tirto sebelumnya melaporkan setidaknya ada 14 kecelakaan yang terjadi sejak Juni 2018 hingga Maret 2019.
Lokasi kecelakaan mayoritas berada di ruas tol Cipali, di mana kondisi jalan didominasi trek lurus. Sedikit saja pengemudi lengah, terutama pada saat kecepatan tinggi, mobil bisa mengalami kecelakaan fatal.
Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, organisasi yang fokus pada masalah transportasi memberikan perhatian dari rangkaian kecelakaan lalu lintas di Tol Trans Jawa. Menurutnya, kecelakaan umumnya terjadi karena faktor pengemudi yang lalai.
“Karena jalan tol masih baru, pengguna tol kerap lalai mengikuti aturan. Bahkan tidak jarang pengguna tol dengan bangganya melaju dengan kecepatan tinggi. Seolah-olah sirkuit balapan mobil,” ujar Djoko kepada Tirto.
Selain abai dengan peraturan lalu lintas, Djoko juga mengatakan ada euforia yang berlebihan dari pengemudi saat melewati jalan tol baru. Hal ini membuat pengguna jalan kerap memacu kendaraan melewati batas maksimal.
“Inilah pekerjaan rumah pemerintah. Edukasi kepada pengemudi harus kembali digalakkan. Doktrin jalan tol lebih cepat dari non tol harus diubah karena ini juga mendorong pengemudi memacu kendaraan lebih cepat,” terangnya.
Mengenai ketentuan berkendara di jalan tol sebetulnya telah diatur lewat Peraturan Menteri Perhubungan No. 111/2015, yang menyebutkan batas kecepatan di jalan bebeas hambatan paling rendah 60 km/jam dan paling tinggi 100 km/jam.
Di samping itu waktu berkendara pengemudi juga diatur, berdasarkan Pasal 90 UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatakan waktu berkendara paling lama 8 jam dalam sehari.
Mengantuk Jadi Penyebab Kecelakaan
Marcell Kurniawan, Traning Director The Real Driving Center (RDC), menyebutkan jika mengantuk jadi faktor utama kecelakaan di jalan. Oleh karena itu agar fit selama berkendara di Tol Trans Jawa, ia menyarankan pemudik mendapat istirahat yang cukup.
Terlebih saat melewati jalan lurus puluhan hingga ratusan kilometer, pengemudi disebut mudah kehilangan konsentrasi. “Usahakan memiliki tandem bila harus mengemudi dengan waktu tempuh lebih dari 6 jam. Selain itu isi perjalanan dengan obrolan bersama penumpang agar terhindar dari rasa bosan,” jelasnya kepada Tirto.
Tak hanya itu, sejumlah laporan juga menunjukkan bahwa pengemudi yang mengantuk jadi penyebab kecelakaan mobil. Salah satunya Alexandra Martiniuk dkk, peneliti dari The George Institute for Global Health di Sydney Australia, yang mengatakan jika kurangnya waktu tidur memengaruhi performa dalam mengemudi.
Martiniuk beserta rekannya mempelajari catatan mengemudi lebih dari 19.000 pria dan wanita, yang berusia 17 hingga 24 tahun. Pengemudi yang baru punya SIM ini diminta untuk mengisi kuesioner berisi pertanyaan spesifik tentang jam tidur mereka. Peneliti kemudian memeriksa catatan polisi terkait tabrakan di jalan selama dua tahun berikutnya setelah pengemudi legal berkendara.
“Mereka yang tidur enam jam atau kurang mengalami peningkatan risiko kecelakaan dibanding mereka yang tidur lebih dari enam jam. Sementara orang yang tidur dengan waktu lebih sedikit berpotensi mengalami kecelakaan lebih besar 21 persen ketimbang mereka yang tidur lebih banyak,” kata Martiniuk seperti dilansir dari NBC News.
Laporan ini juga mengatakan, bahwa faktor mengantuk saat berkendara merupakan masalah yang dialami hampir di seluruh dunia. “Tidak hanya pemula, sejumlah pengemudi dewasa di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dilaporkan juga mengalami kecelakaan yang disebabkan kelelahan,” catat Martiniuk.
Pada akhirnya, berkendara di jalan tol memang punya risiko. Namun bila melihat sejarahnya, faktor kelalaian jadi sumber masalah. Bagi pengemudi, istirahat yang cukup jadi kunci sukses pulang ke kampung halaman dengan selamat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti