Menuju konten utama

THE HU Kian Tajam Mencengkeram dalam Rumble of Thunder

Dengan lagu-lagu yang lebih variatif, The Hu cukup sukses menelurkan album kedua yang berkesan. Ada potensi bakal lebih eksploratif di masa depan.

THE HU Kian Tajam Mencengkeram dalam Rumble of Thunder
THE HU - RUMBLE OF THUNDER. FOTO/wikipedia

tirto.id - Empat tahun silam, kancah musik internasional dikejutkan dengan kemunculan The Hu, band yang menggabungkan musik tradisional Mongolia dengan langgam rock dan heavy metal. Empat laki-laki masa kini tiba-tiba terlempar ke lanskap indah Mongolia, menyanyikan kejayaan masa lalu bangsa mereka berbekal throat singing, instrumen tradisional, dan estetika metal paling maskulin.

Video musik monumental itu, Yuve Yuve Yu, kini telah disaksikan lebih dari 100 juta kali di Youtube. Mereka lantas tumbuh dan berhasil lepas dari status one-hit wonder. Video musik lainnya, Wolf Totem, telah disetel lebih dari 70 juta kali.

Sejak saat itu, The Hu lepas landas. Kita bisa mendapati folk metal (atau genre apa pun di mana musik tradisional ditampilkan dengan cadas) belakangan ini menemui semacam kebangkitannya berkat nama-nama seperti Heilung, Wardruna, Senyawa, hingga Bloodywood. Dan The Hu bisa dibilang menjadi nama terdepan dalam daftar.

Fenomena dari Timur Jauh itu memaksa Barat menoleh. Sederet musisi Amerika yang lebih senior seperti Danny Case (From Ashes to New), Jacoby Shaddix (Papa Roach), hingga Lzzy Hale (Halestorm) tak sungkan untuk berkolaborasi.

Para lelaki Mongol itu juga ditunjuk untuk mengisi lagu video game Star Wars dan The Sims, serta berpartisipasi dalam album Metallica Blacklist, dalam rangka perayaan 30 tahun Metallica. Di negerinya sendiri, The Hu dianugerahi penghargaan tertinggi Order of Genghis Khan berkat andil mereka mempromosikan kebudayaan Mongolia ke muka dunia.

The Hu pun bukan sekadar "band Youtube" dengan sederet single laris. Sebagaimana mestinya sebuah band, kumpulan karya mereka dirangkum ke dalam album. The Gereg dirilis pada 2019 dan serta-merta menjadi paspor The Hu melintasi batas negara dan benua.

Tur Amerika dan Eropa dilakoni sampai pandemi COVID-19 menghentikan sejenak kiprah mereka. Kendati demikian, pandemi juga bisa dibilang menjadi berkah tersembunyi. Pasalnya, The Hu justru dapat fokus merilis album keduanya, Rumble of Thunder,melalui label Better Noise Music pada 2 September lalu.

Mengaum dan Siap Menghancurkan

Seekor singa putih mengaum dengan raut wajah marah, menyerbu ke depan menyambut siapa saja yang hendak mendengarkan Rumble of Thunder—pilihan gambar sampul yang agak berbeda. Selama ini, The Hu lebih identik dengan elang, kuda, leopard salju, atau hewan apa pun di stepa Mongolia.

Di baliknya, The Hu masih diperkuat para personel inti yang sama, para guru musik tradisional usia 30-an. Nyamjantsan "Jaya" Galsanjamts masih menjadi vokalis utama yang sesekali memainkan instrumen tumur hhuur (jew's harp) dan tsuur (flute khas Mongol). Throat singing juga kerap muncul dari Galbadrakh "Gala" Tsendbaatar dan Enkhsaikhan "Enkush" Batjargal, duo penggesek morin khuur. Sementara itu,tovshuur (semacam lute) masih digenjreng oleh Temuulen "Temka" Naranbaatar. Para personil tur seperti Ono, Jamba, Davaa, dan Odko juga turut serta sebagai personil rekaman, memperkaya sound The Hu dengan instrumen modern dan perkusi.

Rumble of Thunder dibuka dengan This is Mongol, anthem nan catchy pemicu koor massal pula keriaan. Pilihan pembuka album yang tepat lantaran, selain familier (telah beberapa kali dibawakan secaralive), ia juga salah satu lagu terkuat dalam album.

Adrenalin dilanjutkan, kalau bukan ditingkatkan pada YUT Hövende. Sayatan morin khuur dan chant yang intimidatif bak seruan perang mengiringi throat singing oleh Gala. Lagu yang garang dengan kilasan anasir thrash metal, headbangable, dan terdengar modern.

The Hu lantas putar arah. Triangle tak ubahnya pameran kemampuan mereka menggubah nada ceria dengan melodi-melodi manis. Ia tak hanya unjuk jangkauan Mongolian throat singing dari Jaya, tapi juga menghasilkan tembang pemicu dansa yang mudah dicerna dan tetap berkesan.

Masih dalam koridor easy listening, Teach Me dihadirkandengan gaya throat singing lain lagi dan memuat chorus yang bisa diikuti para penggemar yang sama sekali tak paham bahasa Mongol. Ia bisa jadi merupakan lagu yang paling gampang diterima, meski juga terasa paling gampang terlupakan di antara katalog mereka.

Mood ceria dan penuh semangat dijaga pada Upright Destined Mongol yang riff-nya sangat mengingatkan pada laguMjød dari band black n roll Norwegia Kvelertak. Itu mungkin sama sekali tak disengaja atau bisa jadi The Hu memang terinspirasi, mengingat kedua band pernah tampil dalam festival yang sama. Meski tak terasa baru, ia tetap menjadi contoh jitu bagaimana musik Mongolia dan rock n roll melebur.

The Hu kemudian melambat pada Sell The World. Lagu ini terkesan bakal mudah dilewatkan jika tak ada vokal kasar dari Jaya, Gala, dan Enkush. Pasalnya, ketukan repetitif dan progresi kordnya yang terdengar kurang menantang.

Lagu ini sepertinya justru jauh lebih menyalak pada versilive-nya. Seperti lagu sebelumnya, ia setidaknya menjadi model yang layak bilamana musik era modern dikawal tovshuur yang dipetik Temka.

Setelah sederetan lagu yang lebih tenang—yang bisa dianggap sebagai filler belaka—Black Thunder versi ringkas menanti. Para fan Star Wars barangkali telah familier dengan versi lain lagu ini, Sugaan Essena. Di awali dengan tempo yang merambat perlahan, Black Thunder menuju klimaksnya dengan bebunyian yang lebih ramai, termasuk sayatan morin khuur bagai mengimitasi halilintar. Mudah saja menyebutnya komposisi paling ikonik di album ini, "paling The Hu".

Wajah The Hu tidaklah semata seperti yang ditampilkan pada Black Thunder. Ini adalah band yang sama, yang dengan segala citra maskulinnya, pernah pula membuat lagu-lagu paling indah menyoal perempuan dan alam (simak "The Legend of Mother Swan" dan "Song of Women"). Mother Nature adalah bukti berikutnya.

Ia adalah lagu balada syahdu dengan lirik puitis yang memicu perenungan khidmat akan pengembaraan yang mengubah hidup.Alunan elok iramanya ditingkahi kasarnya throat singing dan harmoni chant melankolis yang perlahan dikedepankan—kekuatan yang tak sering-sering dihadirkan The Hu, tapi selalu ampuh. Normal bila kau menginginkan lagu ini tak pernah berakhir.

Mother Nature terdengar paripurna, pantas jadi lagu penutup. Namun dari segi durasi Rumble of Thunder, ia hanya menandai paruh pertama album.

Hadir dengan suasana yang agak kontras, Bii Biyelgee ialah hunnu rock ceria dengan sesi instrumental ciamik, chorus yang gampang diingat, dan tempo meninggi jelang akhir. Seperti halnya Triangle yang menyulut tubuh untuk bertari, lagu ini sepertinya wajib masuk setlist penampilan panggung mereka.

Ia lalu diikuti Segeeyang terdengar bak sebuah upaya classic rock dari The Hu. Cukup menghentak, tapi tak begitu menggugah. Lagi-lagi, bengisnya vokal Jaya dan Gala-lah yang mengelevasi lagu ini.

Dan nyanyian dari tenggorokan itu terdengar kian sengit pada dua lagu terakhir di mana The Hu memilih untuk tidak "bermain aman".Hanya dalam sekali dengar, tujuh menit Shihi Hutu bisa disimpulkan jadi salah satu poin tertinggi album ini.

Ada harmoni vokal mengagumkan pada komposisi yang dibangun menuju kemegahan. Terdengar marah, tapi tetap menghanyutkan. Ini menunjukkan bahwa The Hu juga kapabel dalam menciptakan epik panjang yang jauh dari menjemukan.

TATAR Warrior sama beratnya. Terdengar kian keji dengan riff mantap, ia punya daya pikat berbeda ketimbang kebanyakan lagu khas mereka. Juga membuka peluang The Hu mengeksplorasi lebih banyak corak metal dan rock kedepannya, semisal symphonic, power metal, atau bahkan yang setimbang beratnya dengan sludge atau doom metal.

Rumble of Thunder akhirnya ditutup dengan lagu yang sama pada track ketujuh, tapi dalam versi lebih komplet, Black Thunder (extended). Singa putih pada sampul album akhirnya memang jadi imaji yang cocok mewakili energi dalam album ini.

Infografik The HU

Infografik The HU - Rumble Of Thunder. tirto.id/Tino

Mengenyahkan Sindrom Album Kedua

Sebagaimana kebanyakan album musik arus utama, Rumble of Thunder juga bermuatan lagu-lagu pelengkap. Ada pula beberapa rock standar yang agak terangkat derajatnya berkat cara orang-orang ini membawakannya.

Tentunya ada lebih banyak hal selain “rock standar” di album ini. Berkat sederet kekhasan mereka, Jaya dkk. punya modal lebih dari cukup. Tanpa perlu banyak waktu, mereka mampu menyodorkan album yang tetap "terdengar The Hu".

Mereka tetap membawa emosimu ke area yang mungkin belum pernah kausambangi, masih sanggup memanggil nada-nada primitif yang bisa melekat dengan cepat di pendengaran banyak orang.

Komposisi gubahan mereka kadang kala tetap terasa transendental. Seringkali terasa lebih modern dan condong ke riff-oriented berkat peran gitaris Jamba. Dari susunannya, ia cukup ampuh teruntuk pendengar yang masih mendengarkan album penuh.

Lagu-lagu “terlemah” ditempatkan di tengah tracklist, tepat waktu sebelum Rumble of Thunder menjadi album rock kurang berkesan.

The Hu juga masih mendemonstrasikan throat singing sesuai kebutuhan lagu. Tak hanya sebagai vokal, tapi juga sebagai instrumen—efektif untuk pendengar dari berbagai latar. Meski demikian, jika ditelisik lebih jauh, mereka masih menghadirkan lirik-lirik yang terkesan kuno lagi puitis ihwal perjuangan hidup, ketakjuban akan alam, penghormatan pada leluhur dan pastinya peninggalan kultur serta kedigdayaan masa lampau bangsa Mongol.

Ia memang tak sama mengejutkannya dengan The Gereg yang bermuatan lagu-lagu yang nyaris setara kuatnya. Namun, The Hu juga sukses menghindari second album syndrome, sophomore slumpatau apapun sebutannya—untuk tren gagalnya album kedua dari para musisi dengan debut memukau.

Pada satu sisi, ini adalah keberhasilan strategi berupa rutin membawakan lagu-lagu yang belum dirilis pada konser dan gig mereka. Dan di lain sisi, beberapa lagu terkini The Hu memang sanggup menyamai bahkan melampaui beberapa lagu pada album pertamanya.

Secara keseluruhan, mereka tidak melenceng kelewat jauh dari formula keberhasilan debutnya. The Hu tetap berfokus pada kekuatan mereka, dengan siratan bahwa mereka bisa saja bereksplorasi lebih jauh kelak. Saya sendiri berharap bakal ada lebih banyak varian metal atau rock yang disuntikkan atau album konsep yang dirancang spesifik sesuai tema tertentu di masa depan.

Sampai hari itu datang, Rumble of Thunder sudah cukup memuaskan untuk mengantar The Hu menjelma band yang hanya bisa jadi lebih besar lagi.

Baca juga artikel terkait ALBUM MUSIK atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Musik
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi