tirto.id - Negara-negara Afrika kini tengah meningkatkan langkah-langkah untuk mendeteksi dan mengendalikan penyebaran varian Omicron karena peningkatan kasus COVID-19 secara masif di negara tersebut setiap minggunya, yang mencapai 54 persen, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di Afrika, varian Omicron kini telah terdeteksi di empat negara, dengan Ghana dan Nigeria menjadi negara Afrika Barat pertama dan terbaru di benua itu yang melaporkan penyebaran varian Omicron. Sejauh ini, Botswana dan Afrika Selatan masing-masing telah melaporkan 19 dan 172 kasus varian Omicron. Secara global, lebih dari 20 negara telah mendeteksi varian tersebut hingga saat ini.
Sementara itu, Afrika Selatan menjadi bulan-bulanan karena jadi negara pertama yang menemukan varian COVID Omicron. Di media sosial Facebook misalnya, salah satu akun bernama Klaus Swab Pcr menuliskan bahwa tujuan utama dari “propaganda” varian Omicron di Afrika adalah untuk "memaksakan" program vaksinasi COVID-19 di benua tersebut.
Akun ini mengunggah klaim tersebut pada 28 November 2021 lalu. Dalam unggahannya, akun Klaus Swab Pcr juga menaruh berita serta tangkapan layar situs CNBC Indonesia.Beritayang direferensikan sendiri berjudul “Tanpa Masker & Vaksin Kasus Covid Afrika Minim, Mengapa?” dan tangkapan layar dari tulisan berjudul “The Covid-19 Omicron 0000 Variant: Towards a Fourth Wave Lockdown? Pretext to Introduce New Repressive” atau artinya “Varian Covid-19 Omicron 0000: Menuju Lockdown Gelombang Keempat? Dalih untuk Memperkenalkan Represif Baru”.
Sebab, menurut akun itu pula, mayoritas penduduk di Benua Afrika menolak vaksinasi COVID-19. Dengan demikian, kasus COVID-19 di benua itu sendiri sangat rendah jika dibandingkan benua lainnya yang menerapkan vaksinasi kepada penduduk mereka.
Narasi lanjutan yang disampaikan akun ini bahwa larangan penerbangan dari dan ke sejumlah negara di benua Afrika, dan juga penolakan kedatangan, adalah upaya untuk menjatuhkan sektor ekonomi Afrika agar mereka pada akhirnya mau melakukan vaksinasi.
Lantas, bagaimana sebetulnya kebenaran di lapangan? Mengapa angka vaksinasi di Afrika masih rendah?
Penelusuran Fakta
Tirto mengecek tangkapan layar artikel yang diunggah oleh akun Facebook Klaus Swab Pcr. Pertama, artikel berjudul “The Covid-19 Omicron 0000 Variant: Towards a Fourth Wave Lockdown? Pretext to Introduce New Repressive” yang ditulis oleh Prof. Michel Chossudovsky. Kami berusaha mencari artikel ini melalui mesin telusur Google, namun tak menemukan artikel yang dimaksud.
Kami juga mencari tahu siapa Prof. Michel Chossudovsky. Menurut hasil pencarian, ia adalah profesor emeritus Ekonomi di University of Ottawa. Ia juga menjalankan situs Globalresearch.ca sejak 2001. Situs tersebut, meskipun mengklaim diri sebagai komponen daring dari Centre for Research on Globalization, nyatanya memuat berbagai teori konspirasi.
Salah satu unggahan artikel terbaru di situs tersebut, tertanggal 26 November 2021, yang ditulis oleh Chossudovsky sendiri, menyebut bahwa tes reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) tidak bisa mengonfirmasi bahwa seseorang terkena penyakit COVID-19, dan bahwa jumlah konfirmasi positif COVID-19 hanyalah akal-akalan agar orang-orang mau divaksin. Pandemi sendiri, menurut artikel tersebut, tidak nyata.
Banyak media seperti The Globe and Mail yang juga menyoroti disinformasi yang disebarkan oleh situs Global Research, termasuk soal teori konspirasi 9/11.
Tirto juga menelusuri artikel CNBC Indonesia yang berjudul “Tanpa Masker & Vaksin Kasus Covid Afrika Minim, Mengapa?”. Artikel itu sendiri menjelaskan mengapa kasus COVID di Afrika minim. Beberapa analis yang dikutip CNBC memprediksi hal ini disebabkan rendahnya mobilitas antar penduduk di Afrika. Beberapa penelitian yang dimaksud CNBC juga menyebutkan bahwa wabah yang pernah menyerang benua tersebut membuat masyarakat lebih kebal. Artikel CNBC sendiri dipublikasikan pada 21 November 2021.
Namun, sepertinya banyak yang tidak setuju dengan penjelasan CNBC di atas ini. Mosoka Fallah, ahli kesehatan masyarakat di Indiana University dan yang juga bekerja di Refuge Place International, organisasi non-pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Liberia, menulis artikel di jurnal Nature terkait kematian masal di Afrika karena COVID. Ia menulis artikel berjudul “Remember Ebola: stop mass COVID deaths in Africa” pada Juli 2021 ketika kasus kematian akibat COVID-19 mulai meningkat di Afrika saat itu.
Pada saat itu, di Afrika, case fatality rate atau tingkat kasus kematian akibat COVID-19 mencapai 18 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata global. Angka ini jadi lebih parah pada mereka dengan penyakit parah. Lebih dari setengah yang masuk ruang perawatan khusus meninggal dalam 30 hari.
Mosoka mengingatkan pembaca mengenai wabah Ebola pada 2014 yang menginfeksi dan membunuh pekerja kesehatan dalam jumlah yang tidak proporsional. Jumlah petugas kesehatan tersebut juga terhitung sedikit di Liberia, tempat Mosoka bekerja.
Sebagai tambahan informasi, dampak epidemi Ebola di Afrika Barat sangat buruk. Sebanyak 28.616 kasus dan 11.310 kematian dilaporkan di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone dalam kurun 2014 hingga 2016, seperti dilaporkan CDC.
Menurut Mosoka lagi, yang merupakan Kepala Pendeteksi Kasus Ebola di Liberia ketika krisis terjadi di negara tersebut pada 2014, dunia butuh 8 bulan hingga akhirnya bertindak. Mosoka sendiri masih ingat, bagaimana ia berurai air mata di rumah para keluarga yang terdampak penyakit tersebut. Kini, ia sendiri mengupayakan agar para pemimpin dunia tak terlambat bertindak di tengah COVID-19.
Maka, alangkah tidak sensitifnya menyebut bahwa orang-orang Afrika lebih kebal terhadap COVID karena telah punya pengalaman dengan Ebola.
Selain itu, perlu pula diketahui bahwa angka vaksinasi yang masih rendah di Afrika. Menurut Our World in Data, per 5 Desember 2021, baru 7,5 persen saja penduduk Afrika yang sudah divaksinasi secara penuh dari total penduduk di Afrika kurang lebih 1,34 miliar (per 2020). Sementara sebagai perbandingan, negara-negara berpenghasilan tinggi telah melakukan vaksinasi terhadap lebih dari 40 persen penduduknya, menurut data WHO per Oktober 2021.
Menurut WHO, akses terbatas pada komoditas seperti jarum suntik juga memperlambat vaksinasi di Afrika. UNICEF telah melaporkan kekurangan 2,2 miliar jarum suntik yang akan segera berdampak pada vaksinasi COVID-19 dan vaksinasi secara umum pada 2022. Beberapa negara seperti Kenya, Rwanda, dan Afrika Selatan juga mulai mengalami keterlambatan penerimaan jarum suntik.
Menurut catatan WHO pula pada artikel bulan Oktober 2021, hampir 8,5 juta kasus COVID-19 dan lebih dari 217.000 kematian tercatat di Afrika. Pada minggu ketiga Oktober saja, ada lebih dari 29,3 ribu kasus baru di Afrika. Menurut data Reuters, per 7 Desember 2021, ada 8,83 juta kasus COVID-19 di benua Afrika dan 224.000 kematian akibat penyakit tersebut.
Selain itu, alasan lain mengapa vaksinasi di Afrika masih rendah adalah karena negara-negara berpenghasilan tinggi yang menyimpan stok vaksin dalam jumlah besar. Hal ini juga disampaikan Mosoka dalam pembahasannya, dan juga dibahas lebih jauh dalam laporan Health Justice Initiative pada Agustus 2021. Pada laporan tersebut terlihat adanya gap antara perbandingan jumlah komitmen penyaluran vaksin dengan jumlah vaksin yang telah disalurkan. Kurang lebih baru ada sekitar 55 persen dari jumlah total komitmen penyaluran vaksin sebesar 62,1 juta yang telah disalurkan, termasuk kontrak dengan Pfizer dan Johnson & Johnson.
Sementara itu, Afrika malah menerima konsekuensi seperti pelarangan perjalanan setelah mengumumkan soal penemuan varian Omicron. Padahal, varian Omicron kebetulan saja ditemukan di Afrika, juga karena ‘genome sequencing’ (upaya untuk mengetahui penyebaran mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 di laboratorium) yang masif di kawasan ini. Padahal, bukan tidak mungkin varian Omicron telah menyebar di tempat lain seperti Eropa atau Amerika.
Maka dari itu, di tengah permasalahan yang terjadi di Afrika saat ini, vaksinasi yang rendah dan varian Omicron yang baru ditemukan, segala stigmatisasi terhadap kawasan ini adalah hal terakhir yang mereka harapkan.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa varian Omicron bukanlah untuk propaganda vaksinasi di Afrika. Klaim yang disampaikan melalui media sosial Klaus Swab Pcr bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty