tirto.id - Publik Amerika Serikat mengenal Detroit sebagai kota yang—mengutip pepatah lama—mati segan, hidup pun tak mau. Bangkrutnya industri motor dan pasar perumahan yang menopang kota ini hampir beberapa dekade lamanya adalah dua penyebab utamanya.
Imbas dari kolapsnya perekonomian begitu terlihat di berbagai sudut kota. Di jalanan Warren, wilayah pinggiran, misalnya, Anda akan menjumpai deretan toko, hotel, hingga bar yang sudah tak terurus. Alih-alih berfungsi sebagaimana mestinya, tempat-tempat tersebut justru jadi lahan hunian para gelandangan dan imigran.
Sementara perekonomian masih belum menunjuKkan tanda-tanda perbaikan, banyak masyarakat Detroit yang lantas mengandalkan bisnis prostitusi dan obat-obatan terlarang demi menjaga dapur rumah tetap mengepul. Masa depan Detroit pun semakin bertambah gelap.
Tapi, segala kegelapan dan kemuraman itu bisa juga jadi inspirasi. Sekitar dua dekade silam, pemuda lokal bernama Marshall Bruce Mathers III memutuskan untuk mengubah hidupnya lewat hip-hop—hasilnya begitu luar biasa. Kelak, publik mengenal pemuda tersebut dengan identitas Eminem, dan semuanya bermula dari album The Slim Shady LP yang hari ini, tepat 20 tahun lalu, dilepas untuk khalayak ramai.
Diawali dengan Kegagalan
Hidup di kota yang penuh keputusasaan mendorong Eminem memberontak. Musik hip-hop dipilih sebab ia paham bahwa hanya dengan musik inilah kegelisahannya dapat meluncur bebas. Ia bisa membungkus musiknya dengan humor, juga bisa membalutnya dengan sarkasme. Di lain sisi, hip-hop dipilih karena Eminem punya ambisi mendobrak pakem—orang kulit putih tak bisa jadi rapper yang bagus.
Pada awal kemunculannya, lagu-lagu Eminem banyak bertutur tentang kehidupan masa kecilnya. Secara spesifik: ia mengutuk kondisi keluarganya yang miskin, juga hubungan dengan orangtuanya yang disfungsional. Debut karyanya terjadi pada 1996, ketika ia masih bekerja serabutan sebagai pencuci piring demi memenuhi biaya hidup anak perempuannya. Album debutnya diberi judul Infinite, didistribusikan secara independen oleh label kecil di Detroit yang dijalankan Mark dan Jeff Bass.
Hasilnya bisa diprediksi: Infinite gagal total, baik secara kualitas maupun penjualan. Album Infinite dipandang kelewat kaku dan masih mengeksplorasi tema-tema yang biasa diangkat hip-hop. Pendek kata, Infinite tak istimewa.
Kegagalan itu membikin Eminem limbung dan sempat mendorongnya untuk bunuh diri. Namun, masa kelam ini tak berlangsung lama. Pada 1997, Eminem mencoba bangkit. Ia memulai semuanya dari nol: menjelajah kamus untuk mencari kata-kata yang berima, hingga menghabiskan lebih banyak waktu di studio.
“Orang itu adalah tikus studio,” terang Terry Simaan, pemilik Oh Trey 9, salah satu label hip-hop paling berpengaruh di Detroit. “Ia bisa menghabiskan 12 sampai 15 jam per harinya di studio.”
Militansinya itu mampu menghasilkan enam lagu. Tak dinyana, keseluruhan materi yang diciptakannya menarik perhatian Dr. Dre, personel N.W.A sekaligus pemilik label Aftermath. Dr. Dre pun bersedia memproduseri sebagian materi yang dibikin Eminem. Kontrak rekaman lantas ditandatangani oleh Eminem, Aftermath, dan juga Interscope.
Album Frontal
Album Slim Shady mengubah Eminem dari rapper antah berantah menjadi selebritas dunia.
Di album ini, ia menggunakan alter egobernama Slim Shady. Berbeda dengan album sebelumnya yang terkesan “main aman”, di Slim Shady, Eminem lebih dinamis, akrobatik, angkuh, dan yang paling penting, frontal. Ia, misalnya, dengan bangga memberi tahu kepada pendengar bahwa ia merokok ganja, menyetir dalam keadaan mabuk, hingga menyebut sang ibu tidak cukup diberkahi untuk menyusuinya.
Lagu-lagu Slim Shady adalah gambaran bagaimana imajinasi Eminem bergerak dengan liarnya serta menerabas batas-batas norma yang ada. Ia merupakan gabungan dari komedi dan satir, yang melukis potret seorang pria—Eminem sendiri—yang sudah merasa lelah (atau mungkin muak?) dengan kehidupan.
Lewat Slim Shady, Eminem seperti ingin mengolok-olok banyak hal. Di “Role Model”, contohnya, Eminem menolak gagasan rapper sebagai pahlawan. Lalu, lewat “Rock Bottom” Eminem berbicara tentang uang, ketenaran, serta perempuan.
Tapi, di luar itu, Eminem bisa juga menjelma menjadi karakter yang ganas dalam mengumbar kata-kata. Anda bisa menyimaknya dalam “’97 Bonnie & Clyde”, ketika Eminem menjelaskan kepada putrinya bahwa ia baru saja membunuh ibunya dan membuang tubuhnya ke sungai. Kebrutalannya tak berhenti sampai sini. Di nomor “Guilty Conscience”, Eminem menganggap kencan bisa berujung pemerkosaan. Kemudian di “If I Had”, Eminem ingin mengubah dunia sebagai tempat berkumpulnya para pecandu alkohol.
Kekuatan album Slim Shady terletak pada dua hal. Selain kepiawaian Eminem memilih tema dan meramu rima, juga karena campur tangan Dr. Dre. Semenjak mengantarkan Death Row menguasai tangga lagu hip-hop, sinar Dr. Dre, sebagai produser, sempat meredup. Namun, kondisi itu berbalik ketika ia menggarap album Eminem.
Berkat sentuhan Dr. Dre, Slim Shady terdengar begitu gagah—dan sombong. Ketukan G-Funk, alur midtempo, serta warna West Coast yang diteteskan Dr. Dre di tiap lagu membuat album ini menjadi lebih bernyawa.
Ada harga yang harus dibayar oleh album ini. Seiring ketenarannya yang perlahan tumbuh, Eminem menjadi magnet bagi kontroversi. Ia dituduh melanggengkan penggunaan narkoba, kekerasan terhadap perempuan, hingga punya sikap homophobia. Bahkan, Presiden George Bush menyebutnya sebagai “ancaman terbesar anak-anak AS sejak [penyakit] polio.”
Toh, Eminem tak ambil pusing. Ia terus melaju, tak peduli seberapa banyak—dan besar—tekanan yang ditujukan kepada dirinya, sehubungan dengan lagu-lagunya yang nakal, frontal, lucu, dan apa adanya. Selepas Slim Shady dirilis, Eminem tak seolah tak dapat ditahan. Dalam kurun waktu enam tahun, dari 1999 hingga 2005, ia merekam lima album yang terjual sebanyak kurang lebih 50 juta kopi. Album The Marshall Mathers LPbahkan laku 10 juta kopi di AS. Pencapaian itu menempatkannya ke dalam jajaran rapper berpengaruh yang pernah dilahirkan kancah hip- hop AS.
Eminem bukanlah rapper gangsta, sebagaimana yang banyak bermunculan di akhir 1980-an. Ia "hanya" pemuda kulit putih dari Detroit yang berupaya menembus semesta hip-hop dengan sikapnya yang cuek, begajulan, dan gemar bikin onar. Ketika hip-hop saat itu dipakai sebagai medium perjuangan untuk bertahan hidup, Eminem justru sebaliknya: ia memakai hip-hop untuk memperlihatkan betapa brengseknya dirinya—dan inilah salah satu faktor yang justru membikin namanya besar hingga sekarang.
Editor: Nuran Wibisono