tirto.id - Kala publik sedang menikmati Piala Dunia 2018, sebuah tim sepak bola anak-anak justru menghilang. Selama belasan hari, 12 anak dan seorang asisten pelatih dari tim Wild Boars terperangkap di Gua Tham Luang lantaran banjir menggenanginya.
Peristiwa itu sontak memicu perhatian internasional. Bantuan dan relawan berdatangan, ucapan serta kartun penyemangat bertebaran hadir di media sosial, dan semua orang sepertinya tahu, hanya menunggu waktu saja peristiwa dramatis itu difilmkan.
Tak butuh waktu lama, memang. Selainliputan mendalam yang dengan mudah bisa ditemukan di Youtube, kita juga disuguhi dokumenter National Geographic berjudul The Rescue (2021) hingga feature film seperti The Cave (2019) arahan sutradara Tom Waller.
Dan yang terkini, rilis sejak 5 Agustus 2022 di Prime Video, hadir film arahan sutradara kawakan Ron Howard: Thirteen Lives.
Drama Akurat dan Intens
Pada pengujung Juni 2018, belasan anak usia 11-16 tahun di Thailand Utara berlatih sepak bola seperti biasa. Selepas berlatih, mereka melakukan hal yang juga sangat biasa, yaitu mengunjungi Gua Tham Luang Nang Non di rangkaian Pegunungan Doi Nang Non dekat perbatasan Myanmar.
Thirteen Lives tidak banyak berbasa-basi menceritakan bagaimana anak-anak itu terjebak di gua karst yang dalamnya mencapai 10 km itu. Kita hanya tahu mereka terjebak karena hujan deras serta-merta menggenangi gua lantaran monsun datang lebih cepat dari biasanya (semestinya Juli).
Para orang tua lantas berdatangan, diikuti pemerintah setempat dan Royal Thai Navy SEAL. Berita insiden itu pun tersebar cepat ke seluruh dunia. Dari dalam gua yang tergenang, para penyelam mengabarkan bahwa visibilitasnya rendah, ruang bermanuver yang sempit, hingga arus yang deras.
Di hari pertama upaya penyelamatan, para orang tua menyaksikan para penyelam kembali dalam kondisi kepayahan dan luka-luka.
Para relawan memompa air ke luar gua, sementara di atas gunung, sejumlah relawan lain menutup sinkhole, membendung, dan mengalihkan aliran air hujan agar tidak meluncur deras menuju gua. Situasi makin menggentarkan kala seorang relawan bernama Saman Kunan, mantan personel Navy SEAL Thailand, tewas dalam penyelaman akibat kehabisan oksigen.
Seiring kedatangan ratusan relawan dari berbagai negara, dua cave diver berpengalaman pun tiba, yakni Richard "Rick" Stanton (Viggo Mortensen) dan John Volanthen.
Kisah pun lantas berfokus pada upaya penyelamatan Wild Boars. Kisah-kisah lain di sekeliling upaya penyelamatan itu pun turut bergulir, seperti drama gubernur yang rumornya bakal dipecat dan drama relawan lainnya yang mengurusi pompa dan mengalihkan air.
Bagi mereka yang percaya urusan mistis, banjir itu tak lain adalah air mata putri tidur Nang Non. Sementara itu, media mengabarkan bahwa setiap napas anak-anak itu terus menambah kadar karbon dioksida di dalam gua.
Hingga pada hari kesepuluh, Rick dan John menyelam lebih jauh lagi dari siapa pun. Mereka menyusuri koridor-koridor sempit dan mencapai bagian chamber 9, sekitar 4 km dari mulut gua atau 6 jam penyelaman melawan arus.
Di sana, mereka mendengar suara-suara dan menemukan 13 jiwa meringkuk di ceruk gua. Anak-anak Wild Boars masih hidup.
"Bagaimana kalian bisa sekuat itu?" tanya sang penyelam.
"Kami tim, kami menolong satu sama lain," ujar salah satu anak yang bisa berbahasa Inggris.
Sang pelatih meminta maaf atas kelalaiannya yang membuat anak-anak itu terperangkap di gua. Namun, anak-anak justru membelanya dan meyakinkan para penyelam bahwa sang pelatih membuat mereka mampu bertahan hidup.
Ini sekaligus menyoroti kontroversi di kehidupan nyata. Sebagian pihak beranggapan bahwa sang pelatih semestinya dihukum, tapi anak-anak dan orang tua mereka justru berpendapat sebaliknya.
Belumlah setengah film ketika Rick, yang baru saja mendapati anak-anak itu masih hidup, merasa skeptis. Bahwa mereka selamanya akan terjebak di sana, hanya menunggu ajal manakala oksigen telah mencapai zona merah—penilaian yang sepenuhnya logis.
Penggambaran Rick sebagai tokoh yang realistis itu ditampilkan dengan baik oleh Viggo Mortensen dan diimbangi dengan baik pula oleh Colin Farrell yang menampilkan karakter yang lebih optimis.
Meski terkesan ogah-ogahan, Rick toh lantas menjadi karakter yang paling bersemangat untuk menyelamatkan anak-anak itu. Dia juga akhirnya mencetuskan ide gila yang ternyata paling memungkinkan di tengah keputusasaan.
Rick memanggil rekan penyelamnya yang juga ahli anestesi Richard "Harry" Harris (Joel Edgerton). Dokter Harry lantas membius anak-anak sembari membicarakan Piala Dunia, meyakinkan mereka bahwa mereka akan diangkut oleh penyelam terbaik dunia.
Penyelamatan pun kian dramatis karena mereka harus berpacu dengan waktu. Juli sudah tiba dan monsun akan menghadirkan hujan yang lebih hebat, sementara kadar oksigen dalam gua terus menipis.
Metode pengiriman "kargo berharga" itu digambarkan cukup menegangkan. Sesekali, ada anak-anak yang berhenti bernapas selama prosedur, sedangkan air kian meninggi. Itu semua ditampilkan sinematografer Sayombhu Mukdeeprom dalam tangkapan bawah air yang mencekam.
Ada suasana realistis seperti dinding yang jebol dihantam air, kepanikan manusia, terus mengingatkan betapa sulit—kalau bukan mustahilnya—upaya ini. Satu perbedaan kecil dari realitas mungkin adalah kejernihan air yang dimaksudkan demi menangkap gambar para penyelam.
Dari kabar yang beredar, para penyelam sejatinya bahkan kesulitan melihat tangan mereka sendiri di dalam air yang sangat keruh. Begitu pula penggambaran arus kencang yang tampaknya tak begitu terasa.
Yang pasti, sebagaimana kisah aslinya, ada intensitas ketegangan yang terus terjaga sampai akhir film.
Berbeda dari Dokumenter yang Telah Ada
Ron Howard memilih arah penceritaan yang realistis dengan beberapa perubahan minor. Demi berfokus pada segala hal yang terjadi pada 18 hari itu, Thirteen Lives harus menghilangkan atau mempersingkat beberapa bagian.
Sorotan yang lebih mendalam soal para penyelam, misalnya, bisa ditemukan pada dokumenter The Rescue (2021) yang menyertakan proses penunjukan dan pendatangan para expert cave diver dari Inggris.
Dalam dokumenter yang sama, juga ditunjukkan bahwa para prajurit Royal Navy sama sekali belum pernah melakukan operasi penyelamatan semacam ini. Perdebatan sengit sempat terjadi antara Angkatan Laut Thailand dan para penyelam Britania. Begitu pula soal pertanggungjawaban.
The Rescue menyiratkan bahwa risiko ditanggung sepenuhnya oleh para penyelam. Begitu pula kematian anak-anak saat penyelamatan bisa saja ditimpakan pada mereka. Sementara di dalam Thirteen Lives, sosok gubernur setempat digambarkan bersedia menjadi penanggung jawab metode penyelamatan yang melibatkan pembiusan.
Sekilas, kita bisa melihat bahwa ini adalah upaya Ron Howard untuk menyingkat durasi dan fokus pada hal-hal esensial. Menyebutnya sebagai upaya untuk meningkatkan tensi drama rasanya kurang pas, mengingat dalam dokumenternya yang faktual, hal-hal tersebut justru menambah kesan dramatis, kalau bukan lebih dramatis ketimbang filmnya.
Langkah-langkah yang diambil Ron Howard itu barangkali bisa disimpulkan sebagai upaya untuk menghilangkan atau mereduksi kesan white savior untuk film ini.
Superhero Dunia Nyata
Terdapat beberapa hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut dari film ini. Pasalnya, materi sumbernya saja sudah penuh sengkarut dramatis. Thirteen Lives setidaknya berhasil menangkap dedikasi, determinasi, mental dan fisik tangguh, sangat tangguh, para penyelamat.
Bagaimanapun, kisah aslinya sangat berpotensi dibawakan dengan gaya melodramatis atau kelewat heroik. Kendati condong ke gaya yang lebih realis, Thirteen Lives tetap mampu memicu simpati dan menghangatkan hati.
Ia juga mampu menghadirkan kegelisahan, kecemasan (sebaiknya tidak ditonton pengidap klaustrofobia), maupun horornya kematian Saman Kunan. Tetap emosional pada takaran yang pas dan tidak menyepelekan banyak aspek dalam kejadian ini, yang dipepatkan dalam durasi yang cukup.
Di baliknya, terdapat set dan produksi memukau yang menampilkan peristiwa secara runut dan realistis. Ia bisa menjadi pilihan di antara feature film atau dokumenter bertema serupa, seperti Sanctum (2011) atau Diving Into the Unknown (2016).
Thirteen Lives merupakan adaptasi yang layak untuk sebuah misi penyelamatan mustahil para pahlawan dunia nyata dan mungkin jadi film yang cocok untuk merestorasi kepercayaan kepada kemanusiaan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi